LIPUTAN9.ID – Ada banyak rumor yang beredar, setelah acara pertemuan para pengurus NU di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Katanya, nuansa politik begitu kental. Bermula dari sesi tanya jawab, dimana salah seorang anggota pengurus NU mengajukan pertanyaan dan meminta pengarahan untuk menyambut Pemilu 2024.
Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), semula tampak enggan menjawab namun akhirnya juga memberikan pengarahan melalui separoh larik pantun berikut:
…Ampel dekat Kaliwungu
Orang-orang nempel ke NU.
Panen kates tumpakno jaran
Yen ono…
Tanpa melanjutkan larik berikutnya, audiens langsung paham maksud Gus Yahya. Sebab rima pantun A-A-B-B tersebut membutuhkan akhiran A-N agar selaras dengan diksi “jaran”. Dengan metode tafsir teks yang jamak di masyarakat, maka larik berikutnya tiada lain adalah Prabowo-Gibran.
Namun, ada juga yang membantah. Pantun Gus Yahya membuka tafsir teks seluas-luasnya, dan selalu tidak final. Ada peluang yang luas untuk mengarahkan pemaknaan pantun tersebut ke topik lain, bukan Prabowo-Gibran, bahkan diperluas ke luar wacana politik praktis. Hemat penulis, semua perbedaan respons sah-sah saja.
Dalam ruang kebebasan tafsir, konteks memang kadang kala membantu mempersempit kemungkinan makna. Lebih-lebih pantun Gus Yahya sebagai jawaban terhadap permintaan para pengurus NU untuk menyambut Pemilu 2024. Dalam konteks ini, ada benarnya publik menafsirkan pantun Gus Yahya sangat spesifik, bernuansa politik praktis, dan dimaksud sebagai pengarahan pilihan dalam politik elektoral.
Tidak mengherankan kemudian banyak juga jama’ah Nahdliyyin yang semakin yakin bahwa Gus Yahya memobilisasi suara pengurus NU untuk pasangan Prabowo-Gibran. Lalu mereka berkeyakinan bahwa inkonsistensia PBNU sudah terang benderang. Dari yang semula mengusung spirit netralitas menjadi lebih tendensius.
Kemana Jam’iyah NU Kini?
Kubu yang sejak awal kontra terhadap kepemimpinan Gus Yahya memang semakin yakin dengan argumentasinya. Dengan memberikan dukungan kepada Paslon Prabowo-Gibran, politik praktis PBNU telah keluar dari jatid irinya, sebagai ormas yang melahirkan PKB. Tidak hanya itu saja, dukungan PBNU terhadap Prabowo-Gibran menandai berakhirnya PBNU sebagai Jam’iyah. NU telah menjadi “paguyuban” para pengurusnya.
Mereka juga berpandangan bahwa sebagai sebuah paguyuban, sah-sah saja untuk menjatuhkan pilihan dan dukungan kepada paslon manapun. Hari ini di bawah kekuasaan rezim Gus Yahya, PBNU mungkin saja mendukung Prabowo-Gibran. Namun, di Pemilu-pemilu selanjutnya juga bisa berganti lagi. PBNU layaknya partai politik itu sendiri.
Sebagai sebuah paguyuban, Gus Yahya mengubah PBNU dari arah perjuangan yang telah dicontohkan oleh para pendahulu. NU-PKB di masa-masa awal reformasi tidak bisa dipisahkan, hingga era kepemimpinan PBNU terakhir, KH Sa’id Aqil Siradj. Sejak era Gus Yahya, berakhir sudah status NU sebagai Jam’iyah. Begitu kira-kira gambaran besar respon satu kelompok atas acara di Kendal Jawa Tengah itu.
Setelah penulis cek di sumber literatur, pengertian paguyuban menurut KBBI adalah perkumpulan yang bersifat kekeluargaan dan didirikan orang-orang yang sepaham (sedarah) untuk membina persatuan di antara para anggotanya. Namun, apakah benar PBNU sebagai paguyuban? Apakah benar NU sudah mengarah pada sistem kepemimpinan yang monarkis, otoritarian, dan tidak demokratis sejak era Gus Yahya?
Beberapa orang boleh berpendapat demikian. Lebih-lebih mereka menyebut NU sebagai Paguyuban juga punya argumentasi. Misalnya, sebelum-sebelumnya telah banyak pemberitaan media massa yang memframing adanya ancaman-ancaman pemecatan dan pembekuan secara sepihak oleh pengurus PBNU terhadap pengurus-pengurus yang tidak sejalan dengan pemikiran Gus Yahya. Sebut saja PWNU Jawa Timur, PWNU Kalimantan Selatan, bahkan sampai pengurus PCNU.
Media massa juga memframing, apabila ada pengurus NU yang sejalan dengan pemikiran Gus Yahya, walaupun orang tersebut sudah tersangka kasus korupsi, Gus Yahya hampir membela mati-matian, dan enggan untuk melakukan pemecatan. Seperti kasus Mardani Maming. Akhirnya mau tak mau, publik berasumsi kepemimpinan Gus Yahya bersifat tangan besi, dan hanya berlaku di internal organisasi yang otoritarian, monarkis, dan tidak lagi demokratis.
Konstitusi dan Sejarah Awal HBNO
Dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan berpendapat di muka umum. Perlu hati-hati, dalam pasal tersebut terdapat kata “dan”, sebuah kata penghubung, di mana kata sebelum dan sesudahnya memiliki kedudukan yang sama. Hal ini penting dipahami dalam rangka memaknai kepemimpinan Gus Yahya di PBNU.
Kata “dan” dalam UUD 1945 mengartikan bahwa setiap orang diberi kebebasan berserikat, yang sama pentingnya dengan kebebasan menyampaikan pendapat. Karena kedudukan berserikat sepadan dengan kedudukan berpendapat dalam konstitusi maka kebebasan berserikat tidak boleh menafikan kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat juga tidak boleh merusak perserikatan.
Pelajaran ini bisa kita gali dari awal-awal sejarah pendirian HBNO (Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama). Di bawah kepemimpinan Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari, NO adalah ormas yang menyatakan perbedaan pendapat, bahkan menyatukan ormas-ormas Islam kala itu. Hadratussyeikh mengajak Muhammadiyah untuk membentuk Majelis A’la Islam Indonesia (MIAI). Berkat MIAI, persatuan dalam perbedaan betul-betul konkret di depan mata.
Sejarah ini menjadi pelajaran penting bagi para pemimpin PBNU hari ini, bahwa berserikat dalam tubuh NU tidak berarti menegasikan kebebasan berpendapat, termasuk kebebasan menentukan pilihan politik. Karena itulah, siapapun orang yang memilih untuk berserikat dengan PBNU maka kebebasan mereka untuk berpendapat harus dihargai. Orang seperti Mbak Yenny Wahid yang memilih mendukung Ganjar Pranowo dan Mahfud MD tidak harus mengundurkan diri dari jabatan kepengurusannya di PBNU.
Atas nama Serikat NU, Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari tidak pernah menolak apabila banyak santri yang ingin belajar pada beliau, walaupun nyata-nyata mereka beraliran Syiah, Wahhabi, bahkan Ahmadiyah. Dengan belajar pada cara Hadratussyeikh memimpin HBNO, pengurus PBNU hari ini tidak perlu mengancam-ancam akan memecat dan membekukan pengurus NU yang berpolitik praktis dan berbeda pemikiran.
Penulis berharap, di masa-masa mendatang, publik tidak perlu berpikiran yang tidak-tidak. Tidak ada apa yang mereka sebut otoritarianisme Gus Yahya. Kita harus mengedepankan prinsip Ukhuwah Nahdliyah. Karena NU adalah milik seluruh warga NU, dan NU tetaplah Jam’iyyah.
Pengurus PBNU pun perlu mendengar suara warga, dan berusaha tidak mencitrakan PBNU sebagai paguyuban, yang hanya dimiliki oleh segelintir orang yang memiliki kepentingan yang sama. Inilah adalah amanah undang-undang sekaligus menghidupkan spirit kebebasan berpendapat yang dulu pernah mewarnai tubuh H.B.NO. Wallahu a’lam bis shawab.
Dr. KH. Aguk Irawan MN, Lc, MA, Pengasuh Pesantren Baitul Kilmah Yogyakarta, Santri Alumni Darul Ulum, Langitan. Pernah kuliah jurusan Aqidah-Filsafat di Al-Azhar University Cairo dan Sekolah Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga. Pengajar Antropologi-budaya di STIPRAM Yogyakarta, serta di Ma’had Aly KH. Ali Maksum Krapyak dan STAI Pandanaran Yogyakarta. Buku terbarunya terbit di penerbit Mizan Group; Genealogi Etika Pesantren, Kajian Intertekstual (2018) dan Sosrokartono, Sebuah Biografi Novel (2018).
























