Jakarta | LIPUTAN9NEWS
Pasca terlempar dari JATMAN (Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyah) yang disahkan PBNU, Habib luthfi mendirikan ormas baru bernama JATMA Aswaja dengan sekjen Helmy Faishal Zaini, mantan Sekjen PBNU. Apakah ini bentuk “perlawanan” terhadap PBNU? Bagaimana pula dampak terhadap kaum thariqah di arus bawah ? Ikut Jatma Aswaja atau tetap berada dalam naungan JATMAN? Mari kita analisis.
Ketika PBNU mengambil keputusan untuk tidak melanjutkan masa khidmah Habib Luthfi sebagai Rais Aam JATMAN, muncul reaksi dari sebagian jamaah tarekat yang merasa kehilangan figur yang selama ini menjadi panutan spiritual mereka. Salah satu respons yang muncul adalah berdirinya JATMA Aswaja, sebagai wujud ekspresi politik spiritual dari mereka yang merasa lebih terikat secara emosional kepada Habib Luthfi.
Bagi pengikut setia Habib Luthfi, JATMA Aswaja bukan hanya sekadar organisasi, tetapi sebuah bentuk pertahanan terhadap apa yang mereka anggap sebagai kebenaran spiritual. Tetapi, jika kredibilitas spiritual Habib Luthfi terguncang, pengikutnya mungkin akan mulai mempertanyakan legitimasi dari keberadaan dan kepemimpinan mereka dalam organisasi tersebut.
Di sisi lain, PBNU, yang kini dipimpin oleh KH Yahya Cholil Staquf, tengah memperkuat langkahnya dengan menegakkan konsolidasi organisasi dan merestrukturisasi banyak aspek. Penekanan pada struktur formal dan prosedur yang jelas dalam organisasi bertujuan untuk menciptakan transparansi dan akuntabilitas yang lebih baik. Hal ini mencerminkan sikap rasional-legal yang menjadi bagian dari upaya PBNU untuk membangun suatu organisasi yang kuat dan terorganisir dengan baik.
PBNU berupaya memastikan bahwa seluruh badan dan lembaga yang ada dalam NU, termasuk JATMAN, berjalan sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati bersama. Ini bukanlah untuk menafikan keberadaan kekuatan spiritual dan karismatik, tetapi untuk menjaga agar organisasi tetap solid dan tidak terbebani oleh ketergantungan pada satu tokoh atau figur tertentu.
Dinamika tersebut boleh jadi bagi Faksi yang mendukung JATMA Aswaja merasa terpinggirkan, sedangkan pihak yang mendukung JATMAN PBNU berpendapat bahwa organisasi harus dibangun atas dasar kekuatan kolektif dan legalitas. Tentu, imbas dari ketegangan ini bisa mempengaruhi keharmonisan.
Pertanyaannya adalah apakah kita akan tetap teguh pada struktur yang telah dibangun dengan susah payah oleh PBNU, ataukah kita akan mengikuti arus karisma yang tak bisa dilawan oleh sekadar aturan birokratis? Ini adalah dilema yang kini menghantui NU. Di satu sisi, ada yang merasa bahwa NU yang berbasis pada struktur formal harus tetap dipertahankan, agar organisasi tidak terombang-ambing oleh pengaruh tokoh tertentu. Namun, di sisi lain, ada juga yang berpandangan bahwa kesatuan batin yang dibangun oleh para tokoh tarekat justru menjadi penopang utama bagi kelangsungan ajaran-ajaran NU yang berbasis pada ukhuwah dan kebersamaan.
Fenomena ini bisa menciptakan krisis kepercayaan yang cukup besar di kalangan umat. Ketika JATMAN sebagai organisasi resmi diakui oleh PBNU, namun tidak mampu mengakomodasi kebutuhan spiritual sebagian umat yang merasa lebih dekat dengan tokoh tertentu, maka muncul potensi perpecahan. Sebagian memilih tetap berada dalam kerangka organisasi yang lebih besar dan terstruktur, sementara sebagian lagi merasa lebih nyaman berada dalam komunitas yang lebih kecil, namun lebih mengutamakan hubungan emosional dan spiritual dengan seorang tokoh.
Dalam konteks ini, kita bisa melihat polarisasi yang semakin tajam di tubuh NU. Perbedaan pandangan antara yang menekankan pentingnya struktur dan yang mengutamakan karisma bukan hanya sebatas perdebatan intelektual, tetapi juga berpotensi merusak keharmonisan yang telah terbangun selama ini.
Mencari Titik Temu
Namun, masih ada jalan keluar. Dalam menghadapi dilema ini, NU harus mencari cara untuk mengakomodasi keduanya. Dialog terbuka dan rekonsiliasi antara JATMAN dan JATMA Aswaja sangat penting. Kedua organisasi ini, meski berbeda dalam pendekatan, memiliki tujuan yang sama: mendakwahkan nilai-nilai spiritual yang terkandung dalam tarekat NU. Dengan adanya sinergi antara keduanya, NU bisa tetap mempertahankan kesatuan dan kekuatan kolektifnya, sementara tetap menghargai keberagaman spiritualitas yang ada di dalamnya.
Jika ini berhasil diwujudkan, NU tidak hanya akan semakin solid sebagai organisasi, tetapi juga semakin relevan dalam menjawab tantangan zaman. Sebaliknya, jika konflik ini terus berlarut-larut tanpa ada titik temu, NU bisa saja terperosok dalam perpecahan yang lebih dalam, merusak fondasi ukhuwah yang telah lama dibangun. Wallahu ’Alam Bishowab.
Tentang Penulis: Yusuf Mars adalah Magister Ilmu Komunukasi Politik, Founder @PadasukaTV, Channel Youtube Sosial Politik dan Keagamaan dan Inisiator Indonesia Terang. Pemerhati Komunikasi politik dan kebijakan publik.