Islam secara etimologis bermakna kepatuhan, pasrah, dan penyelamatan. Ini berarti bahwa misi profetik Islam yang sesungguhnya adalah pengabdian yang tulus dengan segala kepatuhan kepada Sang Pencipta. Atau dalam terminologi al-qur’an disebut ‘abdun’ serta penyelamatan, pelestarian, dan penata keseimbangan manusia dengan sesama, atau manusia dengan lingkungannya. Misi inilah untuk selanjutnya disebut dengan ‘khalifah fil ard’
Islam adalah agama yang mengemban misi suci sebagai rahmat bagi sekalian alam. Sejatinya agama Islam yang bawa Rosulullah memiliki mata rantai yang kokoh dengan misi para Nabi dan Rosul sebelumnya. Benang merah mata rantai ini bisa dilihat dari sepak terjang para Nabi dan Rosul dalam melindungi dan menjaga keseimbangan kehidupan.
Sebut saja misalnya Nabi Nuh AS. Nabi Nuh berjuang meluruskan penyembahan manusia yang mengarah pada panganisme. Kenapa penyembahan ini harus diluruskan dan dikembalikan kenilai Tauhed? Allah SWT tidak butuh penyembahan. Seandainya tidak satupun mahluk yang menyembah-Nya, Allah tetap Maha Besar, Maha Agung, Maha Segalanya. Manusialah yang butuh rumus penyembahan. Dengan menyembah Allah satu-satunya, maka manusia memposisikan dirinya pada derajat yang sama. Hanya Allah satu-satunya yang Tinggi bahkan Maha Tinggi. Kesejajaran, kesetaraan, kesamaan inilah yang akan mengikis egoisme manusia. Pada akhirnya menghindari eksploitasi manusia terhadap manusia lainnya. Posisi dan derajat manusia akan ditentukan pada sejauh mana manusia berlomba-lomba menjadi yang terdekat dengan Dzat Yang Maha Tinggi.
Misi ini dilanjutkan oleh Nabi Ibrahim AS dan Nabi Musa AS. Namrudz dan Fir’aun dua sosok yang betul-betul mengancam nilai-nilai kemanusiaan. Keduanya mendeklarasikan diri sebagai personifikasi Tuhan. Keduanya memiliki otoritas tak terbatas, bahkan mempersonifikasi sebagai tuhan di dunia. Ini benar-benar mengancam nilai-nilai kemanusiaan. Allah tidak tinggal diam. Diutuslah Nabi Ibrahim dan Nabi Musa untuk mengembalikan lagi kejalur yang semestinya.
Demikian juga misi suci Nabi yang lain. Nabi Syuaib dan beberapa Nabi lain hadir saat interaksi dan komunikasi perniagaan mengalami ancaman. Permainan takaran dalam transaksi perniagaaan, ketidak adilan sistem dalam muamalah harus segera dihentikan sebelum ketimpangan interaksi sosial rusak.
Nabi Luth AS menghadapi tantangan yang berbeda. Kaum LGBT begitu merajalela. Jika ini dibiarkan tentu akan merusak proses regenerasi kehidupan. Maka tidak ada jalan lain agar kebiasaan menyimpang ini harus segera diakhiri.
Nabi Isa AS hidup diera kolonialisme. Bangsa Romawi sebagai negara adidaya dengan leluasa menjajah bangsa-bangsa lain. Watak penjajah tentu sangat membahayakan kelangsungan kehidupan. Tidak hanya eksploitasi manusia, tapi juga lingkungan, kekayaan alam dan lain sebagainya.
Puncak penegakan misi suci ini ada ditangan Rosulullah SAW. Sebagaimana diketahui, sejak kehadirannya Islam dimaksudkan sebagai petunjuk bagi kelestarian alam dan nilai kemanusiaan. Sebagai bukti dari argumen diatas adalah kondisi sosiologis dimana saat risalah Islam diwahyukan.
Nabi Muhammad sang pemangku risalah diterjunkan untuk menata kondisi dimana problem kemanusiaan yang cukup mengkhawatirkan. Sejarah mencatat kurun tersebut dikenal sebagai zaman jahiliyah dimana moralitas terdegradasi sampai titik nadir. Nilai-nilai kemanusiaan berada dititik nol. Hukum rimba terjadi dimana-mana. Dan tentu jika dibiarkan efeknya akan berdampak pada lingkungan.
Ketika Rosulullah wafat, apakah misi ini berhenti? Tentu tidak, sebab Rosulullah meninggalkan pewaris misi sucinya yaitu para ulama.
Nahdlatul Ulama lahir sebagai wadah untuk menjaga, mengawal dan melanjutkan misi suci Islam. Setting sosial menjelang NU lahir berhadapan dengan era kolonealisme, keterpurukan sosial dan tentu kesadaran kebangsaan, wawasan, kesejahteraan yang tidak adil. Masyarakat tertindas, alam dieksploitasi.
Mengawali misi sucinya, lahir tiga sudut prisma sebagai jawaban atas problem keumatan, problem kebangsaan, dan problem kemanusiaan. Lahir Nahdlatut Tujjar yang menjadi pilar penguatan kesejahteraan, Nahdlatul Wathan untuk melakukan penguatan kebangsaan dan Taswirul Afkar atau Nahdlatul Fikr sebagai sebuah ikhtiar menjawab ketimpangan wawasan tahun 1918 sebagai wadah candradimuka sekaligus emberio Nahdlatul Ulama.
Puncaknya ketika terjadi perubahan prinsip dalam beragama di kawasan Hijaz, dengan berkuasanya kaum Sawah atau Salafi-Wahabi (istilah salafi mencuat belakangan) membuat para ulama harus segera mengambil langkah konkrit. Sebab ideologi salafi-wahabi yang merupakan personifikasi kaum Khawarij telah terbukti gagal, bahkan melahirkan luka yang mendalam dalam tubuh umat Islam. Corak berpikir kaum Sawah akan mereduksi nilai-nilai ketuhan dengan paham tasybih dan tajsimnya. Ini akan berdampak pada reduksi kehidupan beragama sebagai pengawal rambu kehidupan. Dan yang lebih berbahaya adalah klaim otoritas tunggal pewaris kebenaran tanfsir agama justru akan merusak sendi-sendi rahmatan lil alamiennya norma agama itu sendiri.
Komete Hijaz lahir sebagai antisipasi gerakan salafi-wahabi yang ditugaskan langsung berkomunikasi dengan penguasa Hijaz saat itu.
Nah, memasuki usianya satu abad ini sudah saatnya NU kembali kemisi sucinya sekaligus melakukan reaksentuasi misi tersebut. Ini selaras dengan kaidah pijakan NU itu sendiri yaitu “al-muhafadzah alal qodimis sholeh wal akhdzu bil jadidil ashlah”.
Para muassis NU sudah mewariskan pondasi yang kuat untuk mengawal kelangsungan kehidupan sesuai dengan zamannya. Saat ini sumberdaya manusia NU sudah kuat, sudah masuk dalam berbagai sektor kehidupan sampai yang tertinggi presiden era Gus Dur dan wakil presiden era Kyai Ma’ruf Amin saat ini. Masihkah NU sanggup merawat jagat diusianya yang seabad ini? Kitalah yang harus menjawabnya.
KH. Khotimi Bahri, Syuriah PCNU Kota Bogor, Ketua Komisi I MUI Kota Bogor, Penasehat Barisan Kesatria Nusantara (BKN), dan Staf Pengajar Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Napala Bogor.