LIPUTAN9.ID – Ketika aku terpikir untuk menuliskan otobiografiku ini, aku tak pernah berhasil menemukan simpul pertama dari ceceran dan serakan ingatan yang telah tercerai-berai –yang sebagian besar telah terlupakan. Meski demikian, rasanya aku akan merasa bersalah bila mencampakkan yang masih tersisa sebagai kenangan. Kali ini aku hanya ingin sedikit bercerita tentang ibuku, tentang kupu-kupu di pagihari dan senja yang sesekali kulihat di barisan pohon Rosella yang ditanam Ibuku, ketika hari bersimbah cuaca dingin atau di kala iklim berubah cerah selepas hujan menjelang siang.
Kala itu adalah masa-masa di tahun 1980-an, masa di mana aku masih seorang bocah lelaki, ketika Ibuku memetik buah Rosella, sementara aku asik memperhatikan kupu-kupu yang hinggap di salah-satu pohon Rosella yang ditanamnya, yang warna sepasang sayapnya seperti susunan ragam tamsil karena cahaya matahari senja. Ia sesekali terbang, lalu hinggap lagi, kadangkala berpindah atau pindah kembali ke pohon Rosella yang sama, lalu terbang lagi, sebelum akhirnya pergi ke tempat yang ingin ia ziarahi.
Keesokan harinya Ibuku akan menjemur biji-biji Rosella itu dengan tikar yang ia sulam dari sejumlah karung bekas, dan akan mengangkatnya selepas asar, sebelum kami akan menggoreng dan menumbuknya bersama menjadi bubuk kopi yang akan kami bungkus dengan plastik-plastik kecil yang ia beli dari warung. Kakak perempuanku yang akan memasukkan bubuk kopi Rosella itu, sedangkan aku yang menjahit ujung plastik itu dengan cara mendekatkannya ke semungil nyala lampu minyak.
Aku membeli buku-buku tulis sekolahku dari menjual bubuk kopi Rosella yang ditanam Ibuku itu, pohon-pohon Rosella yang acapkali disinggahi sejumlah kupu-kupu, selain dihinggapi dan diziarahi para kumbang dan para serangga, seperti belalang, ngengat dan lainnya.
Kami terbiasa hidup bersahaja dan memperoleh rizki kami dari Tuhan dengan perantaraan pohon-pohon ciptaan Tuhan yang ditanam Ibuku: Rosella, kacang panjang, tomat, labuh, dan lain-lain yang kemudian dijual Ibuku setelah ia mengunduh dan memanennya. Aku hanya bisa membantu Ibuku sepulang sekolah atau ketika hari libur sekolah, meski kadangkala aku absen untuk membantunya dan lebih memilih untuk bermain dan menerbangkan layang-layang, berburu jangkerik, atau berburu para belalang yang kesulitan untuk terbang karena air yang melekat di sayap-sayap mereka dan yang tergenang di hamparan sawah-sawah di kala hujan atau selepas hujan bersama teman-temanku.
Hidup kami memang seperti kupu-kupu di senjakala yang mengimani kesabaran dan ketabahan sebagai keharusan yang tak terelakkan. Tahukah kau kenapa aku mengumpamakannya dengan kupu-kupu? Aku akan menjawabnya. Kupu-kupu, juga para kumbang, adalah makhluk-makhluk Tuhan yang ikhlas bekerja dan dengan takdir mereka sebagai para pengurai dan penyerbuk kembang dan bunga.
Kehadiran mereka merupakan berkah bagi kami yang mengais rizki dari hidup bertani dan menanam sejumlah tanaman yang buah-buahnya dapat dijual Ibuku. Keberadaan mereka adalah siklus alam dan kelahiran bagi kami, para petani.
Mereka, para kupu-kupu dengan sayap-sayap ragam warna di kedua sisi lengan mereka itu, akan datang tanpa kami undang bila tanaman-tanaman yang kami tanam telah berbunga, entah mereka datang di pagihari atau di senjahari. Memang aku baru menyadarinya di saat aku tak lagi hidup seperti di masa-masa itu –sebuah pemahaman yang memang terlambat. Tetapi bukankah lebih baik terlambat daripada tidak menyadarinya sama-sekali?
Begitulah ketika datang sore hari, ada capung-capung selepas hujan, juga riap sejumlah kupu-kupu yang adakalanya terbang dan adakalanya singgah di kelopak bunga. Getaran-getaran sayap mereka yang hampir tak terlihat seakan-akan mengajarkan kita tentang kegembiraan dalam kebisuan yang terhampar bersamaan dengan siklus cuaca.
Mereka membentuk gerakan-gerakan yang mirip gelombang-gelombang kecil, gelombang-gelombang yang meliuk di atas semak belukar, rumput-rumput, di antara susunan pematang dan ilalang, di saat buih-buih masih berjatuhan dan beterbangan. Seakan-akan mereka asik bercanda dengan hembus angin dan lembab cuaca.
Ketika merenungi dan memandangi mereka, aku berusaha mereka-reka dan memikirkan sejumlah tamsil: adakah mereka tengah melakukan ritual atau peribadatan tertentu? Ataukah sekedar merayakan perubahan iklim dan cuaca? Sekedar mengamini siklus dan rotasi gerak unsur-unsur dan hukum alam, di saat waktu sesungguhnya hanya ‘diam’.
Sementara itu, di barisan pohon-pohon, masih terdengar kicau burung-burung yang merasa kedinginan, dingin yang meresap pada bulu-bulu mereka. Tentulah di saat-saat seperti itu matahari sudah enggan menampakkan diri. Di saat-saat seperti itu, sudut-sudut langit dan pematang-pematang sawah lebih mirip figur-figur bisu, yang seolah menikahi ketabahan dan cuaca dingin, dingin yang merundung segala yang hidup dan bernyawa.
Dalam cuaca seperti itu sebenarnya aku tak hanya memandangi capung-capung yang dapatlah kuumpamakan sebagai para peri mungil, sesekali juga kupu-kupu atau belalang-belalang yang meloncat-loncat dan yang terbang di antara pohon-pohon kecil dan lalang-lalang liar.
Aku tergoda untuk membayangkan getaran-getaran sayap-sayap mereka yang tipis dan bergerak dalam samar yang sunyi itu sebagai kiasan kematian yang menyamar sebagai keindahan dan kelembutan. Aku tergoda untuk mengandaikan mereka adalah maut yang bermain-main itu sendiri. Aku akan menyebut capung-capung itu sebagai peri-peri kecil yang tengah mencandai kematian, sosok kematian yang memang tidak terlihat oleh mata telanjang dan hanya bisa dipahami oleh keintiman bathin.
Di sana ada banyak puisi dan perumpamaan yang tak dituliskan dengan kata-kata dan kalimat, namun dari merekalah kanak-kanak bahasa akan lahir untuk mereka yang menyukai menuliskan sajak dan nyanyian. Ijinkan aku mendefinisikan apa itu membaca –yah berkenaan dengan alam dan segala yang hadir di hidup ini. Bagiku, membaca tak hanya melafalkan atau ‘membaca’ aksara-aksara dan tulisan-tulisan, tetapi juga mengakrabi, merenungi, dan mengintimi ‘kehadiran’ dalam hidup, yah seperti ketika aku memandangi dan merenungi para capung senjakala itu.
Karena itu, aku, tak hanya dapat belajar dari buku-buku yang kubaca, tetapi dari setiap yang hadir yang memunculkan minat dan rasa akrabku untuk merenunginya atau sekedar memandang dan memperhatikannya, seperti ketika aku berusaha memahami ‘waktu’ bersama mereka, hidup dan waktu:
“Ketika redup matahari berkubang lembab cuaca
di senja yang sebentar lagi usai
aku tergoda untuk merenungkan para capung
yang menggetarkan sayap-sayap mereka
dengan gerakan lincah nan samar.
Betapa waktu sesungguhnya bercanda
bersama mereka. Kegembiraanmu untuk menafsir
yang tak dicatat lembar-lembar buku
di saat kau bosan atau jenuh. Sesungguhnya
kau dan aku acapkali saling menerka
di mana hati kita gerangan ingin singgah sebentar
dan menemu bahagia. Tahun-tahun,
yang kau sebut usia, barangkali cuma nama lain
untuk segala yang membuat kita lupa
bahwa ada anugerah dan berkat
yang luput kita baca. Sejenak, aku pun berpikir,
bagaimana bila kutulis puisi cinta
yang akan membuatmu tenteram selamanya
seperti juga ingatan yang paling berharga
yang terus kau kenang hingga maut pun tiba.”
Sulaiman Djaya, (Budayawan)