Sidoarjo | LIPUTAN9NEWS
Dalam realita sejarahnya, kehadiran peci hitam sebagai pakaian nasional Indonesia. Bahkan peci hitam tersebut tidak dapat dipisahkan dari sosok Presiden Indonesia pertama, yakni Bung Karno.
Peci hitam tidak hanya sebagai pakaian nasional, tetapi juga memiliki nilai religius dalam konteks ajaran Islam yang rahmatal lil’alamin. Termasuk peci hitam juga dipandang sebagai sunah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada umatnya. Dengan dasar, peci hitam yang merupakan pakaian muslim tersebut berfungsi sebagai alat bantu agar dahi tidak terhalang oleh rambut saat bersujud ketika melaksanakan shalat.
Terkait peci hitam tersebut, ada suatu kisah menarik perhatian publik. Tepatnya pada bulan september 1959, di sela sidang Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Bung Karno pernah mengungkapkan dirinya merasa kurang nyaman, terkait dengan segala atribut pakaian dinas yang biasa ia kenakan. Namun, karena ia mengingat sebagai seorang Presiden dirinya harus mengenakannya demi dan untuk menjaga kebesaran Bangsa Indonesia di mata dunia.
kata Bung Karno pada waktu itu yang juga Ketua DPA sambil melihat respons hadirin.”Seandainya saya adalah Idham Cholid yang ketua Partai NU atau seperti Suwiryo, ketua PNI, tentu saya cukup pakai kemeja dan berdasi, atau paling banter pakai jas.”
Lebih lanjut ia mengatakan “Tetapi soal peci hitam ini tidak akan saya tinggalkan. Soalnya, kata orang, saya lebih gagah dengan mengenakan songkok hitam ini. Bener enggak Kiai Wahab?” tanya si Bung kepada Rois Am NU, yakni KH. Abdul Wahab Chasbullah, yang juga anggota DPA.
Jawab Kiai Wahab “Memang betul, saudara harus mempertahankan identitas itu. Dengan peci hitam itu, saudara tampak lebih gagah seperti para mubaligh NU,” sembari disambut gelak tawa hadirin. Kiai Wahab, melanjutkan dalam nada seloroh “Dengan peci tersebut, saudara telah mendapat banyak berkah karena itu ketika berkunjung ke Timur Tengah, saudara mendapat tambahan nama Ahmad.”
Bung Karno membenarkan seloroh tersebut. Ketika berkunjung ke Arab Saudi pada 1955, Raja Su’ud memberinya gelar Ahmad kepadanya. Presiden Mesir Gamal Abdul Naser dan Presiden Aljazair Ben Bella serta kalangan pers di negara-negara Timur Tengah pun memberinya nama tambahan, “Ahmad.”
Bung Karno kemudian memaparkan “Ketahuilah olehmu Nasution (A.H Nasution, red), Roeslan Abdul Gani, nama Nabi kita itu banyak. Ada Muhammad, Ahmad, Musthofa, dan sebagainya. Dan kau Leimena (Dr Johannes Leimena), walaupun beragama Kristen, kau harus tahu bahwa nama Nabi Muhammad itu juga Ahmad.” Sedangkan para hadirin anggota DPA Ketika mendapatkan ceramah di awal sidang tersebut pun manggut-manggut dengan antusiasnya.
Dialog tersebut tertuang dalam buku “Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren” terbitan Gunung Agung, 1987. Abdul Mun’im DZ mengutipnya ke dalam buku “Fragmen Sejarah NU: Menyambung Akar Budaya Nusantara” yang diterbitkan Pustaka Compass.
Hal ini menunjukkan bahwa peci hitam bukan hanya sekadar pakaian nasional, tetapi juga mengandung nilai-nilai historis dan religius yang penting bagi masyarakat Muslim di Indonesia.
Dr. Heru siswanto, M.Pd.I., Ketua Program Studi dan Dosen PAI-BSI (Pendidikan Agama Islam-Berbasis Studi Interdisipliner) Pascasarjana IAI Al-Khoziny Buduran Sidoarjo; Dosen PAI-Terapan Politeknik Pelayaran Surabaya; Pengasuh Balai Peduli Pendidikan Indonesia; Pengurus LTMNU PCNU Sidoarjo; Ketua LDNU MWCNU Krembung.