BANTEN | LIPUTAN9NEWS
Tapi apa itu masyarakat industrial? Saya ingin memulainya dengan mengutip pernyataan Max Weber, sosiolog klasik yang pandangan dan pemikirannya masih relevan untuk membaca kondisi masyarakat hingga saat ini:
“Industrialisasi yang menerapkan prinsip-prinsip rasionalisasi telah menghasilkan disenchantment of the world, yaitu suatu proses memudarnya pesona dunia”.
Secara sederhana dan salah-satunya, masyarakat industrial adalah masyarakat yang digerakkan oleh hasrat dan motif individual untuk mencari uang (dan mengakumulasi modal di kalangan korporat dan para pemilik modal atau penguasa finansial). Sebuah masyarakat yang sepenuhnya berjalan dan digerakkan oleh logika pragmatis-instrumental, digerakkan oleh rasionalisme instrumental. Rasionalisme masyarakat industrial adalah rasionalisme pragmatis dalam rangka survival secara ekonomis, yang pada akhirnya akan sangat berpengaruh atau berdampak pada ranah-ranah kebudayaan dan pengetahuan. Sebuah masyarakat yang terkondisikan dan diciptakan oleh kapitalisme perkotaan, hukum pasar, dan budaya massa.
Terkait dengan masyarakat industrial (dan tentu saja jaman industrialisasi) ini, sosiolog Max Weber misalnya, menyatakan bahwa industrialisasi yang menerapkan prinsip-prinsip rasionalisasi telah menghasilkan disenchantment of the world, yaitu suatu proses memudarnya pesona dunia, karena segala hal yang ada di bumi ini dapat dikalkulasi secara rasional. Akibatnya terjadi penurunan kualitas kehidupan manusia atau dehumanisasi, karena segala hal yang sebelumnya bersifat subjektif dapat diubah menjadi objektif, yang kualitatif menjadi kuantitatif. Sumber daya yang semula dapat dinikmati bersama secara cuma-cuma kemudian diprivatisasi (menjadi komoditas milik pribadi) korporat dan swasta.
Dalam “ramalannya” tersebut, Max Weber seakan telah memprediksi tergerusnya aspek atau sisi keintiman manusia pada “yang alami” dan yang sifatnya subjektif dalam hiruk-pikuk keseharian masyarakat industrial yang diamatinya secara sosiologis dan sekaligus bersifat (memuat sentiment) pribadi itu. Dan, sebagaimana disinyalir Karl Marx yang tak jauh berbeda dengan “ramalannya” Weber itu, masyarakat industrial berjalan dalam hukum fetishisme dan komodifikasi, yang menurutnya akan melahirkan alienasi atau keterasingan manusia di jaman industri atau manusia modern itu sendiri. Belum lagi kalau kita bicara dampak residu atau limbah (sampah) masyarakat industri yang mencemari dan merusak lingkungan hidup.
Jauh-jauh hari sebelum Daniel Bell, Alain Badiou dan Jean Baudrillard menganalisis masyarakat industrial, Karl Marx menyatakan: “Komodifikasi merupakan roh industrialisasi. Akibat proses itu muncul berbagai bentuk keterasingan manusia yang mengakibatkan ketidakberdayaan manusia karena kesadaran manusia yang sejati telah tercerabut, diganti oleh kesadaran semu industrial”, sebuah pernyataan sosiologis dan lagi-lagi bersifat pribadi yang nada suaranya tak jauh berbeda dengan apa yang dikatakan Max Weber, namun memiliki relevansi dan kesesuaian dengan kondisi masyarakat dan dunia kita hingga hari ini.
Tentu saja bagi kita, meski Max Weber dan Karl Marx hidup dan menulis di abad-19, namun anehnya apa yang mereka katakan itu masih tetap relevan dalam konteks hingar-bingar pasar dan kesibukan membeli atau kegiatan konsumtif jaman kapitalisme mutakhir kita saat ini, abad komoditas sekarang ini. Kita tahu, gejala komodifikasi atau upaya untuk menjadikan apa saja menjadi komoditas (barang dagangan dan jasa), sangat terasa dan begitu nyata dalam kehidupan keseharian kita sekarang, yang bahkan sudah menyentuh setiap sisi kehidupan, dari yang sekular hingga yang bercitarasa religius.
Dalam hal ini, dapat dikatakan, masyarakat industrial adalah masyarakat yang telah begitu menyatu dengan komoditas dan hiruk-pikuk membeli (konsumtif) itu sendiri. Masyarakat yang senantiasa ingin membeli dan tak mau ketinggalan trend komoditas yang cepat berganti. Dan dalam kadar yang paling jauh, sebagaimana ditulis Jean Baudrillard, hasrat membeli masyarakat industrial tidak lagi karena alasan untuk memenuhi kebutuhan secara ekonomis, tapi lebih karena bersifat simbolis, semisal demi prestise sosial dan gengsi pribadi atau kelas. Dalam kadar ini, motto Cartesian yang berbunyi ‘aku berpikir maka aku ada’ dapat diganti dengan ‘aku membeli dan mengkonsumsi maka aku ada’.
Tak jauh berbeda dengan apa yang dinyatakan oleh max Weber, Jean Baudrillard dan Karl Marx, John J. Macionis mengemukakan bahwa masyarakat industrial adalah masyarakat dengan ciri utamanya senantiasa memproduksi barang (komoditas), entah makanan, pakaian, bahan bangunan, dan lain sebagainya, dengan bantuan teknologi mesin yang digerakkan sumberdaya energi non-hewani (sumber daya baru).
Sementara itu, Emile Durkheim, memandang bahwa dalam masyarakat industrial rentan terjadi kepadatan moral (moral density) yang terus meningkat, yang akan berakibat melemahnya solidaritas-mekanik yang membuat individu merasa tidak lagi terikat tradisi. Dan sebagai penggantinya, muncul solidaritas-organik, yaitu ikatan sosial yang lebih didasarkan pada spesialisasi dan kesaling-tergantungan okupasi antar-anggota masyarakat bersangkutan. Perbedaan spesialisasi kerja (okupasi) ini pada masyarakat industri membuat para anggotanya saling bergantung satu sama lain atas dasar material dan hubungan produksi, di mana ketergantungan tersebut bukan karena punya nilai, norma, atau budaya yang sama, tetapi karena kepentingan okupasi itu sendiri.
Dalam masyarakat industrial, demikian menurut analisis sosiologisnya Emile Durkheim, transaksi antar kepentingan okupasi dalam masyarakat industri direkat oleh uang. Sebagai contoh, dalam membangun rumah misalnya, terdapat sejumlah profesi yang saling bergantung satu sama lain berdasarkan hubungan transaksional dan relasi ekonomis, seperti antara arsitek, mandor, insinyur teknik sipil, tukang listrik, tukang pipa, buruh bangunan kasar, ataupun pejabat yang mengurus Ijin Mendirikan Bangunan alias IMB, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan pekerjaan atau proyek membangun rumah tersebut. Dalam hal ini, mereka tidak bisa bekerja sendiri dalam mendirikan suatu bangunan, dan mereka hanya mau bekerja jika kompetensi masing-masing diimbali atau dibayar dengan uang.
Masih terkait dengan upaya “membaca” masyarakat industrial ini, George Simmel memandang masyarakat industri atau katakanlah masyarakat modern telah menciptakan manusia-manusia tanpa kualitas, tak lain karena manusia terjebak dalam rasionalitasnya sendiri, atau apa yang lazim dikenal dalam kalangan Mazhab Frankfurt disebut sebagai Dilema Odisian masyarakat modern, ketika rasionalitas masyarakat modern menjadi belenggu baru bagi kebebasannya, persis ketika rasionalitas manusia modern telah semata menjelma rasionalitas pragmatis instrumental.
Dalam kadar kemajuan tekhnologi dan industrialisasi sendiri sejauh menyangkut keterkaitannya dengan manusia (buruh), contohnya, adalah ketika teknologi industri sudah mulai canggih, maka keterampilan dan kemampuan tenaga kerja secara individual makin kurang penting karena telah digantikan oleh efisiensi mesin. Persis di sinilah, uang sudah tidak dipahami sebagai fungsi alat, tetapi sebagai tujuan, di mana kekuatan kuantitatifnya telah mampu mengukur berbagai jarak sosial yang membentang antar individu dalam keseharian masyarakat industri.
Persoalan tersebut dapat kita baca dalam buku George Simmel yang berjudul The Philosophy of Money, yang dengan cukup bagus dalam menganalisis dan melihat uang sebagai fenomena (fakta) spesifik yang dikaitkan dengan berbagai komponen kehidupan, seperti pertukaran, kepemilikan, keserakahan, pemborosan, sinisme, dan lain sebagainya. Singkatnya, ada tiga penanda atau ciri utama masyarakat industrial (selain banyak ciri dan penanda lainnya), yaitu: produksi komoditas yang cepat dan sinambung (tanpa henti), sentralnya fungsi uang, dan hasrat serta prilaku membeli yang tak lagi atas dasar memenuhi kebutuhan secara ekonomis, tetapi karena lebih bersifat simbolik, seperti demi gengsi sosial serta prestise pribadi dan juga kelas –namun sayangnya, sifat konsumtif demi prestise dan gengsi (selain hedonisme) yang membudaya itu, menjadi wabah korupsi yang dipraktikkan elit Indonesia yang menjadi kaya dan bergaya mewah dari mencuri.
Sulaiman Djaya, Peminat Kajian Kebudayaan
























