Jakarta, Liputan9.id – Ketua Umum Lajnah Dakwah Islam Nusantara (LADISNU) KH Agus Salim HS mengajak dai NU untuk melestarikan kitab kuning dalam setiap pengajian. Melestarikan dalam artian mempelajari dan mengamalkan.
Sebab menurutnya, mengaji harus ada kitabnya. Misalnya, mengaji tentang fiqih harus pakai kitab fiqih. Mengaji tentang tafsir harus pakai kitab tafsir. Demikian juga mengaji tentang tasawuf harus pakai kitab tasawuf dan atau sumber kitab basah yang merupakan semua ciptaan Allah Ta’ala di muka bumi ini.
“Keberadaan kitab-kitab ini sesungguhnya merupakan hasil buah pikir para ulama salafus shalihin. Salah satunya adalah kitab fiqih, yang merupakan hasil kodifikasi dan istimbath hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan Asunnah,” kata Kiai Agus, Jumat (7/5) malam.
Kitab kuning adalah istilah yang disematkan pada kitab-kitab berbahasa Arab, yang biasa digunakan di banyak pesantren sebagai bahan pelajaran. Materi yang termuat di dalam kitab kuning sangat beragam. Mulai dari masalah aqidah, tata bahasa Arab, ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu ushul fiqih, ilmu fiqih, ilmu sastra bahkan sampai cerita dan hikayat yang tercampur dengan dongeng.
Kitab kuning mempunyai kontribusi penting dalam merekonstruksi tumbuh kembangnya Islam yang ramah. Di dalam kitab kuning, kata Kiai Agus, Islam yang rahmatal lil ‘alamin dijabarkan secara detail. Kemudian dalam konteks keindonesiaan dikenal dengan istilah Islam Nusantara.
Karena itu, para santri dan pemuda Nahdlatul Ulama diimbau untuk tidak bosan-bosannya belajar membaca dan memahami isi kitab kuning.
Selain itu, mengaji kitab kuning sudah menjadi aktivitas sehari-hari yang dilakukan para santri tentunya para dai. Di Indonesia, kitab kuning menjadi acuan dalam kegiatan pengajian di pondok-pondok salaf. Kitab kuning tidak dapat dipelajari dalam waktu instan. Karena kitab ini tidak ada harakatnya, membuat pendalaman kitab berlangsung dalam rentang yang cukup lama.
Menurut Abi Agus Salim, para dai harus memahami isi kitab kuning, dengan belajar tata Bahasa Arab, seperti Ilmu Nahwu, Ilmu Shorrof, sampai Ilmu Mantiq, dan sejumlah cabang ilmu lainnya.
Keilmuan tersebut masih dasar, perlu di dalami dengan mengikuti ngaji kitab yang dipimpin oleh pengasuh pondok ataupun kiai yang lebih sepuh. Umumnya metode ngaji kitab kuning berlangsung dengan cara tatap muka.
“Memelajari kitab kuning tetap penting bagi seorang dai yang tengah menimba ilmu. Sebab, dengan memelajari kitab kuning, para dai dapat mengetahui asal usul ilmu yang mereka pelajari,” terang Abi yang juga Pengasuh Yayasan Manbaul Hikmah.
Saat ditanya mengapa perlu mempelajari kitab kuning di zaman modern seperti ini? Abi Agus Salim menjawab dengan mengetahui asal usul atau seluk-beluk ilmu yang dipelajari (kitab kuning). “Para dai mendapat manfaat tersendiri, melatih istiqamah, ketekunan belajar, dan tawadhu akan ilmu. Tentu hal itu dapat memperkuat keislaman mereka,” pungkasnya.
Artikel ini pernah dimuat di NU Online dengan judul Ketua LDNU: Kitab Kuning, Khazanah Islam di Nusantara yang Kian Dibutuhkan, pada Jum’at, 7 Mei 2021.