Cirebon | LIPUTAN9NEWS
Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015, KH Imam Jazuli membeberkan alasan-alasan Presiden Prabowo tidak boleh menerima mundurnya Miftah Maulana Habiburrohman (Gus Miftah).
Kiai Imam Jazuli mengatakan, hari ini merupakan hari bahagia bagi Sunhaji dan keluarga, yang telah diberangkatkan ke tanah suci untuk menunaikan ibadah umrah. Gus Miftah tidak hanya meminta maaf kepada korban dan keluarga besarnya melainkan juga menunjukkan komitmen baik dan ketulusan dalam permohonannya.
“Tidak banyak orang yang berjiwa besar seperti itu, karenanya Gus Miftah layak menjadi pemimpin di negeri ini,” ungkap Kiai Imam Jazuli, Senin (09/12/2024).
Menurutnya, Sunhaji sendiri, kata dia, tidak hanya memaafkan dan meminta maaf kepada Gus Miftah, tetapi juga menyadari kerugian besar yang harus ditanggung oleh Gus Miftah. Setelah mengetahui Gus Miftah mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Utusan Khusus Presiden, bapak Sunhaji memohon kepada Presiden Prabowo Subianto untuk menolak mundurnya Gus Miftah itu.
“Jiwa besar yang telah ditunjukkan oleh bapak Sunhaji dan keluarganya tidak mendapatkan simpati dari publik terutama Netizen,” ungka Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon ini.
Kini, kata kata Kiai Imam Jazuli, banyak netizen yang menilai miring pilihan hidup Sunhaji untuk memaafkan Gus Miftah dan menangis memohon kepada Presiden agar menolak mundurnya Gus Miftah. Sunhaji yang semula mendapat curahan simpati berubah menjadi target kritik.
“Dari sini kita mulai dapat menilai bahwa peristiwa Gus Miftah dan Bapak Sonhaji dieksploitasi. Simpati yang ditunjukkan oleh publik netizen adalah simpati palsu,” katanya.
Berbagai donasi yang dikucurkan kepada Sonhaji dan keluarga pun, lanjut Kiai Imam, hanya untuk panjat sosial (pansus) dan monetisasi akun media sosial mereka. Sebaliknya simpati yang tulus dan perjuangan akan nilai-nilai luhur sama sekali tidak tampak.
Seandainya tujuan publik Netizen adalah menegakkan nilai-nilai ketimuran, adab dan sopan santu, menurutnya, sikap Gus Miftah yang menyampaikan permohonan maaf kepada korban, kepada presiden yang telah memberikan kepercayaan, dan kepada publik yang merasa tersinggung, juga mendapatkan apresiasi.
Begitu pula, kata dia, sikap Sunhaji yang memaafkan Gus Miftah, bersilaturahmi ke Pesantren Ora Aji, dan memohon kepada Presiden untuk menolak pemunduran diri Gus Miftah, juga mendapat apresiasi.
“Ternyata, semua sikap mulia dan berbudi pekerti luhur baik yang ditunjukkan oleh Gus Miftah maupun Bapak Sonhaji, sama sekali tidak mendapatkan apresiasi,” ujar Kiai Imam.
Sebaliknya, aku dia, publik netizen kekeh dalam sikap awalnya yang menghujat Gus Miftah, bahkan sekarang telah menyalahkan Bapak Sonhaji sebagai orang yang tidak sadar harga dirinya telah dihina.
Netizen Sering Berlebihan
Lebih lanjut Kiai Imam Jazuli menyampaikan, bukan hanya komentar-komentar miring netizen yang ditujukan kepada Gus Miftah dan Sonhaji. Segala cara pun dihalalkan hanya untuk menjatuhkan profil Gus Miftah.
Misalnya, kata dia, akun Instagram NU Online yang menyebutkan, setelah didesak oleh petisi yang ditandatangani lebih dari 300 ribu warganet di change.org akhirnya pendakwah kelahiran Lampung Miftah Maulana Habiburrahman menyatakan pengunduran diri dari jabatan Utusan Khusus Presiden RI bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan.
“Pernyataan NU Online tersebut adalah contoh sikap netizen yang sangat berlebihan. Berdasarkan penelusuran saya, Senin 9 Desember 2024, jam 15.00 WIB, terhadap situs www.change.org, ditemukan bahwa tanda tangan baru mencapai 18,329 orang. Dengan tujuan puncaknya 25,000 tanda tangan. Dengan kata lain, pernyataan petisi ditandatangani oleh 300 ribu adalah omong kosong,” ungkapnya.
Omong kosong dari akun NU Online tersebut, lanjut Kiai Imam, menjadi perbincangan hangat di internal warga Nahdliyyin. Banyak pendapat dan analisa yang mengatakan bahwa pihak yang paling berkepentingan dengan pemunduran diri Gus Miftah adalah kelompok struktural NU.
“Mereka telah bergerilya mencari sosok pengganti Gus Miftah, dengan harapan Presiden Prabowo segera memecat Gus Miftah,” kata Kiai Alumni Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir itu.
entu saja, lanjut dia, pendapat dan analisa tersebut harus didasarkan pada bukti nyata. Semoga saja, kata dia, salah dan tidak terbukti. Namun jika benar maka alasan di balik viralnya ucapan Gus Miftah kepada Sonhaji telah ditumpangi oleh kepentingan politik, terutama elite struktural NU. Oleh karenanya patut dicegah.
“Kita semua sudah jadi saksi mata bagaimana kecewanya orang-orang PBNU yang telah all-out untuk kemenangan Prabowo-Gibran. PBNU telah mengorbankan banyak hal, namun ganjaran yang PBNU dapatkan terlalu kecil. PBNU hanya berhasil mengantarkan Saifullah Yusuf (Gus Ipul) Sekjend PBNU ke istana sebagai menteri. Padahal, PBNU terlanjur jumawa bahwa separuh Kabinet Merah Putih akan diisi orang-orang NU,” tutrunya.
Gus Miftah, Unik dan Urgen
Menurut Kiai Imam, sulit menemukan sosok yang ideal seperti Gus Miftah. Sebab, ia adalah pemuda yang unik, memiliki latar belakang jalanan, pergaulan dengan para preman, dan berdakwah di jalur remang-remang. Namun, semangat untuk mengabdi pada bangsa dan negara, untuk menciptakan persatuan dan kesatuan, dan mewujudkan harmoni sosial tidaklah tertandingi.
Karakter Gus Miftah, menurutnya, sangat unik yang dibutuhkan oleh bangsa ini. Ia berjiwa kesatria, mudah minta maaf ketika dinilai berperilaku salah, menebus kesalahan dengan kebaikan yang berlipat ganda, bahkan rela meninggalkan jabatan kekuasaan dengan entengnya.
“Padahal, kita tahu, di zaman ini banyak orang yang berjuang mati-matian, bahkan menghalalkan segala cara, hanya demi memenangkan pemilu dan menduduki jabatan politik,”paparnya.
Kiai Imam melanjutkan, kita dengan bangga bisa mengatakan, mayoritas politisi di negeri ini harus belajar pada jiwa kesatria Gus Miftah. Belajar bagaimana cara menganggap jabatan kekuasaan tidak perlu diperjuangkan mati-matian.
“Kepribadian Gus Miftah mengingatkan kita pada Gus Dur, yang juga dengan entengnya meninggalkan jabatan kepresidenannya. Di lingkungan NU, hanya Gus Dur dan Gus Miftah yang memandang remeh jabatan kekuasaan,” katanya.
Karakter Gus Dur dan Gus Miftah, menurut dia, adalah perkara yang urgen. Peran mereka berdua sangat besar bagi upaya persatuan dan kesatuan bangsa. Sementara masalah jabatan politik dan kekuasaan adalah nomor dua yang tidak perlu diperjuangkan mati-matian.
“Namun, kita sebagai publik sekaligus rakyat Indonesia tidak akan terima jika harus kehilangan karakter ideal seperti Gus Miftah, sebagai pelanjut ideologi Gus Dur terutama dalam memaknai kekuasaan,” tutup Kiai Imam.