Jakarta, Liputan9 – Syukron Ma’mun, lahir di Sampang Madura, 21 Desember 1941, beliau berada di lingkungan pendidikan agama yang sangat kuat, dari kakek, ayah (keluarga besarnya), semuanya seorang kyai, dan mempunyai kerja sampingan yang sama yaitu pedagang. Suatu kebetulan yang memang sudah di gariskan. Ibunya selain menjadi ibu rumah tangga, juga sebagai seorang guru mengaji al-Qur’an, guru kitab kuning, seperti Safinatussalaam,dll. Ayah beliau bernama K.H. Mahmud Nawawi (Alm. Ketika berusia 63 thn). Ibu beliau bernama H.J. Masturoh (Almh. Ketika berusia 87 thn). Isteri beliau H.J. Afifah Binti K.H. Noer Salim, juga aktif mengajar di majlis-majlis Ta’lim, setelah lulus dari IAIN Syarif Hidayatullah.
Sebagaimana anak-anak pada umumnya, K.H Syukron Ma’mun kecil mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat (SR), kalo jaman sekarang dikenal dengan sebutan Sekolah Dasar (SD), pada era 50-an disebut SR (Sekolah Rakyat), beliau SR selama 6 tahun. Beliau tidak hanya terbiasa di pagi hari saja mengenyam bangku sekolah, pada jam 2 siang harus sekolah Madrasah “Miftahul Ulum”. Ketika beliau SMP pernah diangkat menjadi PN (Pegawai Negeri) yaitu menjadi guru SD/SR tetapi karena setelah lulus SMP beliau langsung Pondok pesantren Sidogiri Pasuruan, maka beliau tidak melaksanakan tugas tersebut. Dilanjutkan nyantri ke Pesantren Gontor Ponorogo kurang lebih 6 tahun. Di sanabeliau juga mendalami pendidikan agama Tsanawiyah dan Aliyah. Pendidikan di Gontor Ponorogo beliau selesaikan dengan tamat di Kulliatul Mu’allimin. Kurang lebih pada tahun 1966 lalu melanjutkan pendidikan di IPD ( Institut Pendidikan Daarussalaam ) Gontor, sekarang menjadi ISID ( Institut Studi Islam Daarussalaam ), beliau termasuk Sarjana Muda pertama di kampus tersebut. Dan mendapat gelar B.A. C
BERDAKWAH SEJAK BELIA
Wajar jika di kemudian hari, dalam aktivitasnya sebagai mubaligh, K.H Syukron Makmun mendapatkan julukan sebagai “Singa Podium”. Sebab, aktivitas dakwahnya, beliau mulai sejak masih kecil. Saat masih di kelas 5 di Pesantren Gontor ponorogo, beliau sudah terjun ke dunia dakwah. Kemudian pada awal tahun 1967 (kurang lebih usia beliau saat itu 26 thn), dakwah beliau sudah menguasai/menjelajahi ke kota Madiun, Ponorogo, Pacitan, Ngawi, Magetan, dan sekitarnya. Suatu prestasi yang luar biasa untuk ukuran anak muda pada saat itu. Perjuangan dakwah beliau waktu itu tidak seperti sekarang-sekarang ini, ketika selesai berdakwah di daerah itu, beliau harus siap-siap untuk berkelahi. Sebab pada tahun itu ( di daerah yang sama ) sedang terjadi perkelahian massal, antara pemuda komunis dengan anak-anak Anshor (beliau pada golongan Anshor).
Pada zaman itu perkelahian massal memang selalu terjadi walaupun tidak setiap hari. Makanya saat itu benar-benar di butuhkan seorang mubaligh yang berani, beliaulah salah satunya. Karena walaupun kondisi itu sering terjadi, setiap minggu tetap ada pengajian rutinan. Seperti sosok beliaupun, selalu siaga untuk menjaga keselamatannya, hingga beliau tidak pernah lepas dari golok ( bukan untuk membunuh orang, hanya symbol tanda berani saja ).
Pada tahun 1967 juga, akhirnya beliau berangkat ke Jakarta, mengaji kepada habib Ali Bin Husein di Bungur, mengaji kitab Bukhori juga kepada Habib Abdurrahman Al-habsyi di Kwitang. Selain mengaji dengan para habaib, beliau mulai aktif mengajar kira-kira tahun 1971 di beberapa Perguruan Tinggi/Akademik, ke masjid-masjid, majlis-majlis Ta’lim/pengajian-pengajian rutin di Islamic Center, di seluruh DKI pada umumnya. Karena beliau juga aktif di masyarakat seperti di majlis-majlis ta’lim/Masjid-masjid, maka beliau tinggalkan aktivitas di Perguruan Tinggi/akademik tersebut.
Demi mensyiarkan agama dalam berdakwah, beliau sering menggunakan sepeda pancal, walaupun musim hujan beliau tetap menjalaninya dengan ketawadu’an, keikhlasan, serta rasa senang di hati. Perjuangan dakwah beliau bukan hanya di Jakarta, kaki beliau melangkah/ menjelajahi sampai ke seluruh Nusantara, seperti: Kalimantan, Jambi, Maluku, Sumatera, Surabaya, Jawa, Aceh, dan sebagainya. Juga dari Sabang sampai Merauke, bahkan Negara ASEAN, diantaranya: Singapura, Malaysia, Brunei Daarussalaam.
Ketekunan beliau dalam menggeluti dunia dakwah ternyata membuat beliau tidak hanya berdakwah melalui mimbar. Pelbagai Ide dan gagasan beliau terkait Islam juga di dakwahkan melalui media tulisan ilmiah yang sangat kreatif. Hasilnya, banyak terbit buku-buku bacaan terkait pemikiran Ahlus sunnah wal jamaah karya K.H Syukron Makmun yang layak untuk dijadikan refrensi bagi generasi sekarang. Adapun Karya-karya beliau antara lain: buku “Risalah Pemantapan ASWAJA” ( ahli Sunnah Wal jamaah ) Jakarta tahun 1988 Membahas : Pengertian ahlussunnah Wal Jama’ah, Sejarah di kenalnya Madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah, Madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah Dalam Ilmu Kalam (ilmu Tauhid) , Ijtihad, Bid’ah, Bagaimana Hukumnya Taqlid serta Hubungan kita dengan ahli Kubur dan lain-lain. Buku kedua berjudul “ Riba dan bank “ Jakarta tahun 1995 yang membahas : Pengertian Tentang Riba, Dalil-dalil yang mengharamkan riba termasuk Bank, Alasan Tentang Haramnya Riba, Dasar-dasar Ekonomi Menurut Islam serta Pendapat sebagian ulama di Zaman Modern Tentang Kredit Bank.
Sedangkan selanjutnya , berjudul “ Apakah Bid’ah Itu ?” Jakarta tahun 2007 membahas : Bid’ah Menurut Bahasa, Menurut Syar’i , Anjuran untuk Berbuat Bid’ah hasanah dan Larangan Berbuat Bid’ah, Cara Menentukan Hukum Menurut Syariat Islam, Sebab-sebab Yang Menyebabkan Ulama Berbeda Pendapat. Dan karyanya yang terkahir yakni “ Pembaharuan Dalam Agama “ membahas :latar Belakang Lahirnya Gerakan Pembaharuan dan Pembaharuan Dalam Pandangan Tiap-tiap Agama.
MENJADI AKTIVIS POLITIK
Perjalanan politiknya dimulai dari awal kedatangannya ke Jakarta pada tahun 1967, hingga tahun 1975 beliau tinggal bersama K.H. Idam Kholid ( Tokoh besar NU, Ketua Umum PBNU, sekaligus wakil Perdana Menteri/MENKOKESRA, zaman Kabinet tahun 1967 an ). Beliau ikut mengaji kepada K.H. Idam Kholid sambil berdakwah (jadi asisten). Tinggal satu rumah dengan K.H Idham Chalid, kyai Syukron berkesempatan belajar politik dan organisasi darinya.
Setelah sekian lama beliau ikut dengan K.H.Idam Kholid, beliau diangkat menjadi Direktur pon-Pes Daarul Maarif. Selesai menjabat Direktur di Pon-Pes tersebut, beliau mulai mendirikan/membangun pon-Pes Daarul Rahman (kurang lebih tahun 1975-hingga sekarang). Disamping mengurus pon-Pes Daarul Rahman, baik yang berpusat di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dan bercabang di leuwliang Bogor, dan sawangan Parung, beliau tidak pernah alpa dari kancah dunia dakwah.
Mulai aktif di organisasi pada tahun 1956 mulai dari jabatan sebagai Ketua cabang IPNU , Ketua Umum LDNU ( Lembaga Dakwah Nahdhatul Ulama) serta Wakil Ketua Robitotul Ma’ahid. Sampai akhirnya beliau menjadi Ketua Umum Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia . Partai yang dideklarasikan pada tanggal 05 Maret 2003 di Jakarta ini merupakan wujud baru dari Partai Nahdlatul Umat yang hanya meraih lima kursi DPR dalam Pemilu 1999. Partai ini didirikan oleh K.H Syukron Makmun beserta sejumlah aktivis inti Ittihadul Mubalighin seperti Idham Chalid, Muhibbudin Waly, A.Mudhor, Usman Abidin, Muhammad Thohir dan Achmad Sjatari. Pada Pemilu 2009, PPNUI sebelumnya tidak lulus verifikasi, tetapi dengan adanya gugatan 4 partai gurem pada Pemilu 2004 kepada MahkamahKonstitusi, akhirnya 4 partai politik gurem ini disahkan juga menjadi Parpol perserta Pemilu, yang mana salah satunya ada PPNUI. Selanjutnya pada Pemilu 2009 PPNUI mendapat nomor urut 42. Walaupun saat ini PPNUI sudah tidak aktif lagi namun ekprementasi politik K.H Syukron Makmun yang mencoba menggabungkan dakwah dan politik dalam sebuah wadah partai layak diacungi jempol.