Penjelasan Rosul tentang khilafah
Rosulullah bersabda :” Periode kenabian akan berlangsung pada kalian dalam beberapa tahun kemudian Allah mengangkatnya. Setelah itu datang periode khilafah ‘ala manhajin nubuwah selama beberapa masa hingga Allah mengangkatnya. Kemudian datang periode mulkan ‘addhan (penguasa yang menggigit atau menekan) selama beberapa masa. Selanjutnya datang periode mulkan jabbariyun (penguasa yang otoriter) dalam beberapa masa yang ditentukan Allah. Selanjutnya akan kembali kepada khilafah ‘ala manhajin nubuwah” (HR. Ahmad)
Para muhadditsin dan ulama tidak ada perbedaan bahwa khlaiafah ‘ala manhajin nubuwah yang dimaksud Rosulullah adalah periode khulafa’ur rosyidien.
Selanjutnya, kapan kekhilafahan ‘ala manhajin nubuwah ini berdiri. Rosullah bersabda :” khilafah sepeninggalku berlangsung selama 30 tahun, kemudian akan menjadi kerajaan ” (HR. Ahmad). Ini tertera dalam musnad Imam Ahmad dan juga bisa dilihat dalam Mustadrok Imam Hakiem.
Para ahli sejarah mencatat bahwa kekhilafahan yang berlangsung sejak era sayyiduna Abu Bakar sampai sayyiduna Ali bin Abi Thalib berlangsung selama 30 tahun kurang 6 bulan, terhitung sejak tahun 632 M sampai 661 M. Kemudian dibaiatlah sayyiduna Hasan bin Ali sebagai khalifah. Namun kekhalifahan beliau hanya berlangsung selama 6 bulan karena beliau mengundurkan diri demi menjaga persatuan dan kesatuan umat Islam. Ini menunjukkan kabar nubuwah dari Rosulullah sekaligus sebagai salah satu mukjizat beliau.
Dan yang tidak kalah pentingnya adalah penegasan Rosulullah bahwa setelah itu tidak lagi disebut khilafah ‘ala manhajin nubuwuah tapi kerjaan. Inipun terbukti bahwa model pemerintahan setelah khulafaur rosyidien berubah menjadi sebuah dinasty dan monarki. Suksesinya dilakukan oleh keterunannya bahkan tidak jarang terjadi pertumpahan darah dalam peralihan kepemimpinan. Maka dari itu tarikh lebih sering menyebut sebagai ad-Dawlah Umawiyah, ad-Dawlah ‘Abbasiyah, dan ad-Dawlah Utsmaniyah ketimbang khilafah Umawiyah, ‘Abbasiyah maupun ‘Utsmaniyah. Kalaupun terminologi khlafah dipakai, tidak lebih untuk merujuk pada sosok pemimpinnya (nashbul imam) bukan sistem tunggal dan global seperti yang saat ini didengungkan. (pembahasan ini akan diperdalam bagian selanjutnya)
KH. Khotimi Bahri, Syuriah PCNU Kota Bogor, Ketua Komisi I MUI Kota Bogor, Penasehat Barisan Kesatria Nusantara (BKN), dan Staf Pengajar Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Napala Bogor.
Comments 1