LIPUTAN9.ID – Kiai Abd. Djalil adalah pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri ke-9 pasca kepengasuhan Kiai Nawawi bin Noerhasan. Beliau menjadi pengasuh pada tahun 1929 M setelah diambil mantu oleh Kiai Nawawi dengan putri pertamanya Nyai Hanifah. Di masa beliau menjadi pengasuh, kondisi Indonesia berada dalam puncak perjuangan melawan Belanda. Hingga akhirnya pada 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya.
Belanda saat itu tidak terima kalau Indonesia merdeka. Mereka berencana merebut kembali dg melancarkan serangan. Serangan kedua yg dikenal dg Agresi Belanda II ini mendapat perlawanan keras dri semua lapisan masyarakat. Tentara, rakyat, dan ulama kompak bersatu-padu melakukan perlawanan. Minimnya persenjataan menjadikan perlawanan rakyat dilakukan dg cara bergerilya.
Puncaknya, di Desa Plinggisan Pasuruan, para pejuang yg tergabung dlm laskar Hizbullah terlibat perlawanan sengit melawan Belanda. Namun kali ini Hizbullah terdesak mundur & berlindung di markasnya. Belanda yg penasaran terus mengikuti jejak mereka sampai akhirnya diketahui bahwa mereka anggota pasukan Hizbullah pimpinan KA. Sadoelllah yg bermarkas di Sidogiri. Mereka mengirim mata-mata untuk mengetahui aktifitas di Sidogiri.
Baca juga: Peringati HSN 2023, INC Berikan Penghargan Ponpes Sidogiri sebagai Pesantren Salaf Inspiratif
Belanda marah setelah mengetahui bahwa ternyata Sidogiri menjadi markas tempat laskar Hizbullah digembleng dg ilmu kanuragan, kesaktian, dan penempaan fisik. Belanda mengirimkan tentara dengan jumlah besar untuk mengepung Sidogiri dengan target utama menangkap Kiai Sadoelllah dan Kiai Abd. Djalil.
Saat itu keadaan benar-benar menegangkan. Kiai Sadoelllah meminta agar Kiai Abd. Djalil mengungsi, namun beliau menolak, “Saya sudah tua, tidak bisa menggalang kekuatan lagi, tidak ada alasan bagi saya untuk hijrah, sampean saja cepat hijrah. Sampean bisa menggalang kekuatan,” Kata Kiai Abd. Djalil. Akhirnya KA. Sadoelllah mengungsi ke Desa Areng-Areng Pasuruan.
Kamis, 26 september 1947 M pukul 03.30 dini hari serdadu Belanda sampai di Sidogiri dan langsung mengepung rapat pondok tua ini. Pasukan Hizbullah sempat melakukan perlawanan dan terlibat baku tembak. Saat hampir Subuh, Belanda berhasil menerobos masuk ke Sidogiri dan mendatangi Kiai Djalil yang saat itu bersama para pengawalnya. Belanda menanyakan, “Di mana Kiai Sadoelllah?” “Saya tidak tahu! Di sini saya hanya diserahi untuk mengajar santri,” jawab beliau mantap.
Penasaran, pasukan Belanda memaksa Kiai Abd. Djalil ikut untuk dijadikan tawanan. Namun Kiai menolak. Akhirnya terjadilah perdebatan sengit. Karena sudah masuk waktu Subuh, Kiai mengatakan masih ingin salat Subuh terlebih dahulu. Selesai salat, Kiai langsung menuju halaman, di sana tentara Belanda telah menunggu. Kiai Abd. Djalil keluar dari masjid dengan membawa buntalan berisi Al-Quran dan kitab-kitab.
Melihat Kiai membawa buntalan, Belanda memaksa agar menyerahkan buntalan itu, sebab Belanda curiga yang dibawa Kiai adalah dokumen penting milik Kiai Sadoelllah. “Jangan sentuh buntalan itu! Kamu najis memegangnya,” bentak Kiai Abd. Djalil garang. Beliau juga sudah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Diam-diam beliau menyelinapkan keris di balik bajunya. Ketika Belanda dengan paksa merampas buntalan itu, Kiai Abd. Djalil marah dan melakukan perlawanan.
Maka terjadilah pertempuran tidak seimbang antara Kiai Abd. Djalil bersama beberapa santri yang menjadi pengawalnya melawan Belanda yang jumlahnya banyak dan bersenjata lengkap. Beberapa serdadu Belanda tewas tersungkur. Tapi tidak lama berselang semua pengawal Kiai Abd. Djalil gugur tertembak. Belanda sendiri kewalahan menghadapi Kiai Abd. Djalil yang ternyata tidak mempan ditembak. Sampai akhirnya dengan kemarahan memuncak, mereka berhasil menangkap Kiai Abd. Djalil dan dengan beringas menembakkan peluru ke mulut beliau. Dor…! Dor…! Dor…! Suara tembakan terdengar sampai puluhan kali. Innalillahi wa Inna ilaihi rojiun. Beliau akhirnya gugur sebagai syahid.
Kekejaman Belanda tidak cukup di situ. Jenazah Kiai Abd. Djalil diseret dan dibuang di sungai Sidogiri sebelah barat. Konon, tetesan darah beliau, membuat air sungai saat itu menjadi harum semerbak. Jenazah Kiai baru ditemukan sekitar jam 09.00 oleh khadam beliau bernama Dlofir dari Situbondo.
Kiai Abd. Djalil wafat pada Kamis 10 Dzulqadah 1366 H atau 26 September 1947 M, sekitar pukul 06.00 pagi hari. Beliau dimakamkan di areal pemakaman keluarga Sidogiri. Sedangkan pengawal beliau dimakamkan di samping masjid bagian utara (Dekat jeding masjid).
Kiai Abd. Djalil adalah satu dari sekian ribu ulama yang menjadi korban kebiadaban Belanda. Barangkali penting dikutip pernyataan jujur seorang jenderal Belanda yang memimpin agresi tersebut. “Andaikan tidak ada kiai-kiai kolot dan ortodoks (Org pesantren), Indonesia tidak mungkin meraih kemerdekaan.”
Semoga pengorbanan masyaikh Sidogiri dicatat oleh Allah sebagai amal syahid & kita sebagai generasi penerus bisa melanjutkan semangat perjuangan beliau. Amin ya Rabbal Alamin.
Sumber : Buku Jejak Langkah 9 Masyayikh