LIPUTAN9.ID – Pada Minggu malam yang dingin di ndalem Habib Hilal Krapyak, Ahad 8 Oktober 2023 ada yang begitu syahdu. Lebih dari sekadar perjumpaan dengan Masayikh Al-Azhar, yang mendebarkan bagi kami santri-santrinya, saat bisa merapat dengan jarak yang sangat dekat, menatap, kemudian bertemu dan mencium tangan satu persatu, tetapi disana juga tersuguhkan haflah Maulid Nabi dengan yang cara sangat istimewa.
Saat sholawat dan tholaal badru dikumandangkan, berdirilah para hadirin, lalu ubarampe berupa “tumpeng grebek maulid” yang terdiri dari makanan, buah-buahan, telur, beserta aroma wangi taburan melati serta asap menyan menyeruak semerbak bak kasturi. Sungguh menggetarkan. Apalagi acara ditutup dengan saling berebut uang lima ribuan.
Saat itu saya perhatikan dua pasang mata guru kami, Syaikh Ali Jum’ah, mantan mufti itu. Sungguh berbinar-binar dan bibirnya terus mengulas senyum, tanda bahagia. Sebuah ekpresi cinta dan kerinduan kepada Rasulallah yang memancar dari wajahnya.
Tentu saja antara tradisi, ekpresi, cinta, dan haflah maulid, selain memilki garis hubung spiritual yang menjadi titik tolak bertemunya doktrin tasawuf, juga punya jejak historis yang panjang, terutama di Nusantara. Dahulu kala tradisi grebek maulid, sebagaimana yang dituturkan Babad Jawi, terjadi pertama kali saat Kanjeng Sunan Bonang meresmikan Masjid Jami’ Kadilangu Demak Bintoro. Seperangkat tumpeng raksasa dibuat dan diarak dari Keraton Ke Masjid.
Tumpeng (tumindak kang lempeng) adalah sebuah simbol gunung, dan jejak hidup manusia yang amat berjasa pada umat, kehadirannya mirip seperti gunung itu. Untuk meneladaninya orang perlu menghadirkan dirinya yang telah wafat, tetapi sebanyak apapun orang berkumpul tak bisa merangkul gunung, oleh karena itu gunung mesti dibuat miniatur, dan itu adalah tumpeng, kata Sunan Ampel suatu waktu kepada putranya Sunan Bonang agar tradisi tumpengan Kapityan dilanjutkan.
Supaya bisa dibedakan antara tumpeng penganut agama terdahulu pra-islam yang menamanai diantaranya dengan tumpeng tantra dan bhirawa, Kangjeng Sunan Ampel mengganti nama tersebut dengan tumpeng Ambyok (Ambiya) dan Rangsulan (Rasul) sebagai simbol insan paripurna teladan umat islam. (Babad Tanah Jawi, versi Drajat; EAP 061/2/54).
Karena itu sejatinya orang yang menghidangkan tumpeng dalam ritual kebudayaannya, itu sejatinya adalah sedang membaca sirah Nabi dan Rasul, karena figur tersebut dalam Kitab Maulid disebut, mahma tafanna tassifuu fii wasfihi, yafna zamanu fi washfihi lam yushafi (aduhai, hingga habis umur kita untuk menyebut-nyebut sifat baiknya Nabi tidaklah cukup bisa menyebutkan semuanya…”
Lalu kenapa telur? Telur sebagai lambang dari “wiji dadi” atau benih terjadinya manusia, maka proses kehadirannya harus terus dingatkan, supaya kita tahu hak dan kewajiban sebagai manusia. Mengingat manusia adalah makhluk yang istimewa, yang karenanya Iblis dahulu kala diminta Allah untuk bersujud kepadanya.
Janin atau simbolisme telur yang disebut sebagai cikal bakal ini pada mulanya adalah spermatoza yang jumlahnya sekitar 300 juta calon manusia, menurut ilmuwan biologi, kemudian setelah nberjalan sejauh 9 mil menuju ovum yang memiliki autosom X yang selamat hanya 10, dan dalam waktu dua haru setelah keluar dari indung telur hanya selamat satu.
Itu artinya untuk memasuki kehidupan alam kandungan, maka terdapat 300 juta kurang satu yang harus mengalami kematian. Oleh karenanya kita yang sudah terlahir di dunia ini disebut sebagai manusia pilihan, karena proses menuju janin kita disaring dengan ketat dan kitalah yang keluar di muka bumi ini, sehingga sangat naif kalau menyianyiakan kesempatan baik untuk berjuang.
Sungguh seakan ada simpul ikatan makna dan sanad keilmuan dari Kanjeng Sunan Ampel abad 14 itu hadir kembali pada ke Syaikh Ali Jum’ah, ketika beliau menyampaikan mauidlohnya dan mengatakan; “Dua telur yang saya dapatkan ini, akan terus saya pegang erat agar tak hilang dan akan saya bawa ke hotel untuk dimakan dengan sepenuh doa.
Semoga dengan barokahnya Kanjeng Nabi melalui haflah maulid ini, jiwa-raga saya menjadi lebih baik dan diri saya menjadi salah satu penerima berkah pancaran cahaya dari kemilau cahaya-cahaya yang tak pernah padam pada semesta ini. Aku percaya kepada berkah—yang selalu menakjubkan, menakjubkan, dan menakjubkan….” Pungkasnya.
Aguk Irawan MN, santri Alumni Darul Ulum, Langitan. Pernah kuliah jurusan Aqidah-Filsafat di Al-Azhar University Cairo dan Sekolah Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga. Pengajar Antropologi-budaya di STIPRAM Yogyakarta, serta di Ma’had Aly KH. Ali Maksum Krapyak dan STAI Pandanaran Yogyakarta. Buku terbarunya terbit di penerbit Mizan Group; Genealogi Etika Pesantren, Kajian Intertekstual (2018) dan Sosrokartono, Sebuah Biografi Novel (2018).