“Kita berdiri di antara dua kewajiban sekaligus: mempertahankan tradisi keilmuan Islam yang hidup di pondok pesantren, serta menjaga kebebasan intelektual yang melindungi martabat santri. Bila adab melampaui batas, reformasi harus datang dari dalam pesantren, bukan dari kebencian luar; bila perbudakan menyaru adab, maka suara kritis harus berani mengoreksi.”
JAKARTA | LIPUTAN9NEWS
Setiap orang akan berpikir, berperasaan, dan berperilaku sesuai dengan cara pandang yang dianutnya. Cara pandang terbentuk dari banyak faktor; keluarga, lingkungan, pendidikan dan kebudayaan.
Ini menegaskan bahwa keragaman cara pandang adalah bagian dari keniscayaan. Karenanya, mustahil bagi kita mengharapkan setiap orang punya cara pandang yang sama dengan kita.
Anggapan sebagian netizen, melihat realitas tradisi pesantren; seorang santri jalan menunduk bahkan membungkuk pada kyai, seorang santri rela diperintah apapun oleh kyai serta seorang santri hidupnya dihabiskan hanya untuk berkhidmat pada kyai lalu itu semua dianggap sebagai perbudakan adalah bagian dari keniscayaan adanya cara pandangan yang berbeda yang pada akhirnya melahirkan persepsi yang berbeda pula.
Karenanya izinkan kami para santri meluruskan pandangan tersebut;
Pertama, Mendudukkan arti Feodalisme, Feodalisme pada awalnya adalah sistem kekuasaan berbasis tanah dan ketergantungan sosial-ekonomi, lahir dari keruntuhan otoritas pusat di Eropa abad pertengahan. Ia bukan relasi spiritual atau etika, melainkan struktur sosial-politik yang menindas. (Lihat pada website: https://www.britannica.com/topic/feudalism) Karena itu, menyamakan tadzhim santri kepada guru dengan feodalisme adalah kekeliruan epistemologis — sebab tadzhim lahir dari adab dan cinta, bukan dari kekuasaan dan kesewenangan.
Kedua, Pandangan sinis terhadap istilah tadzhim sebagai bagian dari adab santri lahir dari krisis epistemik — yakni ketidakmampuan membedakan antara ketaatan spiritual dan perbudakan sosial. Mereka menilai simbol lahiriah tanpa menyelami dimensi ruhaniah yang melandasinya. Padahal, adab dalam pesantren bukan hasil tekanan hierarki (yang berkuasa menekan yang lemah), melainkan manifestasi cinta dan penghormatan terhadap ilmu.
Ketiga, Di balik sinisme itu, kami melihat adanya kehilangan figur guru sejati dalam masyarakat modern. Ketika guru (sebagai panutan dan pembimbing kehidupan) bergeser kepada figur “konten kreator,” maka adab terhadap ilmu pun memudar. Netizen menilai pesantren dengan kacamata algoritma semata: cepat, instan, dan dangka, tanpa ruang tafakkur (analisa mendalam) dan tadabur (melihat dengan utuh dan jernih agar mendapat pelajaran).
Keempat, Dunia modern memuja kebebasan individual tanpa arah spiritual. Semua bentuk otoritas; keilmuan, guru, agama bahkan Tuhan dianggap mengekang. Maka penghormatan kepada guru dilihat dengan kacamata kecurigaan, bukan ketulusan. Sehingga tadzhim dianggap sebagai perbudakan. Ironisnya, mereka yang menolak otoritas spiritual justru tunduk pada perbudakan yang nyata; tunduk pada hawa nafsunya, egonya, ambisinya, bahkan karir atau pekerjaannya.
Kelima, Di tengah budaya modern yang menuhankan ego dan hawa nafsu, pesantren justru hadir sebagai antitesis: ruang sunyi di mana ego dan nafsu ditundukkan, kebijaksanaan diajarkan, dan cinta ilmu dihidupkan. Netizen yang menyebutnya feodal sesungguhnya sedang menolak cermin yang memantulkan kebisingan batinnya sendiri.
Keenam, Kritik netizen sering berhenti pada literalitas hadis yang melarang berbuat sujud/ruku‘ kepada manusia. Pendekatan tekstual semacam ini sah, tapi tidak cukup. Kita harus membacanya secara utuh: melihat konteks, maqashid (tujuan), falsafah, dan historisnya. Hadis larangan ruku‘ mengatur batas teologis (ibadah dan pengagungan mutlak hanya bagi Allah). Tapi ia tidak serta-merta menghapus semua bentuk penghormatan sosial. Menafsirkan larangan itu sebagai pembatalan total terhadap semua adab lahiriah adalah reading error (pembacaan yang keliru).
Ketujuh, Kritik netizen relevan ketika menunjukkan kasus di mana: guru menuntut penghormatan secara paksa; santri kehilangan kebebasan berpikir; pengagungan menjadi alat legitimasi kekuasaan politik/ekonomi kiai. Dalam kondisi ini, tuduhan “feodalisme” bukan mustahil, tapi penyebabnya adalah penyimpangan institusional, bukan adab itu sendiri.
Kedelapan, Menolak tadzhim karena takut pada potensi penyalahgunaan adalah wajar; melarang tadzhim secara mutlak tanpa membedakan fungsi, niat, dan konteks adalah kekeliruan. Kritik yang tajam harus dipertemukan dengan kesiapan internal pesantren untuk mereformasi praktik yang menyimpang. Kebebasan intelektual dan adab bukan sesuatu yang harus dibenturkan; keduanya harus hidup bersama, adab menghiasi ilmu, dan kebebasan kritis menjaga adab dari penyimpangan.
Maka, di ujung perdebatan ini, saya hendak menegaskan bahwa: Tadzhim bukan warisan kebodohan atau perbudakan, melainkan naskah hati yang menulis syukur atas cahaya ilmu dan jasa yang tak terhingga dari seorang guru.
Kami menyadari, kritik netizen yang tulus dan objektif berfungsi sebagai cermin, tetapi jangan biarkan cermin itu memecah, melainkan memantulkan kebenaran: adab yang lahir karena cinta harus tetap dijaga, dan otoritas yang disalahgunakan harus diluruskan.
Kita berdiri di antara dua kewajiban sekaligus: mempertahankan tradisi keilmuan Islam yang hidup di pondok pesantren, serta menjaga kebebasan intelektual yang melindungi martabat santri. Bila adab melampaui batas, reformasi harus datang dari dalam pesantren, bukan dari kebencian luar; bila perbudakan menyaru adab, maka suara kritis harus berani mengoreksi.
Pada akhirnya, kami para santri tentu adalah orang-orang yang tidak sempurna, karenanya kami menyadari butuhnya diri kami pada seorang guru; ia yang luas ilmunya, yang dekat dengan Tuhannya, yang menuntun kami dengan cahaya dan kasih sayangnya. Sebab tanpa bimbingan seorang guru, perjalanan menuju Allah hanyalah langkah yang gelap tanpa penunjuk arah. Guru bukan sekadar pengajar ilmu, tapi penuntun jiwa, ia membimbing akal agar tidak sesat dalam berpikir, dan hati agar tidak tenggelam dalam kebingungan.
Di dunia, guru menuntun kita memahami makna hidup; di akhirat, ia menjadi penghubung antara kami dengan kekasihNya. Maka mencintai guru bukanlah feodalisme, melainkan pengakuan atas kebutuhan ruhani: bahwa manusia takkan sampai kepada kebenaran sendirian. Karena di balik setiap ilmu yang kita pahami, selalu ada tangan seorang guru yang pernah menuntun, dengan sabar, dengan cinta, dan dengan doa yang tak pernah ia minta balasannya.
A. Rifqi Maulana, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jakarta
























