Cirebon | LIPUTAN9NEWS
Manusia terdiri dari dua dimensi, yaitu raga dan jiwa. Oleh karena itu dalam upayanya memenuhi kebutuhan jiwa itu, pembahasan tentang manusia selalu menarik, terutama dari sisi jiwa, yaitu religius-spritualis. Cepat atau lambatnya perjalanan spiritual seseorang ditentukan bukan hanya kuantitas, melainkan juga kualitas mujahadah dan riyadhah.
Bagi kaum Sufi itu dapat terjadi dengan melalui beberapa jalan yang panjang dan berliku, yang cukup melelahkan dengan berbagai maqāmāt, di antaranya; al-zuhud, al-taubat, al-sabr, al-faqr, al-tawadhu’, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridha, al-mahabbah, al-ma’rifah, al-baqa’ wa al-fana’ sampai pada al-ittihad, al-hulul, dan wihdat al-wujud. Artinya, antara satu sufi dengan yang lain mempunyai jumlah maqam yang berbeda karena maqāmāt itu terkait erat dengan pengalaman sufi itu sendiri. (Huda Darwis, At Tasawwuf wa Rasail an-Nur li an Nursi, hal. 220).
Kesemua maqāmāt tersebut merupakan metode yang ditempuh oleh seorang Sufi untuk sampai ke puncak-puncak capaian sufistik, namun metode yang ditempuhnya antara satu sufi dengan sufi yang lain tidak sama. Bahkan keadaan yang dialami ketika ia berada pada puncak tersebut sangat bervariasi.
Jadi seorang sufi tidak dapat begitu saja dekat dengan Allah. Tetapi, ia harus menempuh jalan panjang yang berisi tingkatan-tingkatan. Jumlah maqam yang harus dilalui oleh seorang sufi ternyata bersifat relatif. Artinya, antara satu sufi dengan yang lain mempunyai jumlah maqam yang berbeda karena maqāmāt itu terkait erat dengan pengalaman sufi itu sendiri. (Huda Darwis, At Tasawwuf wa Rasail an-Nur Li an Nursi, hal. 220).
Yang dimaksud maqam di sini ialah puncak pencapaian spiritual yang dapat dicapai seseorang. Ibarat tangga yang mempunyai beberapa anak tangga, harus didaki para pencari Tuhan (salik) melalui berbagai usaha. Dari anak tangga pertama hingga puncak memerlukan perjuangan dan upaya spiritual, mujahadah dan riyadhah. Anak-anak tangga (maqamat) tidak sama pada setiap orang atau setiap tarekat.
Pencapaian maqam tertinggi yang diidamkan bagi seorang sufi tentu bersatunya sang pencinta dan yang dicinta. Konsep penyatuan ini bagi Abu Yazid al-Bustami dikenal dengan istilah Ittihad, bagi al-Hallaj dikenal dengan istilah hulul, bagi Al-Jilli disebut Insan al-Kamil, bagi Al-Ghazali disebut wushul dan bagi lbnu Arabi menyebutnya dengan istilah wahdat al-wujud. Namun demikian secara konsepsi ada sedikit perbedaan yang mendasar diantara para sufi tersebut.
Ittihad
Yang dimaksud dengan Ittihad adalah suatu tingkatan dalam tasawuf dimana seorang sufi, karena dalam upayanya menyucikan jiwanya yang terus-menerus, sehingga ia mabuk dengan Tuhan, dan merasa dirinya telah lenyap dan yang ada hanya wujud Tuhan; suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satunya lagi dengan katakata: Duhai Aku. Duhai al-Haq! (A. R. Badawi, Syathahat al-Sufiyah, an-Nahdhah aL-Misriyah 1949, hal. 63)
Dalam ittihad, “identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu.” Sufi yang bersangkutan, karena fana‟nya telah tak mempunyai kesadaran lagi, dan berbicara dengan nama Tuhan. Pencetus konsep al-ittihad adalah Abu Yazid al-Busthami. Nama lengkapnya adalah Thaifur Ibn Isa ibnu Sarusyan. Dia berasal dari Bustham. Kakeknya, Sarusyan sebelum masuk Islam adalah seorang pemeluk agama Majusi, selanjutnya masuk Islam. Abu Yazid meninggal tahun 261 H. (Al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah, Pakistan, 1964, hal.115)
Hulul
Hulul secara bahasa halla, yahullu, hululan adalah menempati, menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma‟ adalah faham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. (Abu Nasr al-Tusi, al-Luma‟, al-Qahirah, Dar al-Kitabah al-Haditsah, 1960, hal. 53)
Pencetus konsep hulul adalah al-Hallaj, nama lengkapnya adalah Abu al-Mughits al-Husain lbnu Manshur ibnu Muhammad al-Baidhawi. Dia lahir sekitar tahun 244 H di al-Baidha, Persia. Digelari al-Hallaj karena penghidupannya dia peroleh dari memintal kain hallaj (wol).
Al-Hallaj berpendapat, bahwa Allah mempunyai dua sifat dasar (nature), yaitu ketuhanan (lahut) dan kemanusiaan (nasut). Teorinya ini dapat dilihat dalam bukunya yang berjudul at-Tawasin. Dalam teorinya disebutkan, bahwa sebelum Tuhan menjadikan makhluk, ia hanya melihat dirinya sendiri.
Dalam kesendirian-Nya itu terjadilah dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri, dialog yang di dalamnya tak terdapat kata-kata atau huruf-huruf, dan yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggian dzat-Nya. Allah melihat kepada dzat-Nya dan Dia pun cinta pada dzat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dan yang banyak ini. (Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang 2006, hal. 72)
Wahdat al-Wujud
Wahdat al-Wujud adalah kesatuan wujud, paham ini dibawa oleh lbnu Arabi, nama lengkapnya Abu Bakn Muhammad ibnu li ibn Ahmad ibn Abdullah al-Thai al-Hatimi, lahir di Muncia Andalusia Tenggara, tahun 560 H. Menurut paham ini tiap-tiap yang ada mempunyai dua aspek.
Aspek luar merupakan ard dan khalq yang mempunyai sifat kemakhlukan; dan aspek dalam yang merupakan jauhar dan haq yang mempunyai sifat ketuhanan. Dengan kata lain, dalam tiap-tiap yang berwujud itu terdapat sifat ketuhanan atau haq dan sifat kemakhlukan atau khalq.
Dalam teorinya tentang wujud, lbnu Arabi mempercayai terjadinya emanasi, yaitu Allah menampakkan segala sesuatu dari wujud ilmu menjadi wujud materi. Ibnu Arabi menafsirkan wujud segala yang ada sebagai teofani abadi yang tetap berlangsung dan tertampaknya yang Maha Besar di setiap saat dalam bentuk-bentuk yang terhitung bilangannya. (lbnu Arabi, Fushush al-Hikam, pendahuluan. Dalam Abu al-Wafa at-Ghanimi 2003, hal. 202)
Wushul
Wushul secara bahasa adalah telah sampai. Maksudnya adalah dalam perjalanan yang panjang seseorang sampai pada tujuan terakhirnya, yaitu Allah. Pengusung terma wusuhul ini adalah Imam Hujjatul Islam al-Ghazali, sebagaimana yang tertuang dalam karyanya Misykat al-Anwar. Al-Ghazâlî lahir pada tahun 450 H./1058 M. di Thus, salah satu kota di Khurasan.
Menurutnya, dengan dzauqnya (seganap jiwanya) seorang bisa sampai kepada Allah, dan pengalaman-pengalaman itulah yang membuat seorang hamba bisa menyatu dengan Allah, tetapi penyatuan ini bukan dua dzat yang berbeda menjadi satu dzat, melainkan penyatuan secara maknawi akan perjumpaan (Al-Ghazali, Misykat Al-Anwar, 291-292).
Bagi al-Ghazali pengalaman penyatuan itu bersifat majazi. Karena manusia memang dirancang oleh Allah secara sempurna, baik secara shurah (bentuk), maupun an-nafs-nya (sifat). Setelah memperhatikan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki seseorang, al-Ghazâlî, merasa perlu mengagaris bawahi, bahwa ilmu itu tergolong pada dua hal, yaitu al-hissiyat (yang diperoleh melalui indera maupun imajinasi) dan al-dharuriyyat (yang sifatnya priori, logika dan aksiomatis). (Al-Ghazâlî, Al-Munqidz min al-Dhalâl, hal. 7).
Insan al-Kamil
Konsespi insan al-Kamil (manusia paripurna) dikenalkan oleh Abdul Karim Al-Jilli. Menurut Al-Jilli, pengertian insan al-Kamil adalah Ruh Nabi Muhammad yang terkristal dalam diri para Nabi sejak Nabi Adam As hingga Nabi Muhammad Saw, para wali dan orang-orang shalih terpilih, sebagai cermin Tuhan yang diciptakan atas namaNya dan refleksi dari gambaran dari asma-asma dan sifat-sifatNya. (Abdul Karim Al-Jilli, Insan Al-Kamil, jilid II, hal. 58, 74, 78)
Tauhid sebagai konsep pokok tasawuf dipahami sebagai pemusnahan dari ketidaktahuan akan identitas manusia yang hakiki dan tak tergoyahkan dengan satu-satunya yang nyata, bukan lagi kesatuan kehendak, akan tetapi pengungkapan selubung-selubung ketidaktahuan. (Abdul Karim Al-Jilli, Insan Al-Kamil, jilid II, hal. 78)
Ajaran tentang Insan al-Kamil al-Jilli tak bisa dilepaskan dari ittihad al-Bustami, hulul diri al-Hallaj dan Wahdat al-Wujud Ibnu Arabi, dimana pengalaman penyatuan manusia, mengandung penyatuan ruh manusia dan ruh Tuhan akan bertajalli karena keduanya sama-sama sempurna. Proses tajali tesebut melalui tiga tahapan tanazul (turunan); huwawiyah, ahadiyah dan inaniyah.(Al-Jilli, Syahr Musykilat Futuhat, hal. 8)
Meski Al-Jilli mengaku mendapat inspirasi dari al-Bustami, al-Hallaj dan Ibnu Arabi, menurutnya ada perbedaan antara ittihad al-Bustami dengan hulul al-Hallaj, yaitu dalam hulul diri al-Hallaj tidak melebur atau hilang, sementara dalam ittihad diri Abu Yazid hancur dan yang ada hanya diri Tuhan.
Jadi dalam ittihad yang dilihat satu wujud, sedang dalam hulul ada dua wujud tetapi bersatu dalam satu tubuh. Dalam teorinya tentang wujud, Ibnu Arabi mempercayai terjadinya emanasi, yaitu Allah menampakkan segala sesuatu dari wujud ilmu menjadi wujud materi. Filosofi dari ketiga konsep di atas (ittihad, hulul, dan wahdat al-wujud) adalah bahwa Allah ingin melihat diri-Nya di luar dirii-Nya. Sehingga dijadikan-Nya alam ini yang merupakan cermin bagi Allah dikala ingin melihat diri-Nya.
Titik-Temu
Meski secara konsepsi ada sedikit perbedaan dari para sufi terkemuka diatas, namun, pada intinya semua itu menuju pada satu tujuan utama yaitu mendekatkan diri kepada Allah (Taqarrub ila Allah). Dasar konsep mereka mengacu pada beberapa ayat al-Qur’an dan hadis Nabi saw., antara lain Q.S. al-Baqarah 186.
وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
Adapun landasan dari hadis Nabi saw., antara lain hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari berikut.
عمر بن حفص حدثنا أبي حدثنا الأعمش سمعت أبا صالح عن حدثناأبي هريرة رضي ﷲ عنه قال: قال النبي صلى ﷲ عليه و سلم ) يقول أنا عند ظن عبدي بي وأنا معه إذا ذكرني فإن ذكرني في ﷲ تعالى ذكرته في نفسي وإن ذكرني في ملأ ذكرته في ملأ خير منهم نفسه إلي شبرا تقربت إليه ذراعا وإن تقرب إلي ذراعا تقربت وإن تقربإليه باعا وإن أتاني يمشي أتيته هرولة
“Umar bin Hafs telah menceritakan kepada kami, Bapakku telah menceritakan kepada kami, al-A’masy telah menceritkakan kepada kami, saya mendengar Aba Shalih, dari Abi Hurairah, dari Nabi saw., beliau bersabda:
“Allah Ta’ala berfirman Aku sebagaimana persangkaan hambaKu, dan Aku selalu bersamanya jika ia mengingatKu, maka apabila ia mengingatKu dalam dirinya, maka Aku pun mengingatnya dalam diriKu dan apabila ia mengingatKu dalam perkumpulan maka Aku mengingatnya dalam perkumpulan lebih baik dari mereka.
Jika ia mendekatkan diri kepadaKu sejengkal, maka Aku akan mendekatkan diri kepadanya sehasta, dan jika ia mendekatkan kepadaKu sehasta maka Aku akan mendekatkan diri kepadanya sedepa, dan jika ia mendatangiku dalam keadaan berjalan, maka Aku mendatanginya dalam keadaan berlari.” (Muhammad bin Ismail bin Abu Abdillah al-Bukhari al-Ja’fi, Al-Jami’ al-Shahih, hal. 2694).
Memang dalam perspektif tasawuf, kesempurnaan manusia terletak pada bagaimana maqam kedekataanya dengan Allah. Sehingga pada posisi dekat ini manusia memperoleh hubungan langsung dengan Allah sehingga ia menyadari benar bahwa dirinya berada pada tajaliyatNya. (Abdul Karim Al-Jilli, Insan Al-Kamil, jilid II, hal. 77).
Terakhir, menurut Hazrat Inayat Khan, tingkatan puncak yang dialami para sufi tersebut, ia mengibaratkan seperti cangkir kosong ketika menghadap Allah, mereka belajar atas semua peristiwa yang ia alami di dunia ini. Mereka tidak memikirkan apapun selain Allah, dengan begitu cangkir kosong itu akan diisi oleh Allah dengan caranya sendiri, dan di kehidupan dunianya dia bisa membuktikan dirinya menjadi inspirator, seperti ilmuwan, pendidik, negarawan, pebisnis dan apapun yang memiliki kualitas yang handal lantaran cahaya yang telah memancar dariNya. (Hazrat, The Inner Life, hal. 7, 50). Wallahu’alam bishawab.
KH. Imam Jazuli, Lc. MA, Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.