BANTEN | LIPUTAN9NEWS
Secara sederhana atau secara singkat, teori ‘Kontrak Sosial’ Jean-Jacques Rousseau, yang ia jelaskan dalam bukunya yang berjudul Kontrak Sosial atau Asas Politik itu menerangkan bahwa individu-individu rela menyerahkan kebebasan pribadi sepenuhnya kepada komunitas demi mencapai kebebasan yang lebih besar dan kehidupan yang harmonis di bawah hukum yang dibuat bersama (kehendak umum). Dengan menaati hukum ini, individu-individu dalam komunitas sebenarnya hanya menaati dirinya sendiri sebagai bagian dari komunitas, sehingga kebebasan dan otoritas yang mereka taati tidak bertentangan. Gagasan Jean-Jacques Rousseau inilah yang menjadi ide dasar bagi konsep kedaulatan rakyat dan demokrasi modern, yang kemudian diamini banyak bapak bangsa Indonesia untuk membangun fondasi konstitusi dan politik Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Di Bab I bukunya yang berjudul ‘Kontrak Sosial atau Asas Politik’ itu, Jean-Jacques Rousseau mengawali paragraf pertamanya dengan kalimat: “Manusia dilahirkan bebas. Kendatipun demikian kita melihat di manapun mereka hidup terbelenggu” (Jean-Jacques Rousseau, Kontrak Sosial atau Asas Politik, Penerbit Erlangga Jakarta 1986, h. 5)
Jean-Jacques Rousseau, saat tinggal di Paris, tidak menyukai hipokritas warga Paris, terutama para bangsawan di kota itu. Berpakaian rapih dan bagus, penuh sopan santun, namun sesungguhnya feudal, suka berbohong, menjilat, tidak jujur dan penuh intrik. Sifat-sifat itu bagi Rousseau sangat kontras dengan kejujuran, kesahajaan, dan ketulusan orang-orang desa di tanah kelahirannya di Jenewa, Swiss. Ia juga banyak menentang pemikiran para intelektual kota itu, yang sebagian bertendensi membenarkan despotisme (monarki para bangsawan dan keluarga kerajaan Eropa) dan tirani. Ia juga menentang perbudakan karena perbudakan menyalahi kodrat manusia yang terlahir bebas:
“Jikalau setiap individu dapat memindahkan kebebasan dirinya, maka ia tidak bisa membebaskan keturunannya. Karena dilahirkan sebagai seorang yang bebas, maka kebebasannya itu menjadi miliknya sendiri yang paling hakiki dan tidak seorang pun berhak menghilangkannya, kecuali dirinya sendiri” (Kontrak Sosial h. 10). Pandangan Rousseu itu adalah penolakannya atas pandangan Grotius yang membenarkan perbudakan seseorang oleh orang lain dan kepatuhan buta warga atau masyarakat kepada raja (tiran). “Grotius mengatakan, bila seorang individu dapat mengorbankan kebebasannya untuk menjadi budak bagi tuannya, mengapa seluruh penduduk tidak dapat pula mengorbankan kebebasannya untuk menjadi hamba seorang raja?” (Kontrak Sosial h. 9).
Pandangan tersebut bagi Rousseau sangat irasional dan menjijikkan, karena siapa pun yang berakal, pasti tidak akan membiarkan dirinya diperbudak orang lain. “Karena itu perlu mendirikan pemerintahan yang tidak sewenang-wenang dan dapat dibenarkan, yang setiap generasi dapat secara bebas menerima atau menolaknya. Sudah tentu pemerintah seperti itu tidak akan berbuat sewenang-wenang terhadap rakyatnya…Menyerahkan kebebasan kita kepada orang lain berarti melenyapkan kualitas kita sebagai manusia, yaitu hak dan kewajiban kemanusiaan. Tidak mungkin ada suatu kompensasi yang cukup untuk pengorbanan yang sedemikian lengkap itu. Tindakan mengorbankan kebebasan seperti itu bertentangan dengan sifat manusia. Sekali haknya dicabut dari kemauannya untuk bebas, orang pasti terjerumus ke dalam lembah kemiskinan moralitas. Akhirnya suatu perjanjian yang menetapkan otoritas mutlak di satu pihak dan ketaatan tak terbatas di pihak lain, harus dianggap sebagai tindakan sia-sia dan sangat bertentangan (Kontrak Sosial h. 10).
Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) adalah filsuf, penulis dan komponis kelahir Jenewa (Swiss) yang menjadi fondasi filsafat politik modern, pendidikan progresif dan gerakan revolusioner yang juga menggerakkan Revolusi Perancis. Ia percaya bahwa manusia memiliki kodrat yang baik secara alami, namun dirusak (menjadi jahat) oleh masyarakat dan institusi sosial. Keyakinannya itu bertentangan dengan keyakinan Thomas Hobbes yang mempercayai bahwa manusia itu jahat dan brutal secara alami, karena itu dibutuhkan Leviathan yang sanggup memaksakan order atau keteraturan. Rousseau adalah pemikir besar yang multitalenta dan prolifik, yang karya-karyanya mempengaruhi praktik politik modern hingga saat ini.
Dalam magnum opus (karya utamanya), Du Contrat Social (Kontrak Sosial), ia memperkenalkan ide (konsep) kontrak sosial, perjanjian antar tiap individu dengan kolektif masyarakat yang bersatu melalui kehendak umum, yang bertujuan: bukan perlindungan kepemilikan pribadi sebagaimana dalam filsafat politik John Locke, melainkan untuk pembentukan komunitas politik yang setara, adil dan merdeka. Ia berkeyakinan bahwa kedaulatan ada pada rakyat, bukan raja, lembaga pemerintah dan (rezim) politik. Pemerintah dan rezim politik dalam pandangannya tak lebih petugas yang harus sanggup mewujudkan apa yang menjadi cita-cita dan tujuan kontrak sosial.
Dalam kontrak sosial itu, Rosseau menekankan bahwa tatanan politik harus dibangun berdasarkan kesepakatan antar warga Negara untuk membentuk komunitas politik yang adil. Kehendak umum yang ia pahami bukan sekadar suara mayoritas, tapi merupakan kesepakatan moral kolektif. Kontrak sosial dalam pandangannya bukan untuk tunduk pada kekuasaan absolut, namun untuk membentuk masyarakat yang setara dan bebas, semangat republikan dan demokrasi partisipatoris Rosseau ini, setidak-tidaknya menginspirasi sejumlah bapak bangsa Indonesia, terutama pada landasan kenegaraan yang berasas kedaulatan rakyat dan kehendak umum.
Tentang kedaulatan rakyat, Rousseau bertanya, “Di manakah sebenarnya tempat kedaulatan itu, dalam arti kekuasaan absolut dan kekuasaan moral tertinggi?” Menurut Rousseau, kedaulatan itu harus ada bersama rakyat sebagai satu kesatuan. Jika tidak terdapat seorang pun di dalam Negara yang memegang kekuasaan absolut, maka kekuasaan absolut harus terletak di tangan seluruh komunitas.
Menurut Rousseau, kedaulatan tidak berada pada kelompok khusus mana pun. Masalahnya adalah rakyat, secara praktik dan praktis, tidak menjalankan kekuasaan secara langsung, kecuali melalui perwakilan mereka yang mereka pilih. Hanya saja, menurut Rousseau, kerapkali orang-orang yang ditunjuk dan dipilih sebagai perwakilan ini malah mengembangkan kepentingan khusus mereka sendiri ketimbang memperjuangkan aspirasi-aspirasi rakyat. Ini juga realitas yang terjadi di Indonesia saat sekarang, dan mungkin di masa yang akan datang.
Menjawab dilema tersebut, menurut Rousseau, ada kehendak umum di dalam masyarakat yang menginginkan kebermanfaatan dan kebajikan bagi kebaikan hidup kolektif bersama yang mengatasi kepentingan partai dan kepentingan pribadi seorang politisi dan pejabat. Kehendak umum ini bisa dikenali lewat aspirasi mayoritas rakyat dan bahkan kesepakan bulat yang dibuat rakyat. Singkat kata, sebagaimana ditafsirkan sejumlah para bapak bangsa Indonesia, kekuasaan dan kedaulatan sejati sebuah Negara berada di tangan rakyat atau kedaulatan rakyat. Kehendak umum ini, dalam pandangan Rousseau, adalah sesuatu yang di atas atau melebihi semua kehendak individu yang ada dalam masyarakat. Kehendak umum ini bukan sesuatu yang terpisah dari tiap individu.
Dalam kontrak sosialnya Rousseau tentang kehendak umum ini, tiap individu memiliki dua kehendak (will), yaitu: kehendak pribadi yang memisahkan keinginannya dari kelompok sosial di mana ia berfungsi, dan kehendak umum di mana keinginan pribadi atau individualnya pada waktu yang bersamaan merupakan keinginan yang sesuai dengan statusnya sebagai anggota masyarakat dan warga Negara. Pertanyaannya adalah: kapan kehendak umum itu diwujudkan? Apa tanda bahwa sebuah keputusan atau kebijakan mewakili kehendak umum? Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, penting untuk diketahui Rousseau membedakan antara kehendak umum dan kehendak semua orang. Bahwa sebagian besar permasalahan tidak perlu umum, dan kita tidak mesti bergantung pada mayoritas untuk menentukan kebaikan umum. Lalu, apa maksud itu semua? Menurut Rousseau, aspirasi minoritas bisa jadi malah merupakan perwakilah kehendak umum yang benar.
Dalam konteks kekinian, aspirasi-aspirasi politik kelompok-kelompok atau komunitas-komunitas sipil yang tercerahkan atau gerakan para mahasiswa dapat dibaca sebagai kehendak atau aspirasi banyak warga Negara atau rakyat. Sudah tentu, partisipasi warga Negara yang sadar hak-hak politik dan sosial mereka, apalagi ketika mereka harus membayar aneka pajak yang dibebankan rejim (pemerintah) kepada mereka, tidak seyogyanya hidup dalam despotisme atau tirani yang merampas atau merenggut kebebasan dan kemerdekaan mereka untuk mendapatkan kesempatan setara untuk berdaya, untuk mendapatkan keadilan sosial, ekonomi dan politik. Adapun terkait despotisme itu sendiri, Jean-Jacques Rousseau menulis: “Pada despotisme kita tidak akan menemukan kemurahan hati, apapun alasannya” (Kontrak Sosial, h. 13).
Secara sederhana, teori ‘Kontrak Sosial’ Jean-Jacques Rousseau, yang ia jelaskan dalam bukunya yang berjudul Kontrak Sosial atau Asas Politik itu menerangkan bahwa individu-individu rela menyerahkan kebebasan pribadi sepenuhnya kepada komunitas demi mencapai kebebasan yang lebih besar dan kehidupan yang harmonis di bawah hukum yang dibuat bersama (kehendak umum). Dengan menaati hukum ini, individu-individu dalam komunitas sebenarnya hanya menaati dirinya sendiri sebagai bagian dari komunitas, sehingga kebebasan dan otoritas yang mereka taati tidak bertentangan. Gagasan Jean-Jacques Rousseau inilah yang menjadi ide dasar bagi konsep kedaulatan rakyat dan demokrasi modern, yang kemudian diamini banyak bapak bangsa Indonesia untuk membangun fondasi konstitusi dan politik Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Filsafat politik Rousseau yang ia tuangkan dalam bukunya itu tentu saja lahir dari kegelisahan dalam mendapati realitas masyarakat dan politik, seperti yang menurut Jean-Jacques Rousseau sendiri percayai, yaitu bahwa manusia pada awalnya hidup dalam “keadaan alamiah” yang penuh kedamaian dan kebebasan. Namun, seiring waktu (perkembangan sejarah dan peradaban), keserakahan manusia dalam mengolah sumber daya menyebabkan munculnya kesenjangan (ketimpangan) sosial, di mana yang kuat menindas yang lemah, menciptakan ketidakadilan dan kehancuran moral. Filsafat politik Rousseau berusaha menjawab persoalan tersebut, yaitu bahwa untuk mengembalikan ketenangan dan mengatasi ketidakadilan yang tidak alam tersebut, individu-individu dalam komunitas (masyarakat) secara sukarela membuat kesepakatan (kontrak sosial).
Hak-hak (kebebasan individual) yang diserahkan itu kemudian ditransformasikan menjadi “kehendak umum” (volonté générale). Dalam hal demikian, kehendak umum menurut Jean-Jacques Rousseau adalah keinginan kolektif yang bertujuan untuk kepentingan bersama dan keadilan dalam masyarakat. Bersamaan dengan itu, kedaulatan (otoritas tertinggi) tidak lagi ada pada individu, melainkan sepenuhnya ada pada rakyat. Begitupun, hukum yang berlaku adalah ekspresi dari kehendak umum tersebut, sehingga ketika individu mematuhi hukum, ia sebenarnya sedang mematuhi dirinya sendiri sebagai anggota komunitas. Teori ‘Kontrak Sosial’ Rousseau inilah yang kini menjadi dasar bagi demokrasi modern, menekankan bahwa pemerintahan yang sah harus berasal dari kesepakatan rakyat dan mencerminkan kepentingan bersama, di mana kesetaraan untuk mendapatkan ruang dan kesempatan sosial, ekonomi, dan politik bagi semua warga negara menjadi fondasi utama sebuah Negara yang menganut asas kedaulatan rakyat.
Sulaiman Djaya, Peminat Kajian Kebudayaan

























Comments 1