Jakarta | LIPUTAN9NEWS
Puasa Ramadhan yang diwajibkan pada setiap manusia muslim, salah satu tujuannya adalah membentuk kepribadian yang kuat dan mandiri. Pada saat seorang muslim melaksanakan puasa dengan baik, sesuai dengan tuntutan agamanya, maka akan menjadi orang-orang yang beriman dan bertakwa, dengan melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya. Manusia yang beriman dan berakwa akan memperoleh kebahagiaan yang abadi, baik di dunia maupun di akhirat. Dengan demikian, ia akan meraih kesuksesan dan keberhasilan yang maksimal dalam menapaki jalan kehidupannya.
Puasa menurut pengertian bahasa adalah al-Imsâku atau menahan diri dari sesuatu, dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu puasa lahiriah dan puasa ruhaniah. Puasa lahiriah terdiri dari tiga hal yaitu meninggalkan makan, minum, dan bercampur dengan istri dari fajar di waktu subuh, sampai terbenam matahari di waktu maghrib dengan ikhlas mengharap keridhaan Allah s.w.t.. Inilah puasa yang telah banyak dikerjakan umat Islam.
Puasa ruhaniah atau puasa batiniah merupakan lanjutan dari puasa lahiriah, yaitu dengan:
- menjaga pandangan mata dari melihat sesuatu yang tercela,
- menahan pendengaran dari mendengarkan berbagai hal yang tidak terpuji, seperti ghibah, hoaks, gosip, dan informasi-informasi yang tercela lainnya.
- menjaga lisan dari segala perkataan yang tidak terpuji seperti berdusta, mencela orang lain, menyakiti, mengumpat, dan merendahkan sesama.
- menjaga tangan dan anggota badan lainnya dari segala perbuatan yang dilarang oleh agama, seperti menyakiti orang lain, atau melakukan perbuatan maksiat atau perbuatan-perbuatan lain yang bersifat fasik yang mendatangkan kerugian bagi sesamanya. Masih berkaitan dengan puasa ruhaniah yang lebih tinggi lagi adalah harus menjaga pikiran dan hati kita dari segala hal yang tercela, seperti memikirkan hal-hal yang dilarang oleh agama, dan mengotori hati dengan penyakit ruhani seperti takabbur, ujub, riya’, hasad, sum’ah, dan sebagainya.
Tingkatan puasa yang paling tinggi adalah menahan diri dari hawa nafsu. Karena itu, Nabi bersabda: “Jihad yang paling utama adalah memerangi hawa nafsu”. (HR. Ahmad, 23950). Jihad memerangi hawa nafsu lebih berat dari melaksanakan jihad dalam perang konvensional. Jihad dalam arti perang, jarang terjadi, kalaupun terjadi hanya beberapa hari, tetapi jihad untuk mengalahkan hawa nafsu terjadi setiap detik selama hidup. Dari sini terbayang, betapa beratnya berjihad memerangi hawa nafsu masing-masing.
Memerangi hawa nafsu ini terdiri dari tiga hal, yaitu (1) melawan nafsu dari dorongan perut. Dengan demikian, tidak boleh memperturutkan nafsu makan secara berlebihan, tetapi harus sederhana. Mereka yang makan berlebihan digambarkan seperti orang yang menggali kuburannya sendiri. Berbagai macam penyakit yang terjadi pada masa kini yang sangat berbahaya adalah disebabkan oleh pola makan yang berlebihan. Nabi s.a.w. memperingatkan kita:
“Pada suatu saat kamu akan menjumpai orang-orang yang makan berlebihan, minum berlebihan, berkata berlebiha, berpakaian secara berlebihan, mereka itulah orang-orang yang paling buruk dari umatku”. (HR. Tabrani, 7512).
Memerangi nafsu yang ke (2) adalah menahan libido seksual dari dorongan yang menyesatkan, yaitu segala aktivitas seksual yang melanggar larangan agama seperti perselingkuhan, perzinahan, devisiasi seksual, dan sebagainya. Dorongan nafsu ini jauh lebih berat dari dorongan nafsu yang pertama, karena dapat menjerumuskan manusia dalam kubangan kehancuran.
Hal ini semua terlihat dalam mess media yang berkembang dewasa ini, betapa banyaknya keluarga yang sukses, istrinya berpendidikan tinggi, dan anak-anaknya sukses, tapi kemudian keluarga ini jatuh tersungkur dalam kehidupan yang sangat hina karena diperdayakan oleh libido seksualnya. Banyak sekali kejahatan-kejahatan yang bersifat kriminal yang dilakukan oleh manusia, diawali dari mengumbar libido seksualnya. Libido seksual hanya diarahkan sesuai petunjuk agama, yaitu hanya kepada istri atau suami yang sah. Selain dari itu, pasti akan mencelakakan.
Nafsu yang ke (3) adalah hawa nafsu yang menyesatkan, yaitu nafsu yang tidak terkendali, sehingga melakukan berbagai tindakan yang merugikan dirinya dan orang lain. Akibatnya, bisa menimbulkan kekacauan di tengah masyarakat. Hanya berapa detik atau berapa menit saja orang tidak bisa menjaga hawa nafsu ini, maka akan menyesal untuk selama-lamanya. Musuh yang paling berbahaya bukanlah menghadapi pasukan tempur dengan senjata lengkapnya atau pasukan pengebom. Tapi, yang paling berbahaya adalah nafsu yang ada pada diri sendiri apabila tidak dikendalikan.
Nabi s.a.w. mengisyaratkan:
ليسَ الشَّدِيدُ بالصُّرَعَةِ، إنَّما الشَّدِيدُ الذي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الغَضَبِ.
“Bukanlah orang hebat itu, orang yang dapat mengalahkan orang lain. Sesunguhnya orang yang hebat adalah orang yang dapat mengendalikan nafsunya ketika sedang marah.” (HR. Muslim, 2609).
Dr. KH. Zakky Mubarok Syakrakh, MA., Dewan Pakar Lajnah Dakwah Islam Nusantara (LADISNU) dan Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)