Yogyakarta, LIPUTAN 9 NEWS
“Jika merujuk pada fatwa-fatwa ulama khalaf seperti Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin, Abdullah bin Abdurrahman al-Jabrain, dan Sholeh bin Fawzan al-Fawzan, maka hukum mengucapkan salam adalah haram (Fatawa ‘Ulama al-Balad al-Haram, 1999: 937-938).”
Pada suatu hari, Imam asy-Syafi’i nembang, “wa anba-ani bi annal ‘ilma nurun wa nurullahi la yuhda li ‘ashi” (Waki’ memberi tahu padaku, ilmu itu cahaya, dan cahaya Tuhan tidak diberikan pada orang maksiat). Syair ini dibuat ketika Imam Syafi’i bertanya pada Waki’ bin Jarrah (w. 197 H.) mengapa hafalan sangat lamban, dan begitulah jawaban guru Imam Syafi’i.
Maksiat bisa menghambat cahaya masuk menembus hati manusia. Maksiat bisa diartikan secara harfiah, perbuatan yang melanggar syariat. Maksiat juga bisa diartikan secara kiasan. Dalam konteks ilmu pengetahuan, maksiat bisa diartikan sebagai subjektifitas yang menghambat objektifitas. Pengetahuan objektif tidak masuk ke dalam hati yang dipenui egosentrisme dan subjektifitas.
Imam al-Ghazali, dalam kitab A-Risalah al-Ladunniyah mengatakan, ada 3 (tiga) cara mendapatkan Ilmu Ladunni: pertama, mempelajari seluruh ilmu dan mengambil bagian paling holistik (al-Awfar). Kedua, melakukan riyadhah dan muraqabah yang benar. Ketiga, melakukan refleksi (tafakkur), dengan mengikuti semua syarat-syarat berpikir rasional (Al-Ghazali, Al-Risalah Al-Ladunniyah, 2014: 62-63).
Jika disederhanakan lagi, tiga macam cara mendapat ilmu ladunni dikelompokkan menjadi dua macam: pertama, mempelajari semua ilmu yang sudah berkembang sebelum-sebelumnya, kemudian merefleksikannya secara kritis. Kedua, jalan spiritual. Cara yang pertama ini sudah jamak di lingkungan akademik, disebab sebagai kajian pustaka (literature review).
Hal yang sama bisa dilakukan untuk mengurai kontroversi hukum mengucapkan salam lintas iman. Satu pendapat melarang ucapan lintas iman, seperti dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Ijtima’ Ulama di Bangka Belitung, 28-32 Mei 2024. Misalnya, Ketua Steering Comitte (SC) Ijtima Ulama Komisi VIII, Prof. KH. Asrorun Niam Sholeh, menyampaikan, penggabungan ajaran berbagai agama, termasuk pengucapan salam dengan menyertakan salam berbagai agama, bukanlah makna toleransi yang dibenarkan.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini juga menambahkan, dalam forum yang terdiri atas umat Islam dan umat beragama lain, umat Islam dibolehkan mengucapkan salam dengan “Assalamu’alaikum” atau salam nasional seperti “selamat pagi”, yang tidak mencampuradukkan dengan salam doa agama lain (mui.or.id, 04/06/2024).
Titik tekan larangan MUI adalah penggunaan ucapan salam Islam dan ucapan salam agama lain. Ucapan “Assalamu’alaikum” tidak boleh digabung dengan ucapan “salam sejahtera bagi kita semua”, “Shalom”, “Om Swastiastu”, “Namo Buddhaya” dan “Salam Kebajikan”. MUI tidak melarang mengucapkan “assalamuaalaikum warahmatullahi wabarakatuh” kepada orang-orang non-muslim.
Berbeda halnya dengan pandangan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama. Kamaruddin Amin mengatakan, salam lintas agama adalah praktik baik kerukunan umat. Ini bukan upaya mencapuradukkan ajaran agama. Umat tahu bahwa akidah urusan masing-masing. Dan secara sosiologis, salam lintas agama memperkuat kerukunan dan toleransi.
MUI dan Kemenag berbeda dalam memaknai ucapan salam lintas iman. MUI memandang ucapan salam sebagai ibadah (ubudiah), dan Kemenag melihatnya sebagai muamalah (praktik sosial). Konsekuensinya, ucapan salam bersifat sakral bagi MUI. Bagi Kemenag, ucapan salam lintas iman bersifat profan. Bukan bentuk campur aduk ajaran-ajaran agama.
Ketua PBNU Ahmad Fahrur Rozi (Gus Fahrur) mengakui bahwa salam lintas agama bisa menjadi persoalan apabila dilihat dari aspek keimanan dan keyakinan. Namun, beberapa kalangan termasuk internal NU menganggap salam lintas agama adalah bentuk kerukunan dan penghormatan terhadap sesama umat beragama. Terbukti, salam lintas agama tidak menggoyahkan iman seseorang, tetapi justru memperkuat hubungan sosial yang harmonis.
Dua kubu tersebut berbeda dalam memaknai salam, apakah ubudiah ataukah sebagai muamalah (praktik sosial). Lantas bagaimana ulama salaf dan khalaf membahasnya?.
Jika merujuk pada fatwa-fatwa ulama khalaf seperti Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin, Abdullah bin Abdurrahman al-Jabrain, dan Sholeh bin Fawzan al-Fawzan, maka hukum mengucapkan salam adalah haram (Fatawa ‘Ulama al-Balad al-Haram, 1999: 937-938).
Ulama-ulama khalaf dari kalangan Wahhabi ini mendasarkan pendapat mereka pada hadits-hadits Nabi saw, salah satunya: “janganlah kalian memulai mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nashrani,” (HR. Muslim, no. 2167) atau “Apabila Ahlul Kitab mengucapkan salam pada kalian, maka balaslah dengan: ‘alaikum” (HR. Bukhari, 6258; Muslim, no. 2163).
Dengan memperbolehkan umat muslim Indonesia mengucapkan “assalamu alaikum warahmatullahi wa barakatuh” kepada orang non-muslim, Fatwa MUI bisa dibilang tidak seradikal kaum Wahhabi.
Dr. Musa Syahin Lasyin, dalam Fathul Mun’im Syahru Shahih Muslim, menghadirkan konteks hadits-hadits riwayat Muslim yang melarang ucapan salam kepada orang kafir. Menurut Dr. Musa, ketika umat muslim tiba di Madinah dan memiliki tradisi mengucapkan salam sesama muslim berupa “assalamu alaikum”, orang-orang Yahudi-Nashrani Madinah mengolok-olok mereka.
Ketika orang Yahudi dan Nashrani bertemu dengan orang muslim, mereka mengucapkan “Assamu”, menghilangkan huruf La. Kata “Assamu” tanpa huruf La berarti “celaka”. Sedangkan kata “Assalamu” dengan huruf La berarti “damai”. Kesengajaan orang Yahudi-Nashrani mengganti “Assalamu” menjadi “Assamu” bertujuan untuk mengolok-olok umat muslim.
Aisyah ra binti Abu Bakar as-Shiddiq, istri ke-3 Nabi Muhammad saw, sangat reaksioner (juga jengkel) melihat perilaku orang Yahudi-Nashrani. Ketika mendengar orang Yahudi-Nashrani mengucapkan “Assamu alaika ya Abal Qasim” (celaka bagimu wahai Ayah Qasim/Muhammad), Aisyah ra langsung membalas: “wa ‘alaikumus samu wal mautuz zuamu wa laknatullahi wan nasi ajma’in” (Sama! Celaka bagi kalian, kematian mengenaskan, lakanat Tuhan dan seluruh umat manusia).
Mendengar ucapan “reaksioner” tersebut, Rasulullah menegur Aisyah dan menyuruhkan tenang. Baru setelah orang-orang Yahudi-Nashrani pulang, Rasulullah saw bersabda: “aku sendiri juga dengar dan tahu, sebagaimana engkau dengar dan tahu. Karenanya, aku jawab: “wa ‘alaikum”, karena aku diutus tidak untuk mencela dan tidak untuk berkata buruk,” (Musa Syahin Lasyin, Fathul Mun’im Syahru Shahih Muslim, 2002: 8/487-488).
Ucapan salam bisa menjadi ibadah sekaligus muamalah. Ketika diucapkan di kalangan umat muslim, salam menjadi ibadah (saling mendoakan kebaikan). Ketika diucapkan di ruang publik, yang terdiri dari umat non-muslim, salam menjadi praktik sosial (muamalah).
Hadits-hadits Nabi yang melarang ucapan salam, yang mengikuti diksi-diksi dari agama lain, memiliki latar belakang sosial. Diksi-diksi orang kafir ini mengandung permusuhan terhadap Islam, seperti ucapan Yahudi dan Nashrani Madinah “Assamu” (Celaka). Bukan “Assalamu” (Damai), yang menandai persabahatan dan kerukunan. Konteks ini penting dipahami, karena salam lintas iman di Indonesia bukan olok-olok terhadap Islam, melainkan memperkuat toleransi.
Dr. KH. Aguk Irawan MN, Lc, MA, Pengasuh Pesantren Baitul Kilmah Yogyakarta, Santri Alumni Darul Ulum, Langitan. Pernah kuliah jurusan Aqidah-Filsafat di Al-Azhar University Cairo dan Sekolah Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga. Pengajar Antropologi-budaya di STIPRAM Yogyakarta, serta di Ma’had Aly KH. Ali Maksum Krapyak dan STAI Pandanaran Yogyakarta. Buku terbarunya terbit di penerbit Mizan Group; Genealogi Etika Pesantren, Kajian Intertekstual (2018) dan Sosrokartono, Sebuah Biografi Novel (2018).