Bondowoso | LIPUTAN9NEWS
Tadi saya mendapat kiriman WA dari bapak Husain, S. Ag pensiunan guru agama sekolah dasar sekaligus pengurus takmir masjid Jamik al-Arif Prajekan Bondowoso yang menanyakan tentang fenomena cara beragama di masyarakat:
“Kenapa selama ini umat Islam yang pergi menunaikan rukun Islam yang nomer lima yaitu ibadah haji, sepulangnya dipanggil pak haji dan ibu hajjah? Sedangkan umat Islam yang mengeluarkan zakat, kenapa tidak dipanggil pak zakat atau ibu zakat dan umat Islam yang menunaikan ibadah puasa tidak dipanggil pak puasa dan ibu puasa?
Beliau meminta saya untuk menanggapi dan menjawabnya fenomena cara beragama umat Islam tersebut.
Hemat saya, panggilan dan gelar haji itu bukan tuntunan agama melainkan dari pemerintah Belanda yang ingin mempetak petakkan umat Islam pada waktu itu. Selain itu, Belanda membuat gelar haji bagi umat Islam yang baru menunjukkan ibadah haji ditanah suci, agar mudah diditeksi eksistenya karena disinyalir umat Islam yang baru datang dari tanah suci, rentan melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda.
Sementara dekat lain seperti pak puasa dan pak zakat, tidak ada dalam tuntunan dan regulasi ajaran agama Islam. Semua itu, sifatnya formalitas bukan esensialitas.
Saya teringat dengan penjelasan Prof. Dr. KH. Imam Suprayogo, MA saat kuliah doktor diruanganya lantai dua gedung SBY pasca sarjana UIN Maliki Malang dan beberapa tulisannya dimedia sosial yang mengatakan;
Banyak orang berbicara agama, tetapi seringkali melupakan substansi makna agama itu sendiri. Mengenal agama Islam misalnya, dimulai dari belajar tentang rukun Islam, rukun iman, dan sejenisnya. Kemudian dilanjutkan dengan mengenal shalat agar dapat menjalankan sebaik-baiknya. Sudah barang tentu, apa yang dilakukan itu tidak keliru. Semuanya adalah betul. Akan tetapi, selain belajar shalat juga perlu memahami substansi shalat itu sendiri sebenarnya untuk apa.
Demikian pula belajar agama, seharusnya diketahui dan dihayati benar untuk apa seseorang harus beragama. Dalam beragama, diperkenalkan tentang Tuhan, utusan Tuhan, berbagai jenis makhluk Tuhan, manusia, keselamatan dan kebahagiaan serta bagaimana meraihnya, kehidupan setelah di dunia ini, dan seterusnya. Sebaliknya, juga seharusnya diketahui jika seseorang tidak mengenal tuhannya dan bahkan tidak mengenal dirinya sendiri. Dengan penjelasan dimaksud maka akan menjadi jelas kegunaan agama itu sendiri.
Memahami hal tersebut menjadikan seseorang mengerti tentang peta kehidupan itu sendiri. Bahwa hidup ini tidak ada yang serba kebetulan. Ada kekuatan yang menciptakan, ada tujuan, ada kehendak, ada sesuatu yang akan diraih, ada kelanjutan dalam kehidupan ini, dan seterusnya. Pengetahuan itu menjadi penting sebagai dasar untuk membangun kesadaran bahwa hidup ini sebenarnya memiliki arti dan juga nilai yang sedemikian mahal. Sementara orang kemudian mengatakan bahwa hidup ini hanya sekali, sehingga harus dijalani sebaik-baiknya.
Agama memberikan petunjuk bagaimana menjalani kehidupan, agar diperoleh keselamatan, kebahagiaan, dan kedamaian. Sudah barang tentu, gambaran hidup yang ideal itu tidak mudah diraih. Persoalannya bukan saja terletak pada alam di mana kehidupan berlangsung, yaitu selalu tidak mudah ditaklukkan, tetapi diri manusia sendiri juga tidak gampang dikendalikan. Manusia memiliki sifat ingkar terhadap tuhannya, suka bermusuhan, berkeluh kesah, bakhil, suka menentang, sedikit yang mampu bersyukur, selalu dalam posisi merugi, berlebih-lebihan, dan seterusnya. Mengendalikan diri sendiri yang memiliki ciri yang demikian itu bukan perkara mudah. Itulah perlunya agama dimiliki oleh manusia.
Oleh karena itu, di antara sekian banyak pengetahuan yang seharusnya dicari, agama mengajak untuk mengetahui tentang diri manusia sendiri. Manusia pada umumnya tidak saja tidak mengerti tentang kehidupan yang luas ini, tetapi ternyata juga tidak mengetahui tentang dirinya sendiri. Namun demikian, kelemahan itu juga tidak disadari. Bahkan sebaliknya, mereka lebih sibuk memahami orang lain. Tatkala belajar sejarah misalnya, manusia lebih menyukai sejarah orang lain, dan demikian pula ketika belajar tentang politik, ekonomi, pendidikan, budaya, dan seterusnya. Akibatnya, mereka banyak mengerti orang lain, tetapi tidak mengerti tentang dirinya sendiri.
Terhadap diri sendirinya saja manusia tidak paham, maka betapa makhluk ini sebenarnya memiliki kelemahan yang mendasar. Kelemahan yang diawali dari tidak tahu tentang dirinya sendiri itulah menjadikan manusia bersifat sombong, congkak, berlebih-lebihan, tidak mau bersyukur, bakhil, merendahkan orang lain, dan seterusnya. Sifat-sifat rendah dan merusak itulah kemudian yang menjadikan kedamaian, keselamatan, dan kebahagiaan tidak pernah terwujud. Akibat sifat-sifat manusia yang dimaksudkan itu, maka kehidupan menjadi tidak tenteram, penuh dengan suasana konflik, berebut, saling mencari kemenangan, merendahkan dan menguasai yang lain, dan seterusnya.
Agama adalah sumber kedamaian, ketenteraman, dan kebahagiaan. Oleh karena itu, seharusnya dengan beragama maka kehidupan menjadi damai dan tenteram untuk metaih kebahagiaan bersama. Itulah sebagian dari substansi misi agama. Oleh karena itu manakala dengan adanya agama, kehidupan menjadi ribut, saling bermusuhan, konflik, dan seterusnya, maka substansi agama menjadi hilang. Akhirnya, agama menjadi tinggal nama, kitab suci menjadi tinggal tulisannya, tempat ibadah menjadi tidak membawa berkah, dan para pemukanya juga dianggap tidak bermakna, dan bahkan merugikan umatnya. Maka, agama harus dipahami hingga substansi maknanya. Wallahu a’lam
Salam akal sehat, Bondowoso, 17 Desember 2024
Dr. KH. Muhammad Saeful Kurniawan, MA, Penulis buku Desain Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Teori dan Praktik Penelitian