Jakarta | LIPUTAN9NEWS
Kamis sore, 4 Juni 2025, saya tengah bersantai, bersiap untuk merekam podcast bersama Kang Sulaiman – ajudan Gus Dur yang selalu penuh cerita dan canda. Namun, suasana santai itu mendadak berubah ketika sebuah panggilan telepon masuk. Seorang sahabat, dengan nada serius, memberi tahu bahwa PBNU baru saja mengeluarkan surat instruksi yang cukup mengejutkan.
Awalnya saya menanggapinya santai. Tapi begitu membaca surat bernomor 3975/PB.01/A.II.08.47/99/06/2025, perhatian saya langsung tertuju ke satu paragraf krusial:
“Setiap fungsionaris pengurus dan kader Nahdlatul Ulama berkewajiban mencegah perpecahan (tafarruq) dan mendamaikan pertentangan (ishlah dzatil bain), serta melepaskan diri dari keterlibatan dalam pertentangan mengenai nasab, baik dari keikutsertaan dalam silang pendapat yang meninggalkan adab, maupun dari keikutsertaan dalam perkumpulan dan/atau organisasi yang sengaja dibentuk untuk menjalankan permusuhan terkait masalah nasab, seperti Perjuangan Walisongo Indonesia Laskar Sabili (PWI-LS) maupun organisasi yang berseberangan dengan PWI-LS.”
Instruksi ini secara eksplisit menyebut PWI-LS—organisasi yang selama ini dikenal vokal mengkritisi klaim-klaim nasab, khususnya dari sebagian kelompok Habaib Ba‘alawi. Bagi sebagian orang, ini mungkin tampak sebagai langkah organisatoris biasa. Tapi sebagai orang yang mengikuti polemik ini dari awal—melalui diskusi terbuka dan podcast di @PadasukaTV—saya melihat ini bukan persoalan yang remeh temeh.
Surat itu ditandatangani oleh empat petinggi PBNU: Rais Aam KH. Miftachul Akhyar, Khatib Aam KH. Akhmad Said Asrori, Ketua Umum KH. Yahya Cholil Staquf, dan Sekjen Drs. H. Saifullah Yusuf. Maka pantas jika reaksi atasnya tak bisa dianggap sepele.
Polemik nasab memang mengguncang jagat. Muncul pro dan kontra. Saya pun membuka ruang bagi narasumber dari berbagai sudut pandang, termasuk mereka yang menolak kajian Kiai Imad. Bukan untuk memperpanjang konflik, tetapi demi menghadirkan ruang diskusi yang setara. Sebab saya percaya, kebenaran hanya lahir dari dialektika—bukan dari dogma.
Sepanjang Podcast di channel saya @PadasukaTV, apa yang dilakukan Kiai Imad bukan provokasi murahan. Kajian Kiai Imad adalah ekspresi keberanian intelektual yang jarang muncul di tengah budaya glorifikasi keturunan. Di satu sisi, banyak yang menyambut kajian ini sebagai angin segar bagi Islam Nusantara yang lebih rasional dan historis. Tapi di sisi lain, tak sedikit yang mencaci, menganggapnya sebagai pelecehan terhadap dzurriyah Nabi. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai sumber kegaduhan. Tapi benarkah demikian? Ataukah kegaduhan itu justru lahir dari kegamangan sebagian kalangan yang merasa otoritasnya terusik? Reaksi berlebihan terhadap kajian Kiai Imad bisa jadi merupakan refleksi dari kegelisahan yang lebih dalam: rasa takut kehilangan “monopoli” atas makna, atas simbol, atas klaim “kesucian” yang selama ini tak tersentuh kritik.
Namun jika kita memakai kacamata Michel Foucault, polemik ini bukan sekadar debat silsilah. Ini adalah persoalan regime of truth—bagaimana “kebenaran” dalam masyarakat tidak berdiri sendiri sebagai fakta objektif, melainkan dibentuk, diproduksi, dan dipelihara oleh relasi kuasa. Dalam kerangka ini, klaim nasab tidak hanya menjadi urusan privat atau identitas keluarga, melainkan telah menjadi instrumen hegemonik: ia menentukan siapa yang dianggap sah berbicara atas nama agama, siapa yang diberi ruang, dan siapa yang dibungkam.
Dalam konteks Islam Nusantara, glorifikasi terhadap nasab tertentu kerap beriringan dengan konstruksi hierarki sosial-keagamaan. Keturunan Nabi diposisikan sebagai pewaris otoritas moral dan spiritual. Di sinilah regime of truth bekerja: publik diarahkan untuk menerima satu versi kebenaran—yakni bahwa keturunan Rasul pasti mulia, dan oleh karena itu, kritik terhadap mereka dianggap tabu, bahkan nyaris haram.
Kajian Kiai Imad, dalam hal ini, bukan sekadar menantang silsilah; ia sedang mengusik lanskap kekuasaan simbolik yang telah mapan berabad-abad. Ia memaksa kita bertanya ulang: apakah yang disebut “keturunan Nabi” khususnya dari klan Ba’alawi itu sebuah fakta sejarah yang bisa diverifikasi, ataukah narasi sosial yang telah menjadi dogma karena terus-menerus diulang oleh mereka yang diuntungkan darinya?
Maka wajar jika ada respon keras. Karena setiap kritik terhadap regime of truth tidak pernah diterima dengan ramah. Ia selalu dianggap mengancam ketertiban, padahal sesungguhnya ia sedang memperjuangkan keadilan epistemik—yakni hak untuk bertanya, menggugat, dan mengusulkan ulang narasi yang sudah dianggap final.
Fenomena glorifikasi nasab yang selama ini dibiarkan tumbuh tanpa kritik telah menciptakan ketimpangan dalam lanskap otoritas keagamaan. Maka lahirnya PWI-LS—bukan sebagai pengacau, tetapi sebagai reaksi atas ketidakseimbangan. Mereka muncul di tengah kekosongan ruang mediasi yang semestinya bisa diisi PBNU.
Belakangan muncul surat instruksi tadi yang sayangnya, datang terlambat. Ia seperti “pemadam kebakaran” yang muncul ketika api sudah menjilat atap. Semangat untuk menjaga adab dan ukhuwah tentu patut dihargai. Tapi mari kita jujur: dalam dunia keilmuan, larangan saja tidak cukup. Yang lebih mendesak adalah menyediakan ruang dialog yang terbuka dan setara.
Saya sepakat, adab adalah pilar penting dalam tradisi keilmuan Islam. Namun, adab tidak boleh dijadikan tameng untuk membungkam kritik, apalagi jika kritik itu lahir dari kejujuran intelektual dan kerinduan terhadap kebenaran. Dalam khazanah NU, kita memiliki warisan agung berupa bahtsul masail—forum di mana para kiai saling berbeda pendapat, bahkan dengan suara tinggi, namun tetap dalam bingkai ilmu dan saling menghormati.
Jika hari ini gaya penyampaian Kiai Imad dianggap terlalu keras, maka yang perlu diperbaiki adalah cara menyampaikan—bukan substansi yang dibawa. Sebab di balik kritiknya, ada dorongan untuk menggugat kemapanan demi membuka jalan bagi perbaikan.
Dan di sinilah ujian sejati NU hari ini: “Masihkah NU menjadi rumah besar yang ramah bagi para “intelektual nakal” seperti Kiai Imad—yang menggugah, kadang mengguncang, tapi tetap lahir dari cinta pada ilmu dan tradisi?”.
Sebab tak bisa kita pungkiri, munculnya Kiai Imad dan PWI-LS sejatinya adalah sinyal. Mereka hadir bukan semata untuk mengusik, tapi karena ada keresahan yang tak tertampung. Ada narasi besar yang terlalu lama dibiarkan tanpa kritik, terlalu lama diam dalam puja-puji. Maka yang kita butuhkan sekarang bukan “pembungkaman”, tapi pelibatan. Bukan “pelarangan”, tapi pembicaraan.
Mari kita buka ruang dialog. Undang Kiai Imad, para habib, para ahli nasab, para kiai sepuh. Duduk bersama. Bukan untuk saling membungkam, tapi untuk saling mencerahkan. Gelar bahtsul masail nasional membedah wacana sosial-keagamaan, termasuk fenomena glorifikasi simbolik, serta bagaimana arah otoritas Islam ke depan?.
Ah….Jika muncul dialektika seperti ini, saya jadi rindu sama Gus Dur. Betapa dulu beliau berani berdebat dengan pendiri ICMI. Tak gentar mengkritik Orde Baru. Bahkan bersuara lantang ketika yang lain memilih diam, termasuk saat bersikap terhadap Habib Rizieq. Gus Dur tidak takut pada hiruk-pikuk, selama yang bersuara adalah kejujuran intelektual.
Gus Dur seorang ulama besar dan berjiwa besar, punya pandangan dan pemikiran besar. Gus Dur pelindung para pemikir “nakal”. Ayah bagi bangsa ini. Dan, kini NU butuh lebih banyak Gus Dur—Gus Dur baru yang menghidupkan kembali semangat dialektika yang nyaris padam. Al-Fatihah untuk Gus Dur.
Tentang Penulis: Yusuf Mars adalah Lulusan Magister Ilmu Komunukasi Politik Universitas Paramadina, Founder @PadasukaTV, Channel Youtube Sosial Politik dan Keagamaan. Pemerhati Komunikasi politik dan kebijakan publik