Banten, LIPUTAN 9 NEWS
Diantara yang memprihatinkan saat ini adalah ketika pendidikan telah menjadi bisnis dan industri jasa yang melibatkan Negara dan birokrasi. Kenyataan itulah yang disorot para pemikir pendidikan semisal Ivan Illich, Paulo Freire, Henry Giroux dan lainnya, ketika institusi pendidikan semata-mata mengabdi pada logika dan imperatif mekanistik kapitalisme dan neo-liberalisme.
Menurut Paulo Freire dan Ivan Illich, contohnya, pendidikan formal justru telah membagi masyarakat dalam kelas-kelas tertentu yang tidak egaliter dan menciptakan ruang-ruang baru diskriminasi. Masyarakat dimanipulasi bahwa pengetahuan hanya dapat diperoleh melalui dan dari sekolah, padahal tidak sedikit mereka yang inovatif dan menjadi para pencipta ruang-ruang baru dalam hidup adalah orang-orang yang drop out dari sekolah dan menimba pengetahuan dan pengalaman dari perjuangan serta praktik kehidupan langsung.
Pada kenyataanya, institusi pendidikan hanya mencetak orang-orang untuk mengisi pos-pos yang telah disiapkan korporasi dan korporat, seperti menjadi ahli ini dan ahli itu, dan tidak bisa keluar dari domain dan wilayah yang telah di-pos-kan.
Yang juga acapkali terjadi adalah ketika pendidikan formal hanya mengajarkan teori-teori yang terasing dan tercerabut dari realitas faktual kehidupan. Maka tidak heran, bila di dunia kehidupan ini, mereka yang drop out dari sekolah dan sukses dalam kehidupan nyata seperti Steve Jobs dan yang lainnya tak lain karena mereka lebih sanggup membaca zaman tersebab belajar dari praktik dan pengalaman langsung yang mengasah kepekaan pikiran dan menggembleng skill mereka dalam proses kenyataan langsung yang dihadapi.
Yang paling celaka adalah ketika kelas dan institusi pendidikan menjadi wadah baru tirani monologis dan sepihak, yaitu ketika para peserta dididik tidak dipandang setara sebagai peserta dialog partisipatoris.
Pendidikan Berbudaya
Pendidikan sudah semestinya menjadikan manusia lebih manusiawi dan semakin menjadikan kita lebih peka pada kehidupan dan semesta, bukan malah mengasingkan kita dari realitas kehidupan. Bahwa kemumpunian kita yang didapat dari pendidikan bersifat religius sekaligus humanistik, menjadikan kita menjadi saleh dan memiliki integritas.
Dahulu kala, contohnya, para filsuf menyampaikan pandangan dan ajaran mereka tentang kehidupan, alam dan pengetahuan, termasuk muatan-muatan keagamaan, di ruang terbuka: di taman, di alam, yang tidak ada sekat dan bersifat interaktif, mempraktikkan laku berbincang dialogis partisipatoris, semisal yang dilakukan Sokrates di Athena, Yunani.
Saat ini, ada sejumlah pemikir yang menyoroti modernisasi pendidikan justru malah mengasingkan manusia dari kesemestaan alam dan kehidupan manusia itu sendiri. Sekolah ternyata, demikian menurut mereka, telah menciptakan sekat dan diskriminasi baru atau melanggengkan kelas sosial, bukannya menciptakan humanisme dan kesetaraan, sampai-sampai ada sekolah-sekolah favorit dan sekolah-sekolah yang hanya bisa dijangkau oleh anak-anak dari kelas menengah atas.
Singkatnya, telah terjadi kapitalisasi atau industrialisasi jasa pendidikan, hingga kemudian dikritisi oleh para pemikir seperti Paulo Freire, Ivan Illich dan Henry Giroux, untuk menyebut sedikit saja.
Namun sebelum para pemikir pendidikan dan para penulis di benua Amerika itu menawarkan pendidikan humanis berbudaya, Ki Hajar Dewantara sesungguhnya telah lebih dulu menawarkan filsafat pendidikan pembebasannya kepada kita. Ki Hajar Dewantara di masa-masa perjuangannya telah menunjukkan bahwa perjuangan untuk pendidikan adalah juga perjuangan sosial-politik untuk memerdekakan, membebaskan dan memanusia-kan manusia.
Selain itu juga Ki Hajar Dewantara telah mengenalkan peran pengajar dan pendidik yang humanis dan partisipatoris dengan tiga formulanya: Ing ngarso sung tulodo (di depan jadi teladan), ing madya mangun karso (di tengah memberikan bimbingan), dan tut wuri handayani (di belakang memberikan dorongan atau motivasi). Ia juga melawan pendidikan diskriminatif yang dilakukan Belanda yang elitis, yang sayangnya saat ini, pendidikan elitis diskrimatif itu kembali ada seiring dengan komodifikasi pendidikan oleh kapitalisme dan liberalisme.
Sebagaimana dijelaskan Suhartono Wiryopranoto, di masa perjuangannya Ki Hajar Dewantara melakukan resistensi atau perlawanan terhadap Undang-undang SekolahLiar (Wilden scholen ordonantie 1932) yang akhirnya dihapuskan Belanda (Lihat: Suhartono Wiryopranoto dkk, Ki Hajar Dewantara – Pemikiran dan Perjuangannya, Museum Kebangkitan Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2017, h. 10).
Perjuangan Ki Hajar Dewantara untuk melahirkan pendidikan setara bagi semua kalangan dan rakyat sudah tentu memang merupakan perjuangan sosial-politik, sehingga Ki Hajar Dewantara layak disebut sebagai tokoh pengubah sejarah sosial-politik Indonesia. Lebih lanjut Suhartono Wiryopranoto memaparkan bahwa pendidikan diskriminatif Belanda itu sendiri memang dalam rangka mempertahankan koloniliasme dan menanamkan inferioritas dan ketakutan kepada pribumi. Selain demi mempertahankan kedudukan sosial-politik kaum penjajah atas mayoritas pribumi Indonesia (h.11-12).
Adalah ironis ketika saat ini di bangsa kita, justru pendidikan elitis yang tidak setara dan diskriminatif malah kembali diadakan. Sesuatu yang berlawanan dengan semangat dan tujuan perjuangan kemerdekaan Indonesia yang dipelopori dan digerakkan oleh para bapak bangsa kita. Bagaimana mungkin kita sanggup memanfaatkan surplus demografi bangsa kita bila kita sendiri menghambat kelancaran dan kesuksesan pendidikan yang terjangkau untuk semua rakyat Indonesia?
Menolak Komodifikasi Pendidikan
Kapitalisme dan liberalisme, tak pelak lagi, telah memberlakukan dan mempraktikkan pendidikan sebagai komoditas jasa, dan karenanya mereka pun kembali menciptakan pendidikan diskriminatif dan elitis. Pengetahuan dan pengajaran tak ubahnya komoditas yang dijajakan dan institusi-institusi pendidikan telah menjadi perusahaan-perusahaan penyedia jasa bagi orang-orang kaya yang sanggup membelinya. Celakanya, mereka kerapkali ‘menyetir’ Negara untuk membuat kebijakan-kebijakan pendidikan yang sesuai dengan keinginan mereka.
Begitu pula, ada korporat atau kelompok korporat yang mendirikan institusi atau lembaga pendidikan elitis khusus untuk kalangan mereka yang seakan hendak meng-eksclusif-kan diri mereka. Pendidikan elitis, komodifikasi pendidikan, serta pendidikan diskriminatif ala kapitalisme liberal atau yang lazim disebut neoliberalisme saat ini.
Sulaiman Djaya, Penyair di Kubah Budaya