Jakarta, Liputan9.id – Sabtu, 1 Oktober 2022 bangsa ini kembali memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Kesaktian Pancasila dimaknai sebagai penghormatan pada pahlawan yang telah gugur dalam memperjuangkan keutuhan bangsa Indonesia. Selain itu, kesaktian Pancasila juga dapat sebagai momentum untuk menggelorakan semangat dalam membangun jati diri bangsa.
Merupakan anugerah yang luar biasa bagi bangsa Indonesia memiliki Pancasila. Pancasila cukup teruji menjadi dasar negara, ideologi, falsafah, pandangan hidup, serta sumber kepribadian bagi bangsa ini. Selain itu, sejak lahirnya republik ini, Pancasila selalu ampuh dan sukses dalam membersamai bangsa ini dalam menghadapi setiap dinamika dan tantangan yang dihadapi.
Pancasila juga merupakan simpul pemersatu serta rumah bersama bagi seluruh rakyat Indonesia. Rumah bersama yang menaungi setiap corak kemajemukan yang ada di dalamnya. Negeri dengan segudang kemajemukan tentu saja penting untuk selalu dijaga dan dirawat agar setiap warganya dapat hidup dengan rukun serta penuh toleransi.
https://twitter.com/Liputan9id/status/1575860324279799808?s=20&t=hTJrJX516UpzlZU65a4yRg
Kemajemukan menjadi potensi berkah apabila dikelola dengan baik. Berbagai ragam etnik, suku, ras, agama, dan budaya adalah kekuatan suatu bangsa yang saling melengkapi satu sama lain, serta menjadi keunikan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Dengan melihat fakta keberagaman tersebut, maka diperlukan sikap saling memahami, menghormati, serta menghargai satu sama lain.
Dalam sejarah perjalanan bangsa ini, Pancasila cukup teruji menjadi satu-satunya ideologi yang paling cocok dengan karakter dan kepribadian bangsa Indonesia. Kita tidak perlu meniru maupun mengimpor ideologi bangsa lain untuk dijadikan pijakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perdebatan mengenai hubungan Pancasila dengan agama sebenarnya juga telah lama selesai di republik ini. Pancasila dan ajaran agama merupakan dua hal yang tidak perlu dipertentangkan satu sama lain. Pancasila mengayomi setiap pemeluk agama di negeri ini bebas menjalankan ajaran agamanya, sementara substansi ajaran agama menjadi ruh yang mengilhami nilai-nilai luhur Pancasila. Apabila dicermati, sila-sila dalam Pancasila pada hakikatnya merupakan substansi ajaran agama itu sendiri. Nilai-nilai ketauhidan, kemanusiaan, persatuan (ukhuwah), kerakyatan, musyawarah, serta keadilan. Semuanya merupakan substansi ajaran agama.
Nahdlatul Ulama (NU) telah lama menyudahi perdebatan mengenai relasi Pancasila dan agama. NU dalam muktamarnya tahun 1984 di Situbondo mengakui secara resmi Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan agama dan menjadikannya final sebagai dasar negara.
Tidak perlu lagi ada kelompok yang justru menguras energi dengan memperdebatkan kembali hubungan Pancasila dan agama. Lebih baik energi yang dimiliki setiap elemen bangsa difokuskan untuk membangun bangsa ini guna menggapai cita-cita dengan meningkatkan kualitas SDM, baik jasmani maupun rohani, serta melakukan inovasi di berbagai bidang kehidupan.
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, beragama secara substansi tentu penting untuk ditekankan, dari pada tindakan yang selalu menggunakan label formalitas agama. Bila kemaslahatan umum diterapkan dalam suatu tempat, maka sesungguhnya di situ telah dijalankan praktik beragama. Sebuah sistem yang di dalamnya muncul ketertiban, keteraturan, disiplin, amanah, tidak korupsi, menjalankan kebijakan secara adil, hal tersebut merupakan wujud praktik beragama secara baik.
Sejarah justru mencatat bahwa upaya mengganti Pancasila dengan ideologi tertentu, seperti paham komunis maupun konsep khilafah, telah menimbulkan pertikaian panjang sesama anak bangsa. Hal yang justru sangat merugikan karena setiap komponen bangsa tidak pernah bisa beranjak untuk dapat membangun negeri ini.
Belum dapat terselesaikannya setiap masalah bangsa, baik dalam aspek politik, hukum, ekonomi, maupun dalam bidang lainnya lebih disebabkan karena belum dilaksanakannya nilai-nilai luhur Pancasila secara konsekuen. Pancasila belum dicintai dengan seutuhnya. Bila praktik berbangsa dan bernegara masih selalu mengutamakan kepentingan pribadi dan golongan, tentu saja hal tersebut masih jauh dari mengamalkan nilai-nilai luhur Pancasila.
Kita perlu merawat Pancasila dengan cara mengamalkan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila merupakan asas terbuka yang dalam penjabaran sila-silanya memerlukan peran penting dan sumbangsih rakyat sehingga tidak terjadi penafsiran tunggal terhadap sila-sila dalam Pancasila. Kesaktian Pancasila justru terletak pada posisinya yang mampu didialogkan serta selalu relevan dengan setiap situasi dan kondisi perjalanan bangsa ini.
Oleh: Mamuri Santoso, M.Pd, Instruktur Nasional Jatman, Alumnus Program Standardisasi Kompetensi Dai Lembaga Dakwah PBNU.