Banten, LIPUTAN 9 NEWS
Apa pentingnya seni dan budaya bagi Muhammadiyah? Bagaimana Muhammadiyah memandang seni dan budaya? Lalu, bagaimana dan seperti apa strategi seni budaya Muhammadiyah bila Muhammadiyah menghendaki turut andil dalam memajukan kebudayaan?
Beberapa pertanyaan itu sekedar contoh rasa ingin tahu saya ketika memutuskan untuk menghadiri Kemah Kreativitas Nasional Muhammadiyah di Kota Batu Jawa Timur pada 19-21 Juli 2024. Sudah tentu pertanyaan-pertanyaan itu akan disusul sejumlah pertanyaan lainnya. Misal: Sudahkah Muhammadiyah memiliki Grand Design dan Visi Besar Kebudayaan? Percikan-percikan pertanyaan di benak saya itulah yang memotivasi saya untuk datang ke Kota Batu dan rela menghabiskan waktu berjam-jam di dalam kereta api bersama Bapak E. Sumadiningrat (yang sudah tidak asing di kalangan para seniman, terutama para pegiat teater nasional) mewakili Muhammadiyah Banten.
Di hari pertama, kami berdiskusi dan saling mengemukakan pandangan terkait ketidakselarasan dan ketidakharmonisan antara warga Muhammadiyah di domain tarjih dan dakwah dengan pandangan warga Muhammadiyah yang mengapresiasi dan aktif dalam laku dan kerja-kerja seni dan kebudayaan. Salah-satunya terkait dengan masih adanya ‘perbedaan firqoh dan pemahaman serta pandangan teologis’ dalam memandang seni dan budaya.
Persoalan tersebut sudah tentu bisa menghambat kemajuan Muhammadiyah dalam bidang dan ranah kebudayaan. Padahal pendiri Muhammadiyah, Kyai Ahmad Dahlan, pernah berdakwah dengan medium dan instrumen seni, yaitu biola. Terasa aneh bila saat ini masih banyak warga Muhammadiyah ‘mengharamkan’ seni di tingkat daerah dan ranting, meski pada tingkat pusat sudah tidak mempermasalahkan atau sudah tidak ‘mengharamkan’ seni dan budaya.
Rupa-rupanya, demikian seloroh pemateri dari PP Muhammadiyah, tidak sedikit warga Muhammadiyah yang ‘terhasut’ konten-konten dakwah media sosial yang tidak sejalan dengan visi kemajuan Muhammadiyah saat ini dibawah komando Cak Haedar Nashir. Gempuran konten-konten media sosial, terutama yang menyebarkan paham dan ideologi transnasional memang sangat merebak dan berlimpah. Mungkin karena mereka juga memiliki dukungan pendanaan dari pihak-pihak yang berkepentingan, semisal korporasi produsen persenjataan dan teknologi perang yang mendapat keuntungan dari konflik dan perang.
Beruntungnya saya menghadiri perhelatan ini, karena bisa kembali bertemu dan berbincang dengan teman-teman yang masih aktif di sastra dan seni yang cukup lama tidak bertemu dengan saya, semisal yang dari Dewan Kesenian Jakarta dan teman-teman seniman dan sastrawan yang bergiat di daerah mereka masing-masing seperti Yusri Fajar, Muda Wijaya, Imam Ma’arif dan lain-lain. Ada rasa gembira dan bahagia di hati saya. Terciptanya kebahagiaan ini sudah tentu merupakan salah-satu telos kreativitas dan kebudayaan.
Kreativitas dan kerja-kerja kebudayaan juga dalam rangka meningkatkan dan memajukan kearifan dan budi-pekerti kita sebagai manusia kepada sesama manusia saat mempraktikkan kesalihan religius dan humanis kita kepada Yang Maha Kuasa sekaligus kepada sesama. Kita pun tentu tidak lupa bahwa spirit dan nilai seni dan budaya bangsa kita adalah jiwa dan praktik (ritus) keagamaan. Bila demikian, tidak patut kita mempertentangkan antara agama dan seni yang sama-sama dihayati dengan dan melalui rasa demi menciptakan kesalihan yang sejati. Tak sekedar larut dan mabuk simbol namun kering kepekaan dan penghayatan. Tak cuma basah di kulit tapi kerontang di jiwa.
Alhamdulillah saya mendapatkan informasi dan pengetahuan baru dari beberapa narasumber sarasehan dan diskusi. Meskipun demikian, saya kok jadi merasa ingin tahu bagaimana dan seperti apa rumusan konkrit program kebudayaan Muhammadiyah yang nantinya tak sekedar catatan rakornas, tapi program yang dilaksanakan dengan penganggaran yang serius. Sebab, sebagaimana yang dikemukakan moderator salah-satu forum diskusi Kemah Kreativitas Nasional Muhammadiyah itu, “setiap cita-cita dan keinginan untuk maju dan sukses membutuhkan modal dan biaya…”. Sudah tentu juga butuh perencanaan dan pengkonsepan yang matang dan terarah.
Meskipun demikian, terlepas dari harapan saya yang tinggi kepada Muhammadiyah, saya sudah cukup bergembira ketika Muhammadiyah mengadakan perhelatan dan sarasehan kebudayaan. Entah dengan motif dakwah atau pun karena lainnya. Terkhusus Kemah Kreativitas Nasional Muhammadiyah tahun ini, mungkin saya perlu mengemukakan aspirasi bila nanti Kemah Kreativitas Nasional Muhammadiyah akan diadakan di tahun-tahun berikutnya. Contohnya akan lebih menarik bila nanti di rundown acaranya terdapat panggung ekspresi untuk para seniman dan budayawan, semisal panggung baca puisi dan seni pertunjukkan lainnya seperti teater dan musik tradisi.
Saya pun merasa berterimakasih karena berkat perhelatan Kemah Kreativitas Nasional Muhammadiyah 19-21 Juli 2024, saya jadi tahu sedikit Kota Batu Jawa Timur yang belum pernah saya kunjungi, meski saya telah mendapatkan informasi dan gambarannya dari konten-konten media sosial semisal tiktok. Saya pun jadi mengenal teman-teman dari seluruh Indonesia hingga berdiskusi santai tentang seni di warung kopi di sela-sela kekosongan run down acara atau ketika mataacara kemah telah usai.
Barangkali Kemah Kreativitas Nasional Muhammadiyah tahun ini memang sekedar silaturahmi dan sharing gagasan antara warga Muhammadiyah yang konsen pada seni budaya dari seluruh Indonesia. Saya sendiri tidak sempat mengikuti mataacara-mataacara yang sifatnya refresing wisata alam seperti rafting atau arung jeram dan acara menikmati jagung bakar malam perpisahan karena kondisi badan yang kurang sehat (batuk dan flu). Terkait Muhammadiyah, Dakwah dan Kebudayaan, saya hanya ingin sekedar mengingatkan, bahwa:
“Ketika Islam datang dan hadir di negeri kita, Islam bertemu dan berjumpa dengan masyarakat Indonesia yang telah memiliki kearifan dan kebudayaan adiluhung. Berinteraksi dengan masyarakat yang sudah berbudaya dan memiliki kearifan lokal. Kenyataan itu disadari dengan lapang-dada dan ikhlas oleh para penyebar dan pendakwah Islam di masa silam dan tetap relevan hingga sekarang, tak terkecuali untuk Muhammadiyah. Kesadaran para penyebar Islam di masa silam itu dilandasi pula oleh kenyataan bahwa kearifan masyarakat Indonesia yang telah menubuh menjadi tradisi dan kebudayaan mereka ternyata tidak bertentangan dengan nilai dan spirit Islam yang welas asih dan mencerminkan penghayatan kesadaran eksistensi Yang Maha Kuasa dalam kehidupan keseharian.”
Sulaiman Djaya, LSB Muhammadiyah Banten