Cirebon | LIPUTAN9NEWS
Muktamar (Luar Biasa) Nahdlatul Ulama, yang diisiniasi untuk menyelamatkan dan menjaga marwah jam’iyyah, serta menjadikan Kabupaten Cirebon sebagai tuan rumah, punya banyak alasan. Secara antropologis-sosiologis hal itu tidak terlepas dari sejarah panjang kontribusi orang-orang Cirebon dalam merawat dan membesarkan NU.
Sebagai warga Nahdliyyin, masyarakat Cirebon memiliki hak yang sama untuk mengawal khitthah dari erosi internal. Cirebon adalah kota di provinsi Jawa Barat, yang memiliki corak berbeda dari Jawa. Tentu pengaruh kultur Jawa samar-samar berpengaruh. Namun, secara umum ada perbedaan antara Jawa dan Cirebon, terlebih dalam ketegasan sikap dan keberanian bertindak.
Orang-orang Cirebon adalah jawaranya NU. Kita masih ingat karomah Kiai Abbas Buntet, yang membuat pesawat bomber Belanda berguguran seperti daun kering. Peristiwa itu terjadi dalam Perang Surabaya, 10 November 1945. Posisi Kiai Abbas Buntet sangat penting, sebagai panglima Resolusi Jihad NU atas restu dari Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari.
Karomahnya yang luar biasa meluluhlantakkan serdadu Belanda. Oleh karenanya, melalui Kiai Abbas Buntet, tidak berlebihan kiranya mengatakan orang-orang NU Cirebon gigih memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Berkat Kiai Abbas Buntet, salah satunya, NU menjadi benteng bangsa dan negara. NU berada di garda terdepan dalam mempertaruhkan jiwa raga demi kemerdekana. Melanjutkan semangat Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari, Kiai Abbas Buntet menjadikan NU milik umat, bangsa dan negara bukan milik partai politik.
Kini NU telah keluar dari semangat yang diperjuangkan Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari, dan Kiai Abbas Buntet. NU berada dalam titik nadir, tidak lagi berpegang pada Khitthah 1926, mengabaikan AD/ART organisasi, dan menyemai konflik internal. Orang-orang Cirebon pelanjut semangat Kiai Abbas Buntet ingin mengembalikan marwah NU yang hilang.
Maka dengan latar belakang ini, pelaksanaan Muktamar NU sangatlah layak untuk diselenggarakan di Cirebon, lebih-lebih di Pondok Pesantren Buntet. Hal itu tiada lain untuk mengenang perjuangan Kiai Abbas Buntet, jejak pemikirannya, serta relevansinya dengan masa depan NU. Kini banyak orang sudah lupa bagaimana NU didirikan dan untuk apa didirikan.
Napak tilas pemikiran dan jejak perjuangan, yang bisa dikemas melalui kegiatan Muktamar NU, perlu ditutup di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin. Ciwaringin adalah kecamatan di Cirebon, yang memiliki sejarah panjang perjuangan membela bangsa dan negara. Salah satunya ditunjukkan oleh Pendiri Pesantren Ciwaringin, Ki Jatira atau KH Hasanudin bin Abdul Latif.
Dalam sejarahnya, Ki Jatira berperang melawan Belanda pada 1718 namun berhasil dikalahkan. Ki Jatira kembali ke Babakan Ciwaringin dan mendirikan pesantren pada tahun 1721 namun lagi-lagi diburu oleh Belanda hingga terpaksa mengungsi ke Plumbon. Konflik ini dikarenakan Ki Jatira menolak pembangunan Jalan Raya Pos sepanjang 1,000 km yang akan menggusur tanah pesantren.
Berdasarkan penjelasan pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, KH. Arwani Syaerozi, kita tahu orang-orang Cirebon sangat mencintai pesantren. Kecintaan pada pondok pesantren membuat orang-orang Cirebon rela berkorban jiwa dan raga. Dengan belajar pada jejak pemikiran dan perjuangan Ki Jatira, warga NU bisa mengisi kembali spirit kecintaan pada pesantren.
Martin van Bruinessen (1995), dalam Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, menyebutkan NU tidak bisa terpisahkan dari kultur pesantren. Hari ini PBNU terlihat mulai menjaga jarak dari pondok pesantren, lupa cara mengembangkan intelektualisme kitab kuning, dan jauh dari nilai-nilai tarekat.
PBNU mulai menyibukkan diri dengan politik praktis, terjerumus dalam politik transaksional, menjadi bagian tim pemenangan, mengkampanyekan paslon-paslon tertentu, menerima jatah berupa konsesi tambang. Sementara dunia pendidikan khususnya perguruan tinggi yang dikelola oleh NU menurun drastis. Hal itu bisa dilihat dari kampus-kampus NU di Jawa Timur.
Merosotnya tradisi intelektual NU dan ambisi politis yang menggebu-gebu membuat hati orang-orang Cirebon merana. Setelah pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih, sudah selayaknya menyelenggarakan Muktamar NU. Tentu dengan harpan, pemerintahan periode 2024-2029 tidak memberikan amunisi baru untuk orang-orang yang merusak marwah NU.
Namun begitu, seandainya pemerintahan yang baru tetap memberikan amunisi bagi PBNU, orang-orang Cirebon tetap harus melangkah maju. Muktamar NU tidak boleh mundur sekalipun terasa pahit. Sebuah ucapan penuh hikmah mengatakan, sampaikanlah kebenaran sekalipun pahit dan menyakitkan.
Cirebon bukan semata-mata kota sejarah dan kota perjuangan. Kota Cirebon bukan hanya Kota Wali, dengan adanya Sunan Gunung Jati. Lebih dari itu, Cirebon bisa dibilang kota metropolitan, dengan fasilitas dan layanan publik yang maju dan memadai. Ada banyak hotel berbintang, Jarak dari Bandara Internasional Kertajati 30 Menit saja, ada jalan tol yang memudahkan perjalanan ke berbagai tujuan, ada jalur kereta api, bahkan ada pantai dan wisata pegunungan yang indah untuk berlibur setelah berdiskusi. Bahkan panitia OC MLB saat ini telah memboking 30 lebih Hotel di cirebon Cirebon plus alat-alat transportasi (puluhan Bus, dan ratusan mobil Hi Ace) untuk kelancaran acara di Cirebon. Bahkan seluruh kebutuhan pendukung lainnya telah di siapkan panitia dengan baik. “Muktamirin datang senang dan pulang Bahagia” menjadi tagline panitia MLB NU.
Menyelenggarakan Muktamar NU di Cirebon pasti terjamin mudah baik dari segi sarana dan prasarana, transportasi dan akomodasi, selain mendapatkan semangat dan pembelajaran. Cirebon dapat mengubah Muktamar (Luar Biasa) NU sebagai wadah sekaligus wasilah melanjutkan perjuangan Sunan Gunung Jati, Kiai Abbas Buntet, Kiai Jatira, dan para pahlawan lain seperti ki Bagus Rangin.
Keuntungan menyelenggarakan Muktamar (Luar Biasa) NU di Cirebon seperti pepatah sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Mendulang hikmah yang diwariskan dari masa lalu dan membangun masa depan yang lebih baik. Melalui Muktamar NU di Cirebon, marwah yang hilang bisa dipulihkan dan ber-NU kembali membanggakan. Sekali lagi secara simbolisme dibuka di Pesantren Buntet, kemudian ditutup di Pesantren Ciwaringin, Babakan. Dua pesantren sepuh Cirebon yang telah nyata banyak berkontribusi untuk bangsa Indonesia dan agama Islam. Wallahu’alam bishawab.
KH. Imam Jazuli, Lc. MA, Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.
























