Tulungagung, LIPUTAN 9 NEWS
Murid Pondok PETA sakniki niku puenak. Namung diutus poso kaleh wiridan thok. (Murid PETA sekarang enak. Hanya diperintah puasa dan mengamalkan aurod saja), kata KH. Maskun Mukti, salah seorang murid sepuh Pondok Pesulukan Thoriqot Agung (PETA) Tulungagung kepada pondokpeta.id yang sowan di ndalemnya, Desa Bendiljati, Kec Sumbergempol, Tulungagung, Kamis (13/07/2017).
Mbah Kun demikian Kiai Maskun biasa disapa, mengisahkan perjalanannya di awal menjadi murid PETA sekitar tahun 70-an. “Kaliyan Yai Djalil, kulo dipendem ngantos ping 21 teng pasir Pantai Prigi, Trenggalek. (Oleh Kiai Djalil, saya ditanam dalam pasir sampai 21 kali di Pantai Prigi, Trenggalek),” kisah Mbah Kun.
Yai Djalil yang dimaksud Mbah Kun itu adalah al Maghfurlah Hadlratussyekh KH. Abdul Djalil Mustaqim. Beliau adalah ayahanda Guru Agung Mursyid Thoriqot Syadziliyah, Thoriqot Qodiriyyah, Thoriqot Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah Hadlratussyekh KH. Charir Muhammad Sholachuddin Al Ayyubi.
Tiap kali dipendem (ditanam) di pasir, lamanya tiga hari tiga malam. Total selama 63 hari, Mbah Kun merasakan tempaan spiritual dari beliau Mbah Yai Djalil dengan cara ditanam dalam pasir. Ini mengingatkan kisah Sunan Kalijaga yang diutus Sunan Bonang bertapa menjaga tongkat di tepi kali selama sekitar tiga tahun.
Bukan hanya itu. “Rumiyen niku kulo diutus slurup teng segoro kidul. Sak slurupan diken maos Laqodja ping 41. Lajeng mentas. Terus slurup malih maos Ayat Kursi ping 41 sak dungone, nembe mentas. (Dulu saya disuruh menyelam di laut selatan. Setiap menyelam sambil membaca Laqodja sebanyak 41 kali. Kemudian menyelam lagi sambil membaca Ayat Kursi sebanyak 41 kali sekaligus do’anya),” tutur Mbah Kun.
Luar biasa keras didikan mental dan fisik yang dialami murid-murid PETA jaman dulu. “Lha sakniki, kaliyan Yai Saladin (Syaikhina wa Mursyidina wa Murobbi Ruuchina Hadlratussyekh KH. Charir Muhammad Sholachuddin Al Ayyubi), murid PETA diparingi kebijaksanan namung diutus poso kaleh wiridan thok. Nderekno program-program thok. (Sekarang ini era Yai Saladin, murid PETA diberikan kebijaksanaan hanya puasa dan wirid saja serta mengikuti program-program),” imbuh Mah Kun.
Bagi Mbah Kun yang juga saudara kembar KH Maskin Mukti, Madiun, tempaan dahsyat secara fisik dan mental oleh Mbah Yai Djalil dulu memang sesuai dengan kondisi jaman. Hal serupa juga dilakukan Hadlratussyekh Mustaqim bin Husein yang memulai dakwah dan mengajarkan thoriqot dengan pendekatan pencak silat dan olah kanuragan.
“Lha Yai Saladin, kebijakane nggih pancen pas kangge jaman sakniki. Yai Saladin niku, masio usiane tasik nem, tapi ilmune agung. Rumiyen kulo nggih didawuhi Yai Djalil langsung, Yai Saladin kuwi ilmu lan derajate luwih duwur. (Kebijakan Yai Saladin sekarang ini memang sesuai dengan kondisi jaman. Meskipun masih berusia muda, tapi Yai Saladin memiliki ilmu tinggi. Dahulu saya sudah diberitahu Yai Djalil langsung bahwa keilmuan dan derajat Yai Saladin lebih tinggi,” jelas Mbah Kun yang juga besan Pengasuh Ponpes Al Mishbar, Desa Karangnongko, Kecamatan Soko, Mojokerto, KH. Chusaini Ilyas.
Maka murid PETA saat ini, kata Mbah Kun, sangat beruntung berada dibawah bimbingan Guru Mursyid Hadlratussyekh Sholachuddin. Mbah Kun menganggap Hadlratussyekh Mustaqim bin Husein dan Hadlratussyekh Abdul Djalil Mustaqim adalah guru sejati. Demikian juga kepada Hadlratussyekh Sholachuddin kendati usianya jauh lebih muda.
Mbah Kun berpesan kepada kami yang sowan beliau, agar sungguh-sungguh sam’an wa tho’atan wa ta’dziman wa tasliman kepada dawuh serta apapun yang diprogramkan oleh Guru Agung Romo Yai Mursyid. “Poko’e manut lan nderek mawon nopo dawuh Yai Saladin. Sing angsal tugas Sultan Agung 78 lan tugas lintu ngurusi jamaah, nggih sing sabar lan ikhlas. (Pokoknya patuh dan mengikuti apa saja dawuh dan program Yai Saladin. Yang mendapat tugas di Sultan Agung 78 maupun program lain hendaknya sabar dan ikhlas,” pesan Mbah Kun. (ufi/pondokpeta.id)