فى آداب المتعلم مع شيخه وفيه اثنا عشر نوعا من الآداب
Tentang Adab Pelajar terhadap Gurunya, Terdiri dari Dua Belas Macam Adab
الاول ينبغى للطالب ان يقدم النظر ويستخير الله تعالى فيمن يأخذ العلم عنه ويكتسب حسن الاخلاق والاداب منه، وليكن ان امكن ممن ثبتت اهليته وتحققت شفقته وظهرت مروءته واشتهرت صيانته، وكان احسن تعليما واجود تفهيما، فعن بعض السلف هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم.
Pertama, seorang pelajar hendaknya lebih dahulu mempertimbangkan dengan cermat dan memohon petunjuk kepada Allah dalam memilih guru yang ia dapat mengambil ilmu darinya serta dapat meneladani kebaikan akhlaknya dan adabnya. Dan hendaknya ia memilih, jika memungkinkan, guru yang telah terbukti penguasaan ilmunya, terbukti kasih sayangnya, dan tampak kewibawaannya, terkenal dengan pemeliharaan dirinya, serta memiliki metode pengajaran yang lebih baik dan pemahaman yang lebih jelas. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama salaf, “Ilmu ini adalah bagian dari agama, maka perhatikan dari siapa kalian mengambil agama kalian.”
والثاني يجتهد ان يكون الشيخ ممن له على العلوم الشرعية تمام اطلاع وله ممن يوثق به من مشايخ عصره كثرة بحث وطول اجتماع لا ممن اخذ العلم عن بطون الاوراق ولم يعرف بصحبة المشايخ الحذاق.
Kedua, hendaknya seorang pelajar berusaha memilih guru yang memiliki pemahaman yang sempurna tentang ilmu-ilmu syariat serta telah banyak berdiskusi dan bergaul dengan ulama terpercaya pada zamannya. Jangan memilih guru yang hanya memperoleh ilmunya dari membaca buku dan tidak diketahui pernah berguru kepada ulama yang cerdas.
قال امامنا الشافعى رضي الله عنه :من تفقه من بطون الكتب ضيع الاحكام.
Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Barang siapa yang belajar fikih hanya dari buku-buku, maka ia telah menyia-nyiakan hukum-hukum.”
والثالث ان ينقاد لشيخه فى اموره ولا يخرج عن رأيه وتدبيره بل يكون معه كالمريض مع الطبيب الماهر فييتأمره فيما يقصده ويتحرى رضاه فيما يعمله ويبالغ فى حرمته ويتقرب الى الله تعالى بخدمته وليعلم ان ذله لشيخه عزه وحضوعه له فخره وتواضعه له رفعته
Ketiga, seorang pelajar hendaknya tunduk kepada gurunya dalam urusan-urusannya dan tidak keluar dari pendapat serta arahannya, bahkan ia harus bersikap terhadap gurunya seperti seorang pasien terhadap dokter yang ahli, selalu mengikuti bimbingannya, berusaha mencari keridhaannya dalam setiap tindakan yang dilakukannya, serta bersungguh-sungguh dalam menghormatinya, dan hendaknya ia mendekatkan diri kepada Allah dengan melayani gurunya, serta menyadari bahwa kerendahan dirinya di hadapan guru adalah kemuliaan, kepatuhan kepadanya adalah kehormatan, dan ketawadukannya kepada guru merupakan ketinggian derajatnya.
والرابع ان ينظر اليه بعين الاجلال والتعظيم ويعتقد فيه درجة الكمال، فان ذلك اقرب الى نفعه به، قال ابو يوسف سمعت السلف يقولون من لا يعتقد جلالة استاذه لا يفلح، فلا يخاطب شيخه بتاء الخطاب وكافه، ولا يناديه باسمه، بل يقول يا سيدى او يا استاذى ، ولا يذكره ايضا فى غيبته باسمه الا مقرونا بما يشعر بتعظيمه كقوله قال الشيخ الاستاذ كذا او قال شيخنا او نحو ذلك
keempat, hendaklah seorang pelajar memandang gurunya dengan pandangan penuh hormat dan pengagungan serta meyakini bahwa gurunya memiliki derajat kesempurnaan. Sebab, hal itu lebih dekat kepada manfaat yang bisa diperoleh dari sang guru.
Abu Yusuf berkata, “Aku mendengar para ulama salaf mengatakan: ‘Barang siapa yang tidak meyakini keagungan gurunya, maka ia tidak akan sukses,”
Oleh karena itu, seorang pelajar tidak boleh berbicara kepada gurunya dengan kata ganti langsung seperti “engkau” atau “kamu,” dan tidak boleh memanggil gurunya hanya dengan namanya. Sebaliknya, ia harus mengatakan, “Wahai tuanku” atau “Wahai guruku.”
Begitu juga, saat gurunya tidak berada di hadapannya, ia tidak boleh hanya menyebut namanya, melainkan harus menambahkan kata-kata yang menunjukkan penghormatan, seperti “Guru kami berkata demikian” atau “Sang guru yang mulia berkata demikian,” dan ungkapan serupa lainnya.
Agus Amar Suchaemi Al Barbasy (Gus Amar), Alumni IKAHA (UNHASY) Tebuireng Jombang.