والتاسع ان يحسن خطابه مع الشيخ بقدر الإمكان، فلا يقول لم ولا نسلم ولا من نقل هذا ولا اين موضعه وشبه ذلك.
Kesembilan, hendaknya seorang pelajar memperbaiki cara berbicaranya dengan guru semaksimal mungkin, tidak boleh mengatakan, “Mengapa demikian?”, “Kami tidak setuju”, “Siapa yang mengatakan ini?”, “Di mana letaknya?” dan ungkapan serupa.
فان أراد استفادته تلطف فى الوصول الى ذلك، ثم هو فى مجلس إخر اولى على سبيل الاستفادة،
Jika ia ingin mendapatkan manfaat ilmu dari guru, hendaknya ia bersikap lembut dalam mencapai jawaban atas pertanyaan tersebut, kemudian lebih baik jika ia menanyakannya di majelis lain dengan niat belajar.
واذا ذكر الشيخ شيأ فلا يقول هكذا قلت او خطر لى او كذا قال فلان. وكذا لا يقول قال فلان بخلاف قولك او هذا غير الصحيح ونحو ذلك،
Jika sang guru menyampaikan suatu pendapat, maka ia tidak boleh mengatakan, “Saya juga berpikir demikian”, “Saya juga terpikir hal yang sama”, atau “Si Fulan mengatakan demikian”. Demikian pula tidak boleh berkata, “Pendapat si Fulan bertentangan dengan pendapat Anda” atau “Pendapat ini tidak benar” dan sebagainya.
واذا مر الشيخ على قول او دليل ولم يظهر او على خلاف صواب لغفلة او قصور نظر فى تلك الحال، فلا يغير وجهه او عينه بل يأخذه ببشر ظاهر، فان العصمة فى البشر ليست الا الانبياء صلوات الله وسلامه عليهم اجمعين.
Jika guru melewati suatu pendapat atau dalil tanpa menjelaskannya dengan jelas, atau ternyata ada kesalahan karena lupa atau kurang teliti saat itu, maka ia tidak boleh menunjukkan ekspresi wajah atau pandangan mata yang berubah. Sebaliknya, ia tetaplah bersikap ramah dan menunjukkan wajah ceria. Sebab, tidak ada manusia yang ma’shum (terjaga dari kesalahan), kecuali para nabi—shalawat dan salam Allah semoga tercurah kepada mereka semua.
والعاشر اذا سمع الشيخ يذكر حكما فى مسئلة او فائدة او يحكى حكاية او ينشد شعرا وهو يحفظ ذلك أصغى اصغاء مستفيد له فى الحال متعطش اليه فرح به كأنه لم يسمعه قط،
Kesepuluh, jika seorang pelajar mendengar gurunya menyampaikan hukum dalam suatu masalah, menyebut suatu faedah, menceritakan suatu kisah, atau melantunkan syair yang sebenarnya sudah ia ketahui dan hafal, maka hendaknya ia tetap mendengarkannya dengan seksama, seolah-olah sedang mengambil manfaat baru saat itu, penuh antusias, dan merasa bahagia mendengarnya, seakan-akan ia belum pernah mendengarnya sebelumnya.
قال عطاء رضي الله عنه :
انى لأسمع الحديث من الرجل، وانا اعلم به منه، وأريه من نفسى انى لا احسن منه شيأ،
‘Atha’ radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku mendengar sebuah hadits dari seseorang, padahal aku lebih mengetahui hadits itu daripadanya, tetapi aku tetap menunjukkan sikap seolah-olah aku tidak mengetahui apa pun tentangnya.”
وعنه قال :
ان بعض الشبان ليتحدث بحديث، فأستمع له كانى لم اسمعه، ولقد سمعته قبل ان يولد،
Ia juga berkata, “Terkadang seorang pemuda menceritakan sebuah hadits, dan aku mendengarkannya seakan-akan aku belum pernah mendengarnya, padahal aku sudah mengetahuinya sebelum ia lahir.”
فان سأله الشيخ عند الشروع فى ذلك عن حفظه فلا يجيب بنعم لما فيه من الاستغناء عن الشيخ فيه، ولا يقول لا لما فيه من الكذب بل يقول احب ان اسمعه من الشيخ او ان استفيده منه.
Jika guru bertanya kepada pelajar sebelum menyampaikan sesuatu, “Apakah engkau sudah menghafalnya?”, maka tidak boleh ia menjawab “Ya”, karena itu menunjukkan seolah-olah ia tidak memerlukan gurunya. Namun, juga tidak boleh menjawab “Tidak”, karena itu berarti berbohong. Sebaiknya ia berkata, “Saya ingin mendengarnya langsung dari guru”, atau “Saya ingin mengambil manfaat ilmu darinya.”
والحادى عشر ان لا يسبق الشيخ الى شرح مسئلة او جواب سؤال، ولا يساوقه منه ولا يظهر معرفته به او ادراكه له،
Kesebelas, hendaknya seorang pelajar tidak mendahului gurunya dalam menjelaskan suatu permasalahan atau menjawab pertanyaan. Ia tidak boleh pula berbicara bersamaan dengan gurunya atau menunjukkan bahwa ia sudah memahami atau mengetahui jawabannya.
ولا يقطع على الشيخ كلامه اي كلام كان، ولا يسابقه، ولا يساوقه، بل يصبر حتى يفرغ الشيخ من كلامه ثم يتكلم،
Ia tidak boleh memotong pembicaraan guru dalam keadaan apa pun, tidak mendahuluinya dalam berbicara, dan tidak berbicara bersamaan dengannya. Sebaliknya, hendaknya ia bersabar hingga guru selesai berbicara, lalu baru ia menyampaikan pendapatnya.
ولا يتحدث مع غيره والشيخ يتحدث معه او مع جماعة المجلس، وليكن ذهنه جاضرا فى جهة الشيخ بحيث اذا امره بشيء او سأله عن شيء او اشار اليه لم يحوجه الى الاعادة ثانيا
Ia tidak boleh berbicara dengan orang lain saat guru sedang berbicara, baik secara langsung kepada dirinya maupun kepada seluruh majelis. Hendaknya pikirannya selalu fokus pada guru, sehingga jika guru memerintahkannya sesuatu, menanyakan sesuatu, atau memberikan isyarat, ia tidak perlu mengulang atau menjelaskan kembali untuk yang kedua kalinya.
Agus Amar Suchaemi AlBarbasy (Gus Amar), Nyantri di Lirboyo Alumni IKAHA (UNHASY) Tebuireng Jombang.
Comments 1