Bab ke enam Bagian 03 (terakhir)
فى آداب العالم فى دروسه
Tentang Adab Seorang Ulama dalam Pengajarannya.
واذا سئل عما لم يعلمه قال لا اعلم او لا ادرى، فمن العلم ان يقول لا اعلم، وعن بعضهم لا ادرى نصف العلم، وعن ابن عباس اذا أخطأ العالم لا ادرى اصيبت مقاتله.
Dan apabila ia ditanya tentang sesuatu yang tidak diketahuinya, ia berkata: “Saya tidak tahu” atau “Saya tidak mengerti”. Maka termasuk bagian dari ilmu adalah mengatakan “Saya tidak tahu”. Sebagian ulama berkata, “Saya tidak tahu adalah setengah dari ilmu”. Ibn Abbas berkata, “Jika seorang alim salah dalam mengatakan ‘saya tidak tahu’, maka seakan-akan ia terkena luka yang mematikan.”
قال محمد بن الحكم سألت الشافعى عن المتعة اكان فيها طلاق او ميراث او نفقة تجب او شهادة، فقال والله ما ندرى،
Muhammad bin al-Hakam berkata: “Aku bertanya kepada Imam Syafi’i tentang nikah mut’ah — apakah di dalamnya terdapat talak, warisan, kewajiban nafkah, atau kesaksian?” Maka beliau menjawab, “Demi Allah, kami tidak tahu.”
واعلم ان قول المسؤل لا ادرى لا ينقص من قدره كما يظنه الجهالة بل يرفعه لانه دليل على عظيم معرفته وقوة دينه وتقوى ربه وطهارة قلبه وحسن ثبته. وقد روى ذلك عن جماعة من السلف.
Ketahuilah, bahwa ucapan seseorang yang ditanya lalu menjawab ‘Saya tidak tahu’ tidak mengurangi derajatnya sebagaimana disangka oleh orang-orang bodoh. Justru itu akan meninggikannya, karena itu menunjukkan betapa luas ilmunya, kuatnya agamanya, ketakwaannya kepada Tuhannya, bersihnya hatinya, dan kukuhnya pendiriannya. Hal ini telah diriwayatkan dari sekelompok ulama salaf.
وانما يأنف من ذلك من ضعفت ديانته وقلت معرفته لانه يخاف سقوطه عن اعين الحاضرين، وهذه جهالة ورقة دين، وربما يشتهر خطاؤه بين الناس فيقع فيما فر عنه ويتصف عندهم بما احترز منه.
Adapun orang yang enggan mengatakan ‘Saya tidak tahu’ adalah mereka yang lemahnya agama dan sedikit ilmunya, karena ia takut jatuh di mata para hadirin. Padahal ini adalah kebodohan dan lemahnya agama. Bahkan bisa jadi kesalahannya justru tersebar di tengah masyarakat, sehingga ia terjerumus dalam hal yang hendak dihindarinya, dan dicap oleh mereka dengan label yang semestinya ia jaga.
وقد ادب الله تعالى العلماء بقصة سيدنا موسى على نبينا وعليه الصلاة والسلام مع الخضر عليه السلام حين لم يرد موسى العلم اليه تعالى لما سئل هل احد فى الارض اعلم منك.
Allah Ta’ala telah mengajarkan adab kepada para ulama melalui kisah Nabi Musa — semoga shalawat dan salam tercurah kepada beliau dan Nabi kita — bersama Khidir ‘alaihis salam, ketika Nabi Musa tidak mengembalikan ilmu kepada Allah saat ditanya apakah ada seseorang di bumi yang lebih berilmu darinya.
ويتودد لغريب حضر عنده، ويبسط له لينشرح صدره، فان للقادم دهشة، ولا يكثر النظر اليه، فان ذلك يخجله.
Dan ia bersikap ramah kepada orang asing yang hadir di majelisnya, dan bersikap lemah lembut agar hatinya menjadi tenang. Sebab, orang yang baru datang biasanya merasa canggung. Ia pun tidak terlalu sering menatapnya, karena itu bisa membuatnya malu.
واذا اقبل بعض الفضلاء وقد شرح فى مسئلة امسك عنها حتى يجلس، وان جاء وهو فى مسئلة أعادها له او مقصودها،
Jika datang seorang yang terkemuka dan sedang dijelaskan suatu masalah, maka ia diam hingga orang itu duduk. Dan jika ia datang di tengah penjelasan suatu masalah, maka ia mengulang penjelasan atau maksudnya agar orang tersebut bisa memahami.
واذا أقبل فاضل وقد بقي لفراغه وقيام الجماعة بقية بقدرما يصل الفاضل الى المجلس تركها لئلا يخجل المقبل بقيامهم عند جلوسه ويراعى مصلحة الجماعة فى تقديم وقت الحضور وتأخيره اذا لم يكن عليه ضرر ولا مزيد كلفة،
Dan jika seorang tokoh datang ketika pelajaran hampir selesai dan tinggal sedikit waktu sebelum jamaah bubar, maka ia menunda menyelesaikannya agar orang yang baru datang itu tidak merasa malu karena orang-orang langsung bubar setelah ia duduk. Ia juga memperhatikan kemaslahatan jamaah dalam menentukan waktu kedatangan atau keterlambatan, selama tidak menyebabkan mudarat atau beban berlebih.
ويقول بعد ختم كل درس والله أعلم بعد ما يقول قبل ذلك كلاما يشعر بختم الدرس كقوله هذا اخره وما بعده يأتى ان شاء الله تعالى ونحو ذلك ليكون والله أعلم خالصا لذكر الله تعالى ولقصد معناه،
Ia mengatakan “Wallahu a’lam” setelah mengucapkan penutup pelajaran, seperti: “Ini akhir pelajaran kita,” atau “Akan dilanjutkan insyaAllah,” dan semisalnya, agar ucapan “Wallahu a’lam” itu benar-benar diniatkan sebagai pengingat kepada Allah Ta’ala dan maknanya benar.
وتقدم انه يستفتح كل درس ببسم الله الرحمن الرحيم ليكون ذاكر الله تعالى فى بداية الدرس وخاتمته، ويمكث قليلا بعد قيام الحاضرين لما فيه من الفوائد والاداب له، منها عدم مزاحمتهم، ومنها ان كان فى نفس احد بقايا سؤال سأله، ومنها عدم ركوبه بينهم ان كان يركب وغير ذلك،
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa ia mengawali setiap pelajaran dengan Bismillahirrahmanirrahim, agar ia memulai dan mengakhiri pelajaran dengan menyebut nama Allah Ta’ala. Setelah para hadirin bubar, ia tetap duduk sejenak karena di dalamnya terdapat banyak adab dan manfaat, seperti: tidak berdesakan dengan para hadirin, memberi kesempatan kepada siapa pun yang masih punya pertanyaan, atau agar ia tidak menaiki kendaraannya di tengah kerumunan orang jika ia hendak berkendara, dan sebagainya.
واذا اراد ان يقوم دعا بما ورد فى الحديث كفارة المجلس سبحانك اللهم وبحمده اشهد ان لا اله الا انت استغفرك واتوب اليك،
Jika ia hendak berdiri meninggalkan majelis, ia berdoa dengan doa penutup majelis sebagaimana disebutkan dalam hadis:
“Subhānaka allāhumma wa biḥamdika, asyhadu an lā ilāha illa anta, astaghfiruka wa atūbu ilaik.”
ولا ينتصب للتدريس اذا لم يكن اهلا له، ولا يذكر علما لا يعرفه فان ذلك لعب فى الدين وازدراء بين الناس،
Dan janganlah seseorang menduduki posisi mengajar jika ia belum layak untuk itu. Juga tidak boleh menyampaikan ilmu yang tidak ia ketahui, karena itu termasuk permainan dalam agama dan bisa merendahkan diri di hadapan orang lain.
قال صلى الله عليه وسلم المتشبع بما لم يعط كلابس ثوبى زور،
Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang mengaku-ngaku memiliki sesuatu yang tidak dimilikinya, seperti orang yang mengenakan dua pakaian palsu.”
وعن بعضهم من تصدر قبل آوانه فقد تصدى لهوانه،
Dan sebagian ulama berkata: “Barang siapa yang ingin tampil sebelum waktunya, maka ia telah bersiap untuk kehinaan.”
وعن ابى حنيفة رضي الله عنه من طلب الرياسة من غير حينه لم يزل فى ذل ما بقي، واقل مفاسد ذلك ان الحاضرين يفقدون الانصاف لعدم من يرجعون اليه عند الاختلاف، لان رب الصدر لا يعلم المصيب فينصره والمخطئ فيزجره،
Dari Abu Hanifah radhiyallahu ‘anhu: “Barangsiapa mencari kedudukan (kepemimpinan) sebelum waktunya, maka ia akan senantiasa berada dalam kehinaan selama hidupnya. Dan kerusakan paling ringan dari hal itu adalah bahwa orang-orang yang hadir akan kehilangan sikap adil, karena tidak ada orang yang bisa mereka rujuk ketika terjadi perbedaan pendapat. Sebab, orang yang duduk di tempat terhormat (pemimpin majelis) tidak mengetahui siapa yang benar sehingga ia bisa mendukungnya, dan siapa yang salah sehingga ia bisa menegurnya.”
وقيل لابى حنيفة رضي الله عنه فى المسجد حلقة ينظرون فى الفقه، فقال الهم رأس، قالوا لا، قال لا يفقه هؤلاء أبدا ولبعضهم فى ندريس من لا يصلح له :
Kemudian seseorang berkata kepada Abu Hanifah radhiyallahu ‘anhu tentang sebuah majelis di masjid yang di dalamnya terdapat sebuah halaqah yang sedang membahas fikih. Ia bertanya, “Apakah halaqah itu punya pemimpin (kepala majelis)?” Mereka menjawab, “Tidak.” Beliau berkata, “Mereka tidak akan pernah memahami fikih.” Dan sebagian orang berkata tentang mengajar orang yang tidak layak diajar:
تصدر للتدريس كل مهوس + جهول يسمى بالفقه المدرس
“Telah tampil untuk mengajar setiap orang yang berangan-angan tinggi,
Orang bodoh yang mengaku-ngaku sebagai guru fikih.”
فحق لاهل العلم ان يتمثلوا + ببيت قديم شاع فى كل مجلس
Maka pantaslah bagi para ahli ilmu untuk menyitir syair lama yang masyhur di setiap majelis:”
لقد هزلت حتى بدا من هزالها + كلاها وحتى سامها كل مفلس
Sungguh, urusan ini (ilmu/ajaran agama) telah menjadi begitu lemah,
hingga tulangnya pun tampak karena kurusnya,
dan bahkan orang yang bangkrut pun ikut merendahkannya.”
Selesai.
Agus Amar Suchaemi AlBarbasy (Gus Amar), Alumni IKAHA (UNHASY) Tebuireng Jombang.