Jakarta, Liputan9.id – Mudir Idaroh Wustho JATMAN DKI jakarta KH. Muhammad Danial Nafis dalam kajian Kitab Al-Hikam Al-Atho’iyyah di Zawiyah Ar-Raudah, Tebet, Jakarta Selatan menjelaskan kepada jamaah bahwa Iradah (Keinginan) dibagi menjadi 3:
- Thobi’iy: Keinginannya masih diselimuti dengan nafsu. Karena tingkatan nafsu itu masih mengandung keinginan. Hanya saja berbeda rasanya.
- Tamanni: Keinginan untuk mendekat kepada Allah (Ahlut Tawajjuh), Cita-cita yang luhur tapi memikirkan posisi keberadaanya di hadapan Allah. Hal ini boleh bagi Muridin (Para Salik).
- Al-Haq: yakni Kehendak Allah, agar seorang bisa menyeleraskan kehendaknya dengan kehendak Allah. Caranya adalah dengan menafikan/meniadakan irodah nafsu, dan ini butuh perjuangan yang sungguh-sungguh. Hal ini yang dilakukan Orang yang telah wushul kepada Allah (Washilin).
‘وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ (69)’ [سورة العنكبوت]
Orang yang sudah wushul kepada Allah itu ketika memandang kesenangan dan kesulitan itu sama, dalam artian datar tak ada bedanya.
Berbeda dengan sebagian orang jawa yang menganut Aliran Kebatinan, mereka merasa sudah sampai kepada Allah. Tetapi malah meninggalkan sholat dan syariat karena dirinya ‘merasa’ yang penting eling lan waspodo. Hal demikian keliru besar.
Karena orang yang ma’rifat kepada Allah (Arifin) dia semakin berusaha untuk terus istiqomah beramal saleh meskipun dia sudah mencapai tahapan Nafsu Kamilah.
Ketauhidan yang murni itu tidak ada bentuk syirik khofi maupun jalliy (Samar maupun Nyata).
Bagaimana kita selamat dari keinginan yang bisa melalaikan kita? Caranya adalah dengan melandasi segala keinginan dengan timbangan syariat lalu taqwa kepada Allah. Sehingga menutup celah keinginan kepada hal yang dilarang Allah.
Nafsu adalah sebab untuk melakukan syirik khofi (menyekutukan Allah secara samar), belum murni Lillahi taala ibadahanya. sehingga dalam ibadah masih mengharapkan yang bersifat makhluk atau kefanaan.
Orang yang sudah ditempatkan Allah pada maqom(posisi) tajrid, maka jangan sekali-kali ingin untuk menjadi ahli asbab (sebab akibat), karena hal tersebut dinamakan Syahwat Khofiyah.
Ibarat Seorang Raja yang memiliki 2 Ajudan, sang Raja berhak menempatkan 2 ajudan dimanapun yang ia kehendaki. Yang satu tugas-tugas nya ringan dan mendapat fasilitas yang digunakan Raja, sedangakan yang satunya lagi ditugaskan untuk pekerjaan yang berat. Tapi bagi kedua ajudan tersebut, tidak memilki hak untuk bertukar posisi tanpa izin sang raja. Begitulah manusia, tidak boleh menebak dan menerka di posisi apa ia ditempatkan oleh Allah dan tidak boleh memiliki keinginan pindah dari posisi yang pada masa ini Allah tetapkan untuknya.
Jadi, Tajrid dan Asbab adalah urusan Allah. Manusia tidak berhak mengintervensi kehendak Allah.
Maka yakinilah Inspirasi yang kau terima itu adalah Cahaya keilmuan yang diberikan Allah kepada dirimu. Sebab manusia pada hakikatnya tidak memiliki apa-apa dan tidak bisa melakukan apa-apa. Semua nya berasal dari Allah.
Dalam Hikam, kita diajarkan untuk menjadi sebenar-benar Hamba. Dari Sholawat Ummi kita belajar bagaimana kepribadian Rasululllah, bahwa beliau memilih menjadi seorang Hamba dengan sebenar-benar penghambaan.
Karena tidaklah menjadi Nabi dan Rasul kecuali telah benar-benar menjadi seorang hamba. Sebab penghambaan yang totalitas adalah syarat menjadi Nabi dan Rasul.
اللهم صل على سيدنا محمد عبدك ورسولك النبيّ الأمّيّ وعلى آله وصحبه وسلم.
Lafad hamba disebut pertama sebelum menyebutkan status kerasulan dan kenabian.
Kalam Hikmah Ke-3
سَـوَ ابِـقُ الْهِمَمِ لاَ تَخـْرِقُ أَسْوَارَ اْلأَقْدَارِ
Semangat perjuanganmu yang menggelora untuk memenuhi cita-cita itu tidak dapat menembus dinding-dinding takdir.
Jadi segala keinginanmu dan cita-citamu yang tidak selaras dengan kehendak Allah, tidak akan bisa mengubah apa-apa yang telah ditetapkan Allah.
Cara orang memandang orang lain:
1. Dengan Akalnya, penuh dengan perhitungan dan rasio.
2. Dengan Nafsunya, identik dengan meremehkan orang lain atau pandangan hasud
3. Dengan Bashiroh (Mata Hatinya), penuh dengan perasaan diawasi Allah.
Maka orang yang sudah sampai ke Allah akan menghadapi masalah dengan penuh senyuman. Karena dia yakin semua yang ia hadapi itu diatur oleh Allah.
قُلِ اللَّهُ ۖ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ (91)’ [سورة الأنعام]
Dalam menjalani hidup ketika berinteraksi dengan orang lain, gunakanlah standar syariat dan adab dalam memilih pertemanan. Karena lingkungan pertemananmu yang buruk bisa menyeretmu untuk terjerumus dalam keburukan yang mereka geluti.
Orang yang lingkungannya buruk, sehingga hatinya tertutup akan sulit untuk menerima pancaran cahaya nasehat. Bahkan nasehat dari Rasulullah, seperti halnya yang terjadi pada masa dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kalam Hikmah Ke-4
أَرِحْ نــَفْسَـكَ مِنَ الـتَّدْبِــيْرِ، فَمَا قَامَ بِـهِ غَيْرُ كَ عَـنْكَ لاَ تَـقُمْ بِـهِ لِنَفْسِكَ
“Istirahatkan dirimu dari tadbiir (melakukan pengaturan-pengaturan)! Maka apa saja yang telah diatur oleh selainmu, janganlah engkau (turut) mengaturnya untuk dirimu.”
Maka antum perlu untuk berkomunikasi dengan pembimbing(mursyid) , “Bagaimana Kyai tentang permasalahan saya ini? Langkah apa yang harus saya lakukan?”
Guru yang baik adalah Guru yang tidak memaksakan semua muridnya untuk menyepi dan menghindar dari manusia, tapi memposisikan muridnya dengan posisi yang dikehendaki Allah bukan atas keinginan murid itu sendiri. Tapi jika dianggap gurunya murid perlu untuk berkholwat, maka guru akan menyutuh murid tsb untuk berkholwat.
Your Planning, But not your plan. (Rencana yang kamu canangkan hakikatnya adalah Allah yang berkehendak atas rencana tersebut).
Cara menyeleraskan keinginan dengan Kehendak Allah adalah dengan melakukan sholat istikhoroh dan hajat, serta memohon petunjuk sebelum melangkah/melakukan aktivitas-aktivitas strategis.
Dan ketika engkau memulai, awalilah dengan bismilillah pada lisan, hati dan pikiran
Maka tidaklah heran bagaimana Imam Bukhori dalam menulis Shohih Bukhori, dia melakukan sholat sunnah dan amal-amal salehnya. Dengan bertujuan memohon pertolongan dan petunjuk dari Allah. Sehingga sejatinya dia menyelerasi keinginannya dengan keinginan Allah. Sehingga apa yang ia tulis ‘ala Irodatillah. Atas dasar kesadaran beliau dalam memohon pertolongan
Begitupun Imam al-Ghazali, dengan berbagai magnum opus nya yang memiliki kesan ‘keabadian’. Karena beliau menulis bukan atas kehendaknya, tetapi dengan kesadaran sebagai hamba. Bukan ditulis dengan atas keahlianya, kemampuannya.
Kita ini sering membanding-bandingkan pewaris Rasulullah saw, sehingga kita belum bisa hormat betul dengan pewarisnya Nabi. “Ah ga pinter” “Ah ga alim”.
Seseorang yang paham bahwa Allah yang Maha Berkehendak maka dia akan profesional ketika diamanahkan Allah untuk mengemban suatu tugas. (Abdussalam Arfan/Warto’i/Jatmanonline)