Jakarta, LIPUTAN 9 NEWS
“NU sebagai Ormas Keagamaan terbesar di dunia memiliki sumber daya melimpah dalam hal penyelesaian konflik berbasis kultural.” (Yusuf Mars)
Tulisan Ahmad Arif yang dimuat di Kompas.id pada 4 Juni 2024 dengan judul: Ormas Keagamaan, Godaan Tambang dan Pertobatan Ekologis. Ia memberi opini bahwa masuknya ormas keagamaan dalam pertambangan dikhawatirkan memperdalam krisis lingkungan dan memperuncing konflik sosial.
Menurut saudara Arif, sektor pertambangan kerap bersengketa dengan masyarakat lokal. Ada sejumlah kasus berdasarkan data Konsorsium Agraria (KPA), dimana sektor pertambangan penyumbang ketiga terbanyak konflik agraria struktural di Indonesia. Pada tahun 2023, ada 32 konflik yang berdampak terhadap 48.622 keluarga di 57 desa. Menurut opininya masuknya ormas keagamaan ke sektor tambang dikhawatirkan berpotensi membawa mereka berhadap-hadapan dengan umatnya maupun umat lain.
Pandangan saudara Arif yang ditulis di Kompas.id adalah sikap skeptis yang berlebihan. Boleh jadi konflik antara pengusaha pertambangan dengan masyarakat karena disebabkan pola pendekatan yang kurang tepat. Maka, penyelesaian konflik berbasis kultural menjadi kata kunci.
NU sebagai Ormas Keagamaan terbesar di dunia memiliki sumber daya melimpah dalam hal penyelesaian konflik berbasis kultural.
NU sebagai elemen Civil Society Organization (CSO) memiliki peranan penting sebagai penghubung antara keinginan masyarakat kepada pemerintah atau sebaliknya. Sisi lain kepiawaian NU adalah dalam hal advokasi, membela masyarakat yang haknya tidak terpenuhi. Peranan NU juga tak kalah penting sebagai katalisator sekaligus mobilisator atau menggerakkan masyarakat dalam skala yang lebih besar. Peran-peran inilah yang seringkali diambil oleh NU dalam resolusi konflik.
Jika logika dasarnya, konsesi tambang diberikan kepada ormas keagamaan dikhawatirkan berpotensi membawa mereka berhadap-hadapan dengan umatnya maupun umat lain, maka sangat tidak tepat. Karena konflik-konflik di akar rumput, NU selalu hadir sebagai solusi dan memiliki basis kultural beridiologi civil society.
Kedua, terkait ekologi dan krisis lingkungan. Para pendahulu NU, seperti KH M Ali Yafie (1926-2023 M) mengelaborasi kajian fiqih lingkungan (fiqhul bi’ah) pada awal tahun 2000-an dari kajian fiqih sosial yang telah dirintisnya sejak 1980-an. Dengan bukunya Merintis Fiqih Lingkungan Hidup.
Fiqih lingkungan hidup, seperti dikatakan KH. Alie yafie adalah berupaya menyadarkan manusia yang beriman supaya menginsafi bahwa masalah lingkungan hidup tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab manusia dari amanat yang diembannya untuk memelihara dan melindungi alam yang dikaruniakan Sang Pencipta Yang Maha Pengasih dan Penyayang sebagai hunian tempat manusia dalam menjalani hidup di bumi. (KH M Ali Yafie, 2006 M: 42).
Landasan teologis tersebut tentu akan menjadi acuan NU. Sehingga implementasi konsesi tambang menjadi lebih bertanggung jawab terhadap ekositem alam.
Secara kontekstual, fikih lingkungan bisa mengadopsi secara teknis konsep reklamasi pertambangan. Sebuah proses pemulihan dan rehabilitasi lahan bekas pertambangan agar dapat digunakan kembali atau dikembalikan pada kondisi alaminya setelah kegiatan penambangan selesai atau dihentikan.
Tujuan utama dari fikih lingkungan dengan cara reklamasi tambang adalah untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan akibat penambangan dan memulihkan lahan agar dapat berfungsi kembali untuk berbagai keperluan seperti pertanian, kehutanan, rekreasi atau konservasi alam.
Peran sentral NU ada di sini. Bagaimana menjadi pemain tambang yang adil dan bertanggung jawab.
Ketiga, tinjuaan secara yuridis tidak ada aturan yang ditabrak. Secara faktual pemerintah telah menerbitkan keran perizinan tambang kepada organisasi kemasyarakatan keagamaan lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Aturan ini sebagai payung hukum yang sah dan mengikat.
Tengok pula bunyi UUD 1945 ayat 3 pasal 33, bahwa: “… Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat…”.
Bunyi pasal tersebut sudah sangat jelas “…dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat…”. Mari kita lihat, jumlah penduduk Indonesia sekitar 279 juta jiwa, sementara jumlah warga NU menurut Gus Yahya (Ketum PBNU) dalam sebuah acara menyebutkan sekitar 120 juta orang. Artinya sekitar 43 persen rakyat Indonesia berafiliasi dengan NU.
Maka kebijakan tersebut sebagai bentuk penghargaan pemerintahan Presiden Jokowi kepada Ormas Keagamaan, Khususnya NU (PBNU) patut diapresisasi dan didukung oleh seluruh stakeholder NU. Aturan tersebut sangat masuk akal sebagai implementasi dari amanat UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
So’ bagi warga NU, mari rawe-rawe rantas, malang-malang putung mengawal Konsesi Tambang sebagai jembatan emas menuju NU Berdaya dan Digdaya di sektor ekonomi . Semoga.
Yusuf Mars, Founder & Editor In Chief Padasuka TV Youtube Channel