LIPUTAN9.ID – Dalam bahasa Arab debat disebut dengan jadal atau jidal. Pengertian debat seperti yang disebut dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi argumen untuk mempertahankan pendapat masing-masing. Debat dilakukan bertujuan untuk menyampaikan dan mempertahankan argumen. Argumen yang berkualitas dapat disampaikan berdasarkan fakta, bukti, dan pola pikir yang logis.
Dalam al-Quran, berkenaan dengan debat disebut dalam Surat an-Nahl ayat 125,
اُدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan debatlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk [QS. an-Nahl [16]: 125].
Makna kalimat وَجَادِلْهُم dalam ayat diatas, sebagaimana disebut dalam Tafsir Ibnu Katsir adalah seseorang yang mengajukan alasan dalam berdebat dan membantah hendaklah dilakukan dengan cara yang baik dan lemah lembut dalam berbicara.
Dalam ayat lain, Allah berfirman tentang pentingnya memilih diksi atau redaksi yang baik saat berdiskusi dengan orang lain.
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
Berbicaralah kamu (Musa) berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut [QS. Thaha (20): 44].
Dalam Islam debat sudah ada dan biasa dilakukan oleh para Nabi terdahulu. Hal itu dilakukan untuk menyampaikan kebenaran ajaran yang didakwahkan kepada kaumnya, dan tentu disampaikan dengan etika atau tata krama yang baik. Perdebatan para Nabi dengan kaumnya, antara lain dapat dilihat pada kisah Nabi Nuh Alaihi As-Salam saat berdebat dengan kaumnya untuk mengajak meng-Esakan Allah, seperti yang dijelaskan dalam al-Quran Surat Hud ayat 25-33. Terdapat juga kisah perdebapatan antara Nabi Ibrahim Alaihi As-Salam dengan ayah dan kaumnya terkait larangan menyekutukan Allah, sebagaimana disebut dalam al-Quran Surat Al-An’am ayat 74-83. Atau juga kisah perdebatan Nabi Ibrahim Alaihi As-Salam dengan Namrud saat Namrud mengaku dirinya sebagai tuhan seperti yang dikisahkan dalam al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 258. Terdapat juga dalam al-Quran Surat Hud ayat 84-93 tentang kisah perdebatan antara Nabi Syuaib Alaihi As-Salam dengan kaumnya tentang seruan menyembah Allah, menjauhi kekufuran, mengurangi ukuran timbangan dan larangan memakan harta milik orang lain dengan cara yang batil.
Etika Mulia dalam Berdebat
Debat yang baik sejatinya bertujuan untuk bertukar pikiran dengan saling memberikan alasan atau argumentasi. Oleh karenanya, orang yang saling berdebat masing-masing hendaknya menjaga atau memperhatikan adab atau ektika debat yang antara lain sebagai berikut;
- Berdebat dengan niat yang baik. Niat yang baik saat berdebat dilakukan untuk mencari dan menjunjung nilai-nilai kebenaran, mengungkap fakta disertai argumentasi atau bukti yang akurat, kredibel dan dapat dipertanggung jawabkan.
- Orang yang berdebat memiliki pengetahuan dan kemampuan atas disiplin ilmu yang menjadi tema debat dengan merujuk pada sumber-sumber yang otoritatif.
- Jika terjadi perselisihan antara kedua belah pihak, maka solusinya kembalikanlah persoalan itu kepada sumber pokoknya dalam Islam, yaitu Al-Quran dan Hadis.
- Pada saat berdebat hendaknya menggunakan diksi yang baik serta cara atau etika dan tata krama yang mulia; bahasa yang lembut, tidak meremehkan lawan debat, apalagi menghina lawan debatnya.
- Mendahulukan pembahasan yang lebih penting yang bersifat subtansial.
- Menghindari narasi atau redaksi yang panjang, memilih bahasa yang familiar yang mudah dipahami oleh lawan debatnya, dan tidak boleh keluar dari tema pokok pembahasan debat.
- Pentingnya memperhatikan keseluruhan aspek dalam berdialektika, baik yang berkaitan dengan orang yang terlibat, materi yang dikaji, kondisi, dan lokasi perdebatan.
Jika tujuh poin etika atau tata karama cara berdebat diatas dapat dilakukan oleh orang yang saling berdebat, maka acara debat dapat dinikmati dengan baik, menjadi ilmu bagi yang mendengar atau melihatnya, menjadi nilai edukatif bagi para pemirsa, dan tentu saja orang yang berdebat akan menuai pujian dari orang lain.
KH. Abdul Muiz Ali, Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat