Bogor, LIPUTAN 9 NEWS
Memang kadang muncul menjenuhkan dalam pembahasan Nasab yang tidak juga reda padahal sudah hampir 2 tahun, entah kapan selesainya pembahasan nasab ini?
Dua kubu baik pro maupun kontra saking kesalnya karena ingin segera selesai pembahasan nasab, di group-group WhatsApp kadang melontarkan sumpah serapah, caci maki kepada lawan debatnya seakan-akan nasab ba’alawi adalah nasab dia yang harus dibela mati-matian, padahal dia sendiri bukanlah habib. Sampai segitunya bela mati-matian terhadap klan ba’lawi.
Kadang saya sendiri bertanya-tanya, kenapa mereka segitu gencarnya membela habib padahal argumentasi yang dikeluarkan pun tak sanggup menjawab pertanyaan tesis kyai Imadudin dan kawan-kawan di awal mencuatnya polemik nasab ini. Adapun pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan kyai Imadudin dan pendudukungnya dan harus terjawab melalui tulisan juga:
- Sejak kapan Isa Arumi/Isa alabah hijrah ke Yaman, dan tunjukan kitabnya?
- Tunjukan kitab sejaman yang menjelaskan kalau ubaydillah adalah anak Ahmad bin Isa?
- Adakah kitab yang menjelaskan tentang Alwi sebagai anak ubaydillah? Dari pertanyaan-pertanyaan di atas selalu dijawab dengan narasi : tunjukan kitab sejaman yang membatalkan ubaydillah sebagai anak bin Isa? tunjukan kitab yang meniadakan kalau ubaydillah bukan anak bin Isa?? Narasi terbalik seperti ini bukanlah jawaban dari pertanyaan yang diinginkan oleh kyai Imadudin dan kawan-kawan, tapi narasi ini hanya untuk membangun opini dalam upaya mempreming pada pendukung kyai Imadudin bahwa semua yang dilakukan oleh kyai Imadudin sebagai kedengkian dan kebencian terhadap habaib.
Jika narasi kebencian dan kedengkian dialamatkan kepada kyai Imadudin dan kawan-kawan yang sedang mempertanyakan ketersambungan nasab ba’alawi kepada Rosulullah selalu dibangun, itu bisa menambah ketidak kepercayaan masyarakat bahkan akan merambah ke penjuru negeri makin menambah ketidak percayaan masyarakat terhadap kaum habaib. Apa pasalnya?
Menurut hemat saya, pertanyaan yang dialamatkan kepada Rabithoh Alawiyah melalui pakar nasab yang dimilkinya harus mampu menjawabnya. Perlu disadari! Masyarakat Indonesia saat ini bukan masyarakat era bung Karno atau era pa Harto yang buta teknologi, sekarang masyarakat sudah melek teknologi bahkan setiap orang punya gadget/HP yang bisa mengakses informasi sekaligus bisa untuk melacak kasus-kasus penyimpangan para habib atau siapapun.
Tulisan tesis kyai Imadudin Utsman dalam mengungkap ketersambungan nasab habaib yang tidak terkonfirmasi baru sekitar 1,5 tahun lebih, sedangkan doktrin dan prilaku yang menjengkelkan para habaib sudah dilakukan bertahun-tahun bahkan dikenal publik sejak 80an kalau habaib adalah dzuriyah Rosul dan sering melakukan dawir jadi rasanya tidak pas jika tesis kyai Imadudin dan pendukungnya dituduh karena ada unsur kebencian.
Sudah begitu lamanya perlakukan para habaib dengan menjual-jual nama Nabi Muhammad SAW Agar masyarakat menuruti keinginannya sampai terkesan terjadinpraktek perbudakan, ada yang hartanya dikasihkan jika habib ingin, ada yang cium kaki hingga ada kasus menggarap istri jamaahnya. Tingkat laku habib-habib tersebut hingga puncaknya hampir terjadi terpolarisasi umat Islam di Indonesia dengan ulah politik identitas yang dilakukan oknum habib.
Apalagi sejak kemunculan ormas FPI yang sering meresahkan masyarakat Indonesia dengan dalih amar Maruf Nahi Munkar. Jadi sudah jelas, kajian Nasab Kyai Imadudin dalam mempertanyakan ketersambungan nasab para habaib yang dikatakan sebagai klan ba’lawi, merupakan “kajian analisis kasus” yang banyak menjadi korban dikalangan masyarakat bawah, dan masyarakat bawah mayoritas kalangan Nahdliyin, sangat wajar jika studi kasus ini perlu diangkat agar tidak ada lagi siapapun dan dimanapun merasa paling hebat apalagi membawa-bawa atas nama Nabi Muhammad SAW yang suci.
Kepedulian seorang kyai pimpinan pesantren yang memiliki kapasitas keilmuan mumpuni, sudah menjadi kewajiban untuk menegur dengan keras terhadap oknum habaib agar tidak terus-terusan membanggakan nasab hanya untuk mengeruk keuntungan agar umat Islam Indonesia bisa tunduk kepadanya, hanya bermodal doktrin kwalat, tidak dapat syafaat Rosul, dan jualan doktrin lain.
Kejenuhan bicara nasab setiap hari selalu menghiasi tulisan di group WhatsApp membuat sering serba salah! jika tidak dijawab terkadang lawan debat tidak terkoneksi pikirannya, dengan apa yang sedang dibahas jika dijawab muncul jenuh karena apa-apa yang ditanyakan sudah pernah dibalas dan dijawab oleh kyai Imadudin sendiri, dan pihak yang bela kyai Imad pun sering sekali membantu untuk mengulas jawabannya.
Kami merasakan kegelisahan dan kegalauan kawan-kawan yang mendukung ba’alawi sendiri, mungkin di benak pikiran mereka “ngapain kami bela mati-matian toh yang mempertanyakan nasab ba’lawi pun punya argumentasi kuat pula?, masa sesama kami warga NU justru yang saling bantah-bantahan kenapa tidak habib atau ba’alawi saja yang menjawab, toh nasab mereka yang lagi dipermasalahkan?”. Kejujuran hati orang-orang NU saat ini sedang diuji, dan pasti bagi yang memahami NU sesuai ajaran muasis NU sudah dipastikan punya kesadaran itu.
Jika tidak adanya kesadaran tentang kejujuran, apa manfaatnya berbantah-bantahan sesama warga NU ?sementara yang sedang dipertanyakan Robithoh Alwiyah dalam hal ini nasab para habaib, tentu ketidak sadaran itu ada beberapa faktor diantaranya :
- Jika selama ini habib punya jasa kepada dirinya lalu malah bersebrangan, khawatir tidak lagi dapat panggung dan tidak bisa lagi mendompleng pengaruh habib.
- Masih bingung dan tidak ingin melepaskan tradisi dan kebiasaan para pendahulunya apalagi gurunya yang pernah mengajarkan ilmu padanya, sementara gurunya sangat menaruh hormat terhadap habib.
- Tidak kenal dengan kyai Imadudin serta para pembelanya, dan andaikan mengenalinya itu hanya sebagian kecil, saat-saat kyai Imadudin masih bergaul bersama habaib.
Faktor-faktor tidak mampu membuka ruang kesadaran, betapa pentingnya realita pemikiran ilmiah harus dikedepankan daripada perasaan dalam melepaskan doktrin dan pemikiran lama, semua itu karena kurangnya kepercayaan diri dan literasi untuk menerima sesuatu yang baru.
Meninggalkan perkara lama untuk menerima perkara baru dalam sebuah diskursus keilmuan, jika tidak ada kesadaran tentu akan menghadapi dilema tersendiri menghina orang yang selama ini pernah membesarkan dirinya walaupun salah, atau menerima perkara baru walaupun berkonsekswensi harus hilang materi, wibawa dan pengaruh dalam komunitas habaib. Jika ia sebagai ulama dengan sendirinya akan runtuh keulamaannya manakala ada ketakutan terhadap makhluk dan ketakutan hilang jabatan dan hilang pengaruh.
Kiai Ahmad Suhadi, S.Pd.I, Ketua Ikatan Mubaligh-mubalighoh Nusantara (IMMAN) DPD Kabupaten Bogor dan Katib JATMAN Kabupaten Bogor.