Jakarta, LIPUTAN 9 NEWS
Fenomena pembelokan sejarah NU sangat marak belakangan ini. Video pendek yang beredar di dunia maya, terkait sejarah berdirinya ormas islam Nahdlatul Ulama. Video itu berisi, seolah berdirinya NU itu, merupakan gagasan dari Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhor, hanya karena ia keturunan Arab, maka tidak diperbolehkan oleh Belanda ujar penceramah dalam video tersbut.
Faktanya, Jami’atul Khayr (1905) dan Al-Irsyad (1914) yang lahir jauh sebelum berdirinya NU diperbolehkan dan eksis sampai detik ini. Kedua organisasi tsb adalah didirikan oleh orang-orang keturunan Arab. Yang pertama didominasi oleh kaum sayyid (keturunan Nabi) dan yang kedua adalah wadah untuk keturunan Arab non sayyid. Bahkan Rabithah Alawiyah (RA) pun, didirikan pada 1928, sebelum kemerdekaan, dikutip dari RMI NU Banten, Kamis (18/07/24).
Cikal bakal NU, berawal dari Konggres Al-Islam IV dan V, di mana kaum tradisionalis (pesantren) tidak terakomodasi dalam delegasi Mu’tamar ‘Alam al-Islami (Konfrensi Islam Internasional) di Makkah. Dari situ, KH. Wahab Hasbullah bersama rekan-rekannya membentuk Komite Hijaz –untuk mengirim delegasi sendiri ke Arab Saudi. Inilah yang akhirnya mengilhami terbentuknya organisasi Santri Tradisionalis dengan nama Nahdlatul Ulama (NU) di tahun 1926.
Sejalan dengan hal tersebut, Dr. KH. Abdul Moqsith Ghazali Katib Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam postingan medsosnya menyampaikan naskah struktur kepengurusan PBNU awal mula berdirinya NU tahun 1926.
“Inilah struktur kepengurusan PBNU tahun 1926. Kiai atau ulama siapa menduduki jabatan apa bisa dibaca dalam naskah-arsip di bawah ini (dalam naskah SK Struktur PBNU 1926),” tulis Kiai Muqsith.
Kiai Moqsith selanjutnya menyampaikan, menarik ada nama Syekh Ahmad Ghanaim Surabaya (asal Mesir) sebagai Mustasyar PBNU periode itu. Kata Kiai Moqsith, saya tidak banyak tahu tentang tokoh ini.
“Menarik juga, sepintas tidak terbaca ada nama-marga habaib asal Yaman dalam kepengurusan PBNU di periode awal ini (1926),” tuturnya.
Selanjutnya, Kiai Moqsith mempertanyakan apakah para habaib pada saat itu memilih bergabung dengan Jamiat Khair (1905) ketimbang bergabung dengan Jam’iyah NU.
“Saya tidak tahu, apakah para habaib saat itu lebih memilih bergabung ke Jamiat Khair (berdiri tahun 1905) -yang mayoritas anggotanya memang orang-orang Arab dan pimpinannya dari kalangan Ba’alwi- ketimbang bergabung ke NU,” tanyanya.
Merujuk pada naskah Struktur PBNU 1926, Kiai Moqsith menjelaskan, bahwa dalam naskah ini ada juga nama KH. Abdul Halim (Majalengka) sebagai Naibul Katib PBNU.
“KH. Abdul Halim (Majalengka)- ayahanda KH. Asep Saifuddin Chalim (Ketum Pergunu sekarang)- sebagai Wakil Katib PBNU. Nama Kiai Asep beberapa hari ini sempat ramai diperbincangkan ketika satu “tragedi” menimpanya saat beliau menghadiri suatu acara di Jawa Timur,” pungkasnya. (ASR)