BOGOR | LIPUTAN9NEWS
Revolusi digital telah mengubah lanskap ekonomi dan sosial secara fundamental, menghadirkan inovasi teknologi yang tidak terbayangkan sebelumnya. Dari kecerdasan buatan (AI) hingga blockchain dan dunia metaverse, kita menyaksikan pergeseran paradigma yang signifikan dalam cara berinterinteraksi, berbisnis, dan bahkan memahami konsep dasar kepemilikan. Dalam konteks ini, fiqih muamalah, sebagai cabang ilmu hukum Islam yang mengatur transaksi dan hubungan antarmanusia, menghadapi tantangan sekaligus peluang besar untuk beradaptasi dan memberikan panduan yang relevan.
Artikel ini akan meninjau bagaimana konsep hak milik (al-milkiyyah) dan akad (kontrak) dalam fiqih muamalah bergeser dan beradaptasi di era digital, serta implikasi inovasi teknologi terhadap keduanya.
Hak Milik di Era Digital: Melampaui Batas Fisik
Secara tradisional, fiqih Islam memahami hak milik sebagai penguasaan atas sesuatu, baik itu zatnya (‘ain) maupun manfaatnya (manfa’ah), yang memberikan pemiliknya hak untuk memanfaatkan, memindahtangankan, atau mencegah orang lain menggunakannya. Namun, era digital memperkenalkan aset-aset tak berwujud yang menantang definisi klasik ini:
Aset Kripto (Cryptocurrency): Mata uang digital seperti Bitcoin dan Ethereum telah memicu perdebatan sengit tentang status kepemilikannya dalam fiqih. Apakah ia termasuk mal mutaqawwim (harta bernilai yang sah)? Sebagian besar ulama kontemporer cenderung melihatnya sebagai aset yang dapat dimiliki karena memiliki nilai ekonomi dan diterima secara luas, meskipun volatilitas dan sifat spekulatifnya menimbulkan kekhawatiran.
NFT (Non-Fungible Token)
NFT memungkinkan kepemilikan unik atas aset digital, mulai dari karya seni hingga item dalam game. Fiqih perlu meninjau apakah “kepemilikan” atas NFT ini benar-benar sama dengan kepemilikan fisik, mengingat aset digital tersebut masih bisa direplikasi. Diskusi berpusat pada hak eksklusif yang melekat pada NFT dan nilai yang disepakati oleh pasar.
Properti Virtual (Metaverse)
Konsep pembelian tanah atau bangunan di dunia metaverse menghadirkan pertanyaan menarik. Apakah ini hak milik riil yang dilindungi hukum Islam, atau sekadar hak pakai di dalam ekosistem digital? Fleksibilitas dan sifat imajiner dari properti virtual memerlukan tinjauan fiqih yang cermat terkait substansi dan implikasi kepemilikannya.
Data Pribadi
Di era informasi, data pribadi telah menjadi “minyak baru” dengan nilai ekonomi yang tinggi. Fiqih perlu membahas apakah data pribadi merupakan bentuk hak milik yang harus dilindungi, dan bagaimana etika serta hukum Islam mengatur pengumpulan, penggunaan, dan monetisasinya.
Pergeseran ini menuntut fiqih untuk lebih jauh mengkaji esensi hak milik: apakah ia hanya terbatas pada entitas fisik, ataukah konsepnya dapat diperluas untuk mencakup nilai dan hak eksklusif yang muncul dari dunia digital?
Akad di Era Digital: Antara Otomatisasi dan Otentikasi
Akad, sebagai fondasi transaksi dalam fiqih muamalah, mensyaratkan adanya ijab qabul (penawaran dan penerimaan), kerelaan dari kedua belah pihak, objek akad yang jelas, dan ketiadaan unsur gharar (ketidakjelasan) atau riba (bunga). Teknologi digital membawa transformasi signifikan dalam pelaksanaan akad:
Akad Elektronik (E-Contracts)
Transaksi e-commerce, layanan online, dan persetujuan digital kini menjadi norma. Fiqih telah mengadaptasi diri dengan mengakui keabsahan ijab qabul yang dilakukan secara elektronik, asalkan memenuhi syarat sahnya akad seperti kejelasan, kerelaan, dan kemampuan pihak yang berakad. Tanda tangan digital dan validasi elektronik memainkan peran krusial dalam otentikasi akad digital ini.
Smart Contracts Berbasis Blockchain
Ini adalah inovasi yang paling revolusioner dalam konteks akad. Smart contracts adalah protokol komputer yang dirancang untuk secara otomatis melaksanakan, memverifikasi, atau menegosiasikan kontrak, tanpa perlu perantara.
Dalam fiqih, smart contracts berpotensi meningkatkan efisiensi dan transparansi akad syariah, seperti murabahah atau ijarah. Namun, tantangan muncul terkait unsur kerelaan (apakah kode otomatis dapat merepresentasikan kerelaan manusia sepenuhnya?), penanganan kesalahan kode, dan tanggung jawab hukum jika terjadi kegagalan. Fiqih perlu mengembangkan kerangka untuk memastikan smart contracts mematuhi prinsip keadilan dan keabsahan syariah.
AI dan Otomatisasi Akad
Kecerdasan buatan semakin berperan dalam pengambilan keputusan transaksi, mulai dari rekomendasi investasi hingga persetujuan pinjaman. Ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana AI dapat menggantikan peran manusia dalam proses akad. Siapa yang bertanggung jawab jika keputusan AI menyebabkan kerugian? Fiqih perlu meninjau bagaimana niyyah (niat) dan radhi (kerelaan) dapat dipertahankan dalam akad yang semakin diotomatisasi oleh AI.
Tantangan dan Peluang Fiqih Muamalah
Pergeseran paradigma ini membawa sejumlah tantangan bagi fiqih muamalah:
Regulasi yang Tertinggal, Perkembangan teknologi jauh lebih cepat daripada proses pembentukan hukum dan regulasi, baik di tingkat negara maupun fiqih.
Identifikasi Gharar Digital, Sifat kompleks dan abstrak dari beberapa teknologi digital mempersulit identifikasi unsur gharar atau ketidakjelasan yang dilarang dalam transaksi syariah.
Keamanan dan Penipuan, Risiko penipuan online, hacking, dan skema investasi bodong berbasis teknologi menjadi ancaman serius bagi keadilan transaksi.
Namun, era digital juga membuka peluang luar biasa:
Inklusi Keuangan Syariah, Teknologi dapat menjangkau lebih banyak individu dan UMKM, membuka akses ke layanan keuangan syariah yang sebelumnya sulit dijangkau.
Transparansi dan Efisiensi, Blockchain dan teknologi terdistribusi lainnya dapat meningkatkan transparansi dan efisiensi dalam pelaksanaan akad, mengurangi biaya transaksi, dan meminimalkan sengketa.
Inovasi Produk Syariah, Teknologi memungkinkan pengembangan produk dan layanan syariah baru yang lebih inovatif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern, seperti wakaf digital, crowdfunding syariah, dan fintech Islami.
Kesimpulan
Pergeseran paradigma hak milik dan akad di era digital adalah keniscayaan yang harus dihadapi oleh fiqih muamalah. Ini bukan tentang menolak kemajuan, melainkan tentang bagaimana fiqih dapat menjadi panduan adaptif yang memastikan inovasi teknologi berjalan seiring dengan prinsip-prinsip syariah yang adil dan etis.
Dengan studi yang mendalam, ijtihad kontemporer, dan kolaborasi antara ulama, praktisi teknologi, serta regulator, fiqih muamalah dapat terus relevan dan memberikan solusi transformatif untuk membangun ekonomi syariah yang kuat dan berkelanjutan di abad ke-21.
Azmi Ittaqi Hammami (241572010007), Mahasiswa STMIK Tazkia
























