LIPUTAN9.ID – Polemik terputusnya silsilah nasab keluarga Ba’alawi kini telah bergeser, dari disiplin ilmu nasab ke disiplin ilmu sejarah, khususnya sejarah nasional Indonesia. Dalam pandangan Kiai Imaduddin Usman, keluarga Ba’alawi tidak memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia.
Beberapa contoh kasus yang disebut oleh Kiai Imad antara lain: Islamisasi di era Sunan Ampel dan Sunan Gunung Jati, Perang Cisadane 1654, Perang Banten 1750, Perang Jawa 1825, Perang Cilegon 1888, hingga Perang Rakyat Banten 1926. Dalam semua momen besar historis tersebut, keluarga Ba’alawi disebut absen.
Sebenarnya, serpihan catatan sejarah cukup massif mengabarkan tentang peran keluarga Ba’alawi dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Pertama, perancang lambang negara Garuda Pancasila adalah Sultan Syarif Hamid Al-Qadrie, disapa Sultan Hamid II.
Peran Sultan Hamid II cukup besar. Pertama, pernah menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio di masa Presiden Soekarno. Kedua, Ketua BFO atau Permusyawaratan Negara-negara Federal dalam Konferensi Meja Bundar.
Tentu saja karena masalah politik, Sultan Hamid al-Qadrie disebut pengkhianat. Gelar ‘Pahlawan’ raib dari tangannya. Hal itu disebabkan peristiwa politik juga, yaitu: vonis bersalah oleh pengadilan di awal 1950-an, lantaran dianggap berniat membunuh sejumlah menteri.
Sultan Hamid II juga dituduh (walau tidak terbukti) bersekongkol dengan Westerling dalam peristiwa Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) tahun 1950 di Bandung. Persekongkolan ini dilatarbelakangi kekecewaan Hamid II kepada Soekarno karena hanya diberi posisi sebagai Menteri Tanpa (Zonder) Portofolio.
Lebih tua lagi, kita kenal Habib Ali Kwitang. Pada tahun 1940-an, Ali Kwitang membangun Masjid ar-Riyadh, tempat persembunyian Soekarno dari operasi Belanda. Sementara pihak Belanda tidak berani memasuki masjid ar-Riyadh karena Habib Ali Kwitang. Di kemudian hari, Soekarno sendiri yang meminta restu penentuan hari kepada Habib Ali Kwitang, kapan tanggal yang tepat membacakan teks proklamasi. Sejak itu Habib Ali menjadi penasehat spiritual Soekarno.
Lebih awal lagi, pada tahun 1922, Habib Idrus bin Salim al-Jufri mendirikan Perguruan Islam Al-khairat di Sulawesi, untuk menanamkan nilai-nilai nasionalisme. Kemudian, bersama Habib Ali Kwitang al-Habsyi dan Habib Ali Alatas Bungur, Habib Salim bin Jindan terus mengeluarkan fatwa-fatwa anti kolonialisme, sampai harus ditangkap oleh Penjajah belanda maupun Jepang.
Ada juga Habib Husein bin Salim al-Muthahar diberi penghargaan oleh negara sebagai Peraih Bintang Gerilya dan Bintang Mahaputra. Habib Husein ini adalah perumus Paskibraka, Pencipta Lagu Himme Syukur dan Hari Merdeka. Artinya, kalau kita tidak mau menutup mata, maka mudah melihat betapa banyak peran keluarga Ba’alawi untuk kepentingan bangsa dan negara.
Tentu saja, banyaknya peran kebangsaan dari keluarga Ba’alawi tersebut tidak boleh dilupakan hanya karena adanya satu dua oknum yang berpihak pada Belanda, seperti Sultan Hamid II maupun Habib Usman bin Yahya, yang diangkat oleh Belanda sebagai Mufti Betawi pada tahun 1862 menggantikan mufti sebelumnya Syekh Abdul Gani.
Di sinilah kita harus jernih melihat persoalan. Jika ada oknum tertentu melakukan tindak kejahatan terhadap bangsa dan negara, maka bukan berarti kita harus menyalahkan seluruh keluarga besarnya. Jika logika ini dipertahankan, seperti dilakukan oleh Kiai Imaduddin Usman, maka malapetaka besar akan terjadi.
Semua orang tahu, Sultan Agung Tirtayasa Abul Fattah adalah simbol perlawanan Kasultanan Banten terhadap VOC. Tetapi, tidaklah adil apabila kita harus melupakan jasa besar Sultan Agung Tirtayasa hanya gara-gara putranya bernama Sultan Haji Abu Nasr Abdul Qahhar membelot dan menjadi pengkhianat karena bersekongkol dengan VOC.
Lebih jauh lagi, kita tidak mungkin menghapus jasa-jasa dan kontribusi besar telah diberikan oleh Sultan Hasanuddin bin Sunan Gunung Jati. Walaupun di kemudian hari kita akan melihat Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir bin Maulana Muhammad bin Mualana Yusuf bin Maulana Hasanuddin yang meminta bantuan Inggris pada 1629 untuk memperkuat Banten.
Bantuan Ingris ini dibutuhkan oleh Banten untuk melawan VOC-Belanda. Walaupun pada tahun 1636, Banten dan VOC memilih berdamai. Alhasil, persahabatan Banten dengan Ingris dan perdamaian Banten dengan VOC adalah masalah politik sesuai konteks zaman itu.
Sekiranya Sultan Abul Mafakhir harus disalahkan karena bekerjasama dengan Inggris, dan kemudian berdamai dengan VOC-Belanda, maka hal itu tidak harus dengan cara melupakan jasa-jasa leluhurnya. Demikian pula halnya dengan keluarga Ba’alawi, yang diciderai oleh oknum-oknum tidak harus melukai martabat keseluruhan keluarga.
Ternyata, model pengkhianatan seperti Sultan Haji terhadap Sultan Agung Tirtayasa juga melanda Kasultanan Mataram Islam. Amangkurat I putra Sultan Agung Hanyakrakusuma tidak saja berafiliasi dengan VOC tetapi juga membunuh saudaranya dan ulama-ulama muslim.
Lebih jauh lagi, kita tidak mungkin menghapus jasa-jasa dan kontribusi besar telah diberikan oleh Sultan Hasanuddin bin Sunan Gunung Jati. Walaupun di kemudian hari kita akan melihat Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir bin Maulana Muhammad bin Mualana Yusuf bin Maulana Hasanuddin yang meminta bantuan Inggris pada 1629 untuk memperkuat Banten.
Bantuan Ingris ini dibutuhkan oleh Banten untuk melawan VOC-Belanda. Walaupun pada tahun 1636, Banten dan VOC memilih berdamai. Alhasil, persahabatan Banten dengan Ingris dan perdamaian Banten dengan VOC adalah masalah politik sesuai konteks zaman itu.
Sekiranya Sultan Abul Mafakhir harus disalahkan karena bekerjasama dengan Inggris, dan kemudian berdamai dengan VOC-Belanda, maka hal itu tidak harus dengan cara melupakan jasa-jasa leluhurnya. Demikian pula halnya dengan keluarga Ba’alawi, yang diciderai oleh oknum-oknum tidak harus melukai martabat keseluruhan keluarga.
Ternyata, model pengkhianatan seperti Sultan Haji terhadap Sultan Agung Tirtayasa juga melanda Kasultanan Mataram Islam. Amangkurat I putra Sultan Agung Hanyakrakusuma tidak saja berafiliasi dengan VOC tetapi juga membunuh saudaranya dan ulama-ulama muslim.
Walaupun tidak sampai membunuh ulama, Kasultanan Cirebon mengusir Kiai Muqayyim bin Kiai Abdul Hadi, Mufti Keraton. Tetapi, Keraton terlanjur mesra dengan Belanda, sehingga harus mengusir Kiai Muqayyim. Setelah keluar dari keraton, Kiai Muqayyim mendirikan Pesantren Buntet.
Dari sini kita tahu, banyak pengkhianatan dilakukan oleh darah biru dari klan tertentu. Tetapi kita harus jernih memetakan masalah. Termasuk juga polemik validitas nasab keluarga Ba’alawi harus dilokalisir, dilakukan pembatasan agar semata-mata masalah akademik, antara pembuktian ilmu nasab, ilmu sejarah, atau ilmu filologi.
Polemik ini tidak bisa ditarik melebar menjadi masalah rasisme, seperti yang dilakukan oleh Kiai Imad, yang menuduh tidak adanya peran kebangsaan keluarga Ba’alawi pada umumnya. Jika itu dilakukan maka banyak orang suci yang harus disalahkan karena perilaku kebejatan keturunan mereka. wallahu a’lam bis shawab.
Artikel ini tayang juga di Tribunnews.com dengan judul yang sama Polemik Keluarga Ba’alawi dan Kontribusi Kebangsaan Mereka, pada hari Kamis, 11 Agustus 2023.
KH. Imam Jazuli, Lc. MA, Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.