(Langit menangis mendengar “jeritan” nabi dan para Malaikatpun sedih mendengar keluh kesah sang kekasih Tuhan)
Ada moment tahunan setiap menyambut bulan Rajab (terutama di medsos) yaitu berseliweran informasi dan ajakan tentang keutamaan bulan Rajab, ajakan untuk melakuan berbagai ibadat, memperbanyak doa, shalat, berpuasa, menyantuni anak yatim atau membuat acara perayaan Isra Mi’raj di mesjid-mesjid atau Musholla.
Tak ada salahnya dengan semua itu, baik malah, tapi sisi lain gebyar menyambut Rajab ini menampakkan sisi anomali paradoksial yaitu kesemarakan berbagai ibadat ini pada sebagian ummat belum diimbangi dengan prilaku positif (akhlakul karimah) dalam kehidupan sehari hati. Malah sebaliknya mencitrakan kadang negatif terutama ketika berhubungan dengan cara berpikir dan memahami perbedaan masalah agama dan politik.
Ada satu moment penting yang seringkali luput dari perhatian di bulan ini yaitu peristiwa Isra mi’raj nabi, bukan pada peristiwanya itu sendiri tapi pada latar belakangnya.
Isra dan Mi’raj nabi ini bukan tanpa dasar dan hikmah, tapi mengandung rahasia besar.
Isra dan Mi’raj dalam sejarah Islam terjadi pada tahun yang diistilahkan sebagai tahun duka cita nabi عام الحزن di mana pada bukan ini nabi ditinggalkan oleh orang orang terdekatnya, Abu Thalib sang paman dan Khadijah sang istri tercinta.
Dua tokoh ini adalah orang-orang yang sangat penting dalam perjalanan dakwah nabi, dua orang penopang utama, sang paman sang pelindung dari sisi kekabilahan dan sang istri dari segi logostik (finansial).
Ketika kedua tokoh ini meninggal, nabi terguncang, serasa mendapat pukulan dahsyat, bimbang dan galau dengan dakwah masa depan agama yang baru dirintisnya ini.
Sepeninggal dua orang itu nabi mulai mendapat penentangan yang lebih nyata dan berat, intimidasi, teror dan yang terberat adalah kehilangan dukungan pelindungan koalisi antar klan (kabilah).
Oleh karenanya suatu hari nabi berangkat menuju daerah Thaif dengan harapan mendapat bantuan (kerjasama perlindungan antar kabilah) untuk melindunginya sekaligus berdakwah mengajak masuk Islam, tapi sangat disayangkan penduduk thaif tidak bersedia diajak kerjasama dan malah menolak ajakan dakwahnya dengan kasar, bukan hanya ditolak nabi juga dicerca, dihina, serta dilempari batu batu hingga nabi berlari ke luar kampung itu dengan kedua kakinya berdarah darah.
Nabi “kabur” menjauh dari kampung itu dan istirahat di sebuah kebun kurma, nabi tidak merasa sakit oleh luka berdarahnya tapi lebih tersakiti oleh ucapan ucapan penolakan ajakanya hingga kemudian beliau mengadukan masalahnya kepada Allah.
” اللَّهُمَّ إِلَيْكَ أَشْكُو ضَعْفَ قُوَّتِي، وَقِلَّةَ حِيلَتِي، وَهَوَانِي عَلَى النَّاسِ، يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ، أَنْتَ رَبُّ الْمُسْتَضْعَفِينَ، وَأَنْتَ رَبِّي، إِلَى مَنْ تَكِلْنِي، إِلَى بَعِيدٍ يَتَجَهَّمُنِي، أَوْ إِلَى عَدُوٍّ مَلَّكْتَهُ أَمْرِي، إِنْ لَمْ يَكُنْ بِكَ عَلَيَّ غَضَبٌ، فَلَا أُبَالِي، وَلَكِنَّ عَافِيَتَكَ هِيَ أَوْسَعُ لِي، أَعُوذُ بِنُورِ وَجْهِكَ الَّذِي أَشْرَقَتْ لَهُ الظُّلُمَاتِ، وَصَلَحَ عَلَيْهِ أَمْرُ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، مِنْ أَنْ يَنْزِلَ بِي غَضَبُكَ، أَوْ يَحِلَّ عَلَيَّ سَخَطِكَ، لَكَ الْعُتْبَى حَتَّى تَرْضَى، لا حَوْلَ وَلا قُوَّةَ إِلا بِكَ”،
Sepenuh kesedihan dan kegundahan, berurai air mata nabi mengadu;
“Ya Allah, hanya pada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kurangannya daya upayaku di hadapan manusia
Wahai Tuhan Yang Maha rahim, Engkaulah Tuhan orang-orang yang lemah dan Tuhan pelindungku
Kepada siapa hendak Kau serahkan nasib diri dan mada depan dakwah ini?
Apakah Kepada orang jauh yang berwajah muram padaku kah atau kepada musuh yang akan menguasai diriku?
Robbi, Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli itu semua sebab sungguh luas kenikmatan yang Kau limpahkan kepadaku
Aku berlindung pada nur wajah-Mu yang menyinari kegelapan dan karena itu yang membawa kebaikan di dunia dan akhirat dari kemurkaan-Mu dan yang akan Kau timpakan padaku
Hanya padaMulah aku adukan halku sehingga Kau ridha padaku, tak ada daya upaya dan kekuatan melainkan dengan kehendak-Mu.”
Langit menangis mendengar “jeritan” nabi dan malaikatpun sedih mendengar keluh kesah sang kekasih Tuhan dan berkata;
“Wahai Muhammad, maukah kau aku timpakkan saja ke dua gunung ini menghancurkan penduduk kampung itu?
Meski demikian sang nabi agung menolak tawaran Jibril dan berkata; “Jangan, biarkan saja, aku masih berharap semoga saja nanti ada anak cucu keturunan mereka yang memeluk agama ini”
Demikian indahnya ungkapan nabi, tak ada dendam dan kemarahan, semata cinta dan kasih sayang serta harapan semakin banyaknya manusia yang memeluk Islam.
Ungkapan nabi di atas tampaknya bukan semata mata disebabkan oleh sifat mulia nabi tapi lebih jauh lagi nabi sangat menyadari (rasionable) kondisi dakwah yang masih lemah, masih tahap memulai (tahun ke 6 kenabian) di mana Islam belum memiliki kekuatan, jamaah belum banyak ditambah kehilangan dua orang yang sangat penting dalam membantu perjalanan dakwahnya, pada konteks inilah tampaknya nabi masih “sangat berharap” semoga saja ummat Islam semakin banyak meski sekedar dari anak cucu turunan penduduk Thaif yang menolaknya saat itu.
Demikian nabi, demikian keluh kesah, harapan dan kesedihan sang nabi.
Hal ini kontras dengan keIslaman saat ini dimana banyak manusia beragama Islam tapi suka menafikan keIslaman sesamanya. Hanya karena berbeda afiliasi politik, mazhab, kelompok dan partai menafikan muslim lain, menegasikan sesama mumin, dianggap salah, sesat, murtad, musyrik dan lain lain padahal masih sama sama bersyahadat, sama sebagai ummat Muhammad.
Sebagian ummat Islam yang hanya berdasarkan kepicikan berpikirnya saat ini sudah menjadi mahluk-mahluk sombong merasa paling tahu tentang agama dan kebenaran. Paling tahu tentang iman dan Tuhan bahkan merasa lebih pintar dari sang nsbi sendiri yang membawa agama ini.
Lihatlah jagat politik tanah air saat ini, sesama muslim, sesama beriman tapi saling hujat, menghina, mencaci, memvonist dan mengkufur kufurkan.
Mereka seolah menjadi lebih pintar dibanding nabi sendiri, padahal nabi menegaskan agama iru mudah, sederhana dan membawa rahmat bukan sebaliknya sikap galak, telenges, teror, sulit, rumit memahami ajaran Islam, mbulet, muter2 tentang berbagai konsep dan teori iman.
Padahal Rasul itu ummi (bersahaja) yang berbicara dengan bahasa kaumnya, bukan dengan bahasa-bahasa muter muter ngjelimet ala Doktor filsafat dan teologi atau Tasawuf di kampus-kampus.
Rasul sangat sederhana dan mudah difahami Nabi memberikan acuan sederhana Kriteria Muslim/mu’min itu seperti:
١.من قال: لا إله إلا الله عصم دمه وماله وأن حسابه إلى ربه
٢.انما المؤمنون اخوة
٣.نحكم بالظاهر والله يتولى السرائر
٤.لا يحافظ على الوضوء إلا مؤمن فمن لازم الصلوات بوضوء فهو مسلم
- Siapapun yang bersyahadat maka harus terjaga darah, kehormatan dan hartanya, adapun nilai amal diri masing2 hanya Allah yang paling tahu.
- Kita hanya boleh memvonist (menghukumi) dari apa yang tampak, yang tak tampak (bathin) itu urusan Allah
- “Sepanjang seseorang itu berwhudu dia adalah mu’min dan sepanjang dia sholat adalah muslim”
- Sesama muslim bersaudara oleh karena itu dilarang saling menghina dan menistakan:
سباب المسلم فسوق، وقتاله كفر
“Mencerca muslim lain adalah fasik (dosa) dan membunuhnya adalah “kekufuran”)
Tegasnya prinsip penilaian, kriteria muslim mu’min itu sebagaimana arahan sahabat Umar; “Wahyu telah terputus, sekarang kita hanya bisa menghukumi dari sikap yang tampak (pengakuan dan perbuatan lahiriah), bukan dari bathin setiap orang.”
Saat ini sebagian orang dengan segala sifat sok tahunya tentang agama, menegasikan keimanan dan keislaman orang lain yang padahal nabi sangat berharap semakin banyak orang yang beriman dan menjadi muslim. Atau dengan kata lain nabi berjuang mengIslamkan orang orang yang kafir, zaman ini sebagia ummat senengnya mengkafir kafirkan orang yang telah beriman.
Inilah salah satu aspek yang mungkin terlupakan oleh ummat dari maraknya ajakan ibadah dan seremoni perayaan hari besar Islam Isra Mi’raj di bulan Rajab ini.
Jadi tidak cukup hanya dengan menshare “info fadhilah dan keutamaan bulan Rajab” di berbagai platform medsos kan? (To be continued part-2)
Syamsuddin HS, M.Ag, Syuriah Majelis Wakil Cabang (MWC) NU Pondok Melati PCNU Kota Bekasi