.Bandung, LIPUTAN 9 NEWS
Dalam rumah tangga, dinamika berbentuk ujian atau cobaan pasti akan hadir menghampiri. Bahkan dinamika tersebut dapat menghantarkan kepada konflik kejiwaan diantara para anggota keluarga.
Dalam perspektif psikologi, konflik kejiwaan terjadi karena ditengarai oleh tarik menarik dua atau lebih motivasi dalam diri manusia. Antara motivasi untuk memenuhi kebutuhan organik biologis, hawa nafsu, keinginan dan ambisi duniawi yang harus dipenuhi satu pihak. Pihak yang lain tarikan kekuatan motivasi dan spritualitas yang lahir dari keyakinan agama. Tarik menarik ini, sesuatu yang lumrah terjadi pada diri manusia. Akan tetapi, seseorang yang masih sadar dirinya sebagai hamba Allah maka ketika terjadi konflik kejiwaan akan mengembalikan kesejatian dirinya menuju kehendak Rabb yang telah menciptakannya.
Salah satunya kembali pada kehendak Allah melalui shalat. Shalat yang dalam definisi paling sederhana berasal dari kata “As-shalah” yang memiliki dua makna, yaitu “shalla” dan “washala”. Shalla artinya berdo’a sebagai wujud memohon kepada Allah sebagai makhuk tidak berdaya. Washala artinya sama dengan shilah, yaitu menyambungkan. Artinya, shalat itu mempunyai makna adanya ketersambungan seseorang manusia sebagai hamba dengan Allah.
Shalat dikenal sebagai tiang agama bagi kaum muslimin. Bahkan sebuah keterangan menyebutkan “jika shalatnya baik maka amal yang lainnya akan baik dalam mizan di yaumil hisab nanti”. Banyak para ulama telah mengutarakan tentang hikmah shalat, diantaranya: 1) dengan shalat agar senantiasa mengingat dan mendekatkan diri kepada Alloh, 2) dengan shalat dapat melatih diri agar memiliki disiplin waktu, 3) dengan shalat dapat melatih untuk hidup tertib dan teratur, 4) dengan shalat membimbing hidup menjadi damai sejahtera, 5) dengan shalat belajar menjadikan hati tentram dan tenang, 6) dengan shalat belajar bersikap rendah hati, 7) dengan shalat belajar membangun persatuan dan persaudaraan, 8) dengan shalat belajar menjauhkan diri dari perbuatan dosa dan tercela, 9) dengan shalat belajar hidup menjadi rukun dan damai, serta 10) dengan shalat belajar tentang kepekaan sosial yang tinggi terhadap masalah orang lain dan sosial. Jika hikmah shalat ini diaplikasikan dalam kehidupan rumah tangga, maka ujian dan cobaan yang menghampirinya akan mudah terselesaikan.
Hikmah shalat sangat penting dihadirkan dalam kehidupan rumah tangga. Apalagi saat menghadapi pelbagai dinamika ujian dan cobaan. Hikmah shalat sebagai perilaku ritual ini Jika ditilik dalam perspektif sosiologi mikro sangat bermanfaat dalam memelihara keberkahan, atau meraih tujuan sakinah, mawadah dan rahmat dalam rumah tangga.
Shalat adalah bentuk ritual yang wajib dan sunnah bagi kaum muslimin memiliki efek positif bagi yang mengerjakannya. Randall Collins dalam “Interaction Ritual Chain” menyebutkan bahwa perilaku ritual dapat mengkonseptualisasi kesadaran emosional yang bermanfaat untuk menjadi energi positif bagi lahirnya kebaikan-kebaikan yang khas dalam ruang-ruang berdimensi sosial, semacam solidaritas, soliditas, loyalitas, komitmen, empati dan lain-lain. Ketika dikaitkan dengan pembangunan rumah tangga, maka dimensi ritual shalat akan menjadi fondasi yang kuat dalam menumbuhkan keluarga sakinah, mawaddah dan rahmat.
Emile durkheim dalam “The Elementary Forms of Religious Life” tepatnya ketika berbicara “the ritual action and moral order”, menyebutkan bahwa “jika perilaku ritual semakin instensif dilakukan seseorang maka akan semakin ekstensif manfaatnya bagi diri dan masyarakat secara luas dalam menata moralitas kearah yang lebih baik dan beradab.”Begitupun ritual shalat semestinya dapat menjadi sumber utama penataan moral dalam rumah tangga yang melahirkan soliditas, solidaritas, komitmen, loyalitas, empati, kesantunan, dan lainnya sesama anggota keluarga. Penataan moral yang dapat menghantarkan dan memelihara tujuan dibentuknya rumah tangga, yakni sakinah, mawadah dan rahmat.
Dalam konteks ini, sepakat dengan Catherine Bell dalam “Ritual: Perspektive and Dimensions”. Bentuk-bentuk ritual, seperti shalat jangan hanya sebatas pemanggilan tradisi masa lalu yang bersifat rigiditas historis saja semacam ritual an-sich tetapi harus bersifat tranmisis-historis yang mampu menebar nilai-nilai filosofis dan makna-makna terpenting dalam menata moralitas yang bermanfaat bagi terbangunnya kemaslahatan pada ruang-ruang sosial, termasuk dalam ruang rumah tangga. Ritual shalat mestinya hadir dalam rumah tangga memberikan dampak pada proses peralihan (transisi) para pelakunya dari sesuatu yang ambiguitas dan disorientasi kepada komitmen dan konsistensi dalam menjalankan ajaran agamanya, termasuk didalamnya lahir perilaku soliditas, solidaritas, komitmen, loyalitas, empati atau tafahum, takaful, taawun, tarahum, tasamuh dan lainnya.
Sepakat dengan Victor Turner dalam “The Ritual Process”, menegaskan bahwa wujud ritual (termasuk shalat) semestinya melahirkan keteguhan pada keimanannya, menyempurnakan akhlak dan mampu meningkatkan kesadaran dalam menjalankan aturan-aturan yang benar bagi para pelakunya.
Dalam menjalani rumah tangga dan menghadapi pelbagai dinamika ujian serta cobaan kehidupan membutuhkan kehadiran makna-makna shalat, baik secara individual maupun sosial. Menghadirkan makna shalat ini untuk terpeliharanya tujuan sakinah, mawadah dan rahmat dalam rumah tangga. Artinya setiap individu yang terlibat didalamnya harus menghadirkan makna-makna shalat yang berpijak kepada “ritual genre”.
Istilah ritual genre yang dikemas dalam sosiologi agama ini mengharapkan adanya ketelibatan dalam bentuk pengorbanan dan persembahan untuk memuji, membesarkan dan mengkuduskan kekuatan Ilahi. Antropolog Edward Taylor ketika membahas tentang “ritual genre” menyebutkan pengorbanan dan persembahan yang dilakukan dengan penuh harapan agar mampu melahirkan keberkahan dari Yang Maha Qudus untuk meraih keselamatan hidup dirinya dan dunianya. Dalam Islam, siklus ritual merupakan persembahan suci seorang hamba kepada Ilahi dengan harapan mendapat ridho Alloh. Ridho Alloh inilah yang akan menjaga tujuan ideal rumah tangga, yakni sakinah, mawadah dan rahmat.
Dibulan ramadhan tahun 1445 H, sejatinya setiap muslim mampu belajar mendidik rumah tangganya agar berkorelasi dengan makna-makna shalat yang selalu dilakukannya. Semoga di bulan ramadhan sebagai bulan tarbiyah, setiap kita dimampukan oleh Allah untuk dapat menghidupkan makna-makna shalat yang mampu menghantarkan rumah tangga sakinah, mawadah dan rahmat.
Harapan di atas, tentunya akan kembali pada pelaku rumah tangga. Apakah shalatnya mampu menghadirkan keselamatan, ketenangan, ketentraman dan kedamaian dalam rumah tanganya. Atau sebaliknya, shalatnya belum sampai kepada “genre ritual” yang sesungguhnya. Genre ritual yang dapat menjadi fondasi ajaran dalam menghadapi pelbagai dinamika di rumah tangga.
Dalam keheningan, doa di bulan ramadhan penuh berkah tersampaikan bagi siapapun yang selalu berjuang tanpa jeda dan lelah dalam memperbaiki dan menata rumah tangga agar menjadi lebih baik dan benar.
Dr. H. Dudy Imanuddin Effendi, M.Ag, Wakil Dekan 1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung.