Abstrak
Hizbut Tahrir (HT) sebuah gerakan pemikiran dan politik transnasional bercita-cita mendirikan Khilafah global melalui peralihan kekuasaan di suatu negara secara revolusioner, menyeluruh dan dalam waktu sesingkat-singkatnya. Menurut doktrin HT peralihan kekuasaan yang demikian hanya dapat dilakukan oleh militer. Penelitian ini mengkonstruksi hubungan Hizbut Tahrir dengan militer di Indonesia, dari sejak lahirnya grup kajian yang pertama halaqah ula (1985) sampai sekarang (2021). Berdasarkan legalitasnya, ada tiga fase yang dilalui oleh Hizbut Tahrir Indonesia yaitu fase sebelum terdaftar sebagai organisasi resmi (1985 – 2006), fase menjadi organisasi kemasyarakatan resmi (2006 – 2017) dan fase menjadi gerakan ilegal (2017 – sekarang). Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan metode analisis konten berbasis data primer dan sekunder dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara, observasi, dan studi dokumen, kemudian dilakukan uji validasi data dengan triangulasi data. Ditemukan beberapa pola dan pendekatan hubungan sosial yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir, serta respon yang sepadan dari militer sesuai situasi sosial dan politik saat itu.
Pendahuluan
Sebagai sebuah paham, radikalisme menyasar ke semua elemen masyarakat. Ibarat debu, radikalisme dapat menempel di mana saja. Termasuk di kalangan militer (Ayik H 2022). Radikalisme di kalangan militer pertama kali diungkapkan oleh Menteri Pertahanan (2014- 2019) Ryamizard Ryacudu, bahwa 3% prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) terpapar paham radikal (Hadi 2019). Tiga tahun kemudian, hal ini mencuat kembali setelah Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo pada Rapat Pimpinan TNI-Polri, selasa 1 Maret 2022, menyinggung tentang penceramah radikal yang diundang oleh istri-istri TNI-Polri (Nugraheny Erika Dian 2022). Kemudian dalam rangka menindaklanjuti arahan Presiden tersebut, Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) Jenderal, Dudung Abdurrahman memerintahkan kepada semua Panglima Daerah Militer (Pangdam) dan Panglima Resort Militer (Danrem) supaya tidak mengundang penceramah radikal (Noviansah Wildan 2022)
Menurut Brigjen. Pol. R. Ahmad Nurwakhid, SE, MM, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT RI), ada lima ciri penceramah radikal antara yaitu: 1) Anti Pancasila dan pro khilafah transnasional; 2) Berpaham takfiri kepada sesama agama dan kepada agama lain; 3) Anti pemerintah yang sah, dan melakukan kegiatan memutus kepercayaan masyarakat kepada pemerintah (distrust) dengan cara menyebarkan fitnah, hoaks, adu domba dan ujaran kebencian; 4) Bersikap eksklusif, intoleransi dan anti pluralitas; 5) Anti budaya dan kearifan lokal (JPNN 2022).
Dalam arahannya, Presiden Joko Widodo menyebut sikap sebagian oknum prajurit TNI dan anggota Polri yang turut menolak keputusan pemerintah tentang pemindahan ibukota negara di grup-grup WA (Whatsapp) (Andri 2022). Hal ini mengarahkan kepada kelompok radikal yang dimaksud adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). HTI adalah kelompok radikal paling keras menolak ibukota negara (IKN) dari Jakarta ke Penajam Kalimantan. Mereka melakukan penggalangan opini secara terstruktur, sistematis dan masif agar masyarakat menolak IKN. Melalui media dalam jaringan (daring), akun dan channel media sosial (Facebook, Youtube dan Tiktok) dan aplikasi pesan (Telegram dan Whatsapp) yang berafiliasi dengan HTI. Tercatat dari 12 April 2020 sampai 25 Maret 2022, website Tintasiyasi menurunkan 52 artikel tentang IKN. Website Media Umat sebanyak 34 artikel. Sedangkan channel youtube Pusat Kebijakan Analisis Data (PKAD) merilis 48 video yang membahas IKN. Mimbartube 35 video, Ahmad Khozinudin 30 video, RayahTv sebanyak 16 video, Muslimah Media Center 12 video, Multaqa Ulama Aswaja TV 3 video, Ngaji Shubuh 2 video dan Media Umat 1 video. Media-media tersebut memiliki kemiripan dalam isu, narasi, narasumber dan ide pokok.
Radikalisme yang mengarah kepada terorisme, tidak dapat dipisahkan dari upaya penanggulangan terorisme secara ke1seluruhan. Hubungan erat antara radikalisme dengan terorisme dapat digambarkan sebagai berikut; Jika radikalisme itu jiwa, maka terorisme yang menjadi raganya. Jika radikalisme itu hulu, maka terorisme adalah hilir. (Ahmad Nurwakhid 2021). Jika radikalisme itu software, maka terorisme yang menjadi hardware. Jika radikalisme itu adalah sebab, maka terorisme adalah akibatnya. Radikalisme merupakan faktor independen, sedangkan terorisme faktor dependen. (Ayik H 2020). Artinya, terorisme pasti dilatarbelakangi oleh radikalisme, namun, radikalisme tidak otomatis berujung kepada aksi terorisme (Ahmad Nurwakhid 2021).
Radikalisme terdiri dari kata radikal dan isme. Radikal berasal dari bahasa Yunani: radix yang berarti akar. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan, radikal berarti (a) secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip); (b) amat keras menuntut perubahan (undang-undang atau pemerintahan); (c) maju dalam berpikir atau bertindak. Kamus Cambridge mendefinisikan radikal sebagai upaya dalam mempercayai dan mengekspresikan keyakinan bahwa perubahan sosial atau politik harus dilakukan secara ekstrem. Radikalisme adalah paham yang menginginkan perubahan secara mendasar dan menyeluruh terhadap sistem politik, pemerintahan dan negara. Sedangkan proses meradikalkan pemikiran dan tindakan seseorang disebut radikalisasi (Galib, Islam, and Alauddin 2021).
https://twitter.com/Liputan9id/status/1578305852225642496?s=20&t=r4WEExC6M6i7R3-rploVOw
Radikalisme dilatarbelakangi oleh beberapa hal, salah satu di antaranya adalah pemahaman agama, berupa kekurangpahaman dan atau kesalahpahaman. Radikalisme yang berujung kepada aksi terorisme merupakan bentuk penyimpangan dari ajaran agama. Hal ini terjadi karena asumsi, sangkaan, tafsiran dan pemahaman, bahwa penggunaan kekerasan dalam menegakkan ajaran agama sebagai bagian dari ajaran agama yang disebabkan oleh faktor ketidaktahuan, kesempitan jiwa dan ketidakjujuran hati seorang radikalis (Setiawandari, Munandar, and Hannase 2020). Oleh sebab itu, pencegahan terorisme harus dimulai dari pencegahan radikalisme. Ibarat sebuah pohon, radikalisme berperan sebagai batang, cabang dan ranting; Maka terorisme adalah buahnya (Ahmad Nurwakhid 2021).
Dengan alasan, pertama, HTI sebagai organisasi masyarakat (ormas) yang berbadan hukum tidak berperan positif dalam pembangunan guna mencapai tujuan nasional; Kedua, kegiatan yang dilakukan oleh HTI terindikasi kuat bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, NKRI sebagaimana yang diatur dalam UU No. 17 Tahun 2013; Ketiga, aktivitas HTI dinilai dapat memicu benteran masyarakat dan mengancam NKRI, maka pemerintah melalui Menteri Politik, Hukum dan Keamanan, mencabut badan hukum HTI. Pencabutan badan hukum HTI pada tanggal 19 Juli 2017 oleh Kementerian Hukum dan HAM, (Hukum 2017; Humas Kemenko Polhukam 2017), dikuatkan dengan putusan Mahkamah Agung RI dengan nomor putusan 27 K/TUN/2019 (Kepaniteraan Mahkamah Agung RI 2019), tidak serta dapat menghentikan kegiatan mereka. Sebagai gerakan pemikiran dan politik (gerakan ideologis), pencabutan badan hukum bukan berarti pencabutan ideologi. HTI menegaskan bahwa mereka tetap bergerak, sebagaimana yang ditegaskan oleh M. Ismail Yusanto (Juru Bicara HTI) setelah mendengar putusan Mahkamah Agung (Imam 2017).
Sampai sekarang HTI tetap eksis. M. Ismail Yusanto masih menggunakan jabatannya sebagai Juru Bicara HTI ketika mengucapkan selamat selamat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha channel ALWaqiyah TV yang berafiliasi kepada Hizbut Tahrir (Al-Waqiyah 2021). Tekad yang mereka buktikan dengan serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif dari sejak pencabutan badan hukum sampai penelitian ini ditulis (Maret 2022). Mereka menggunakan aneka ragam nama lembaga samaran. Kegiatan- kegiatan mereka terpublikasi di website, akun dan channel media sosial yang berafiliasi dengan HTI. Aktivitas HTI juga dipublikasi di website dan akun media sosial HT di luar negeri (Al-Waqiyah 2021).
Meskipun demikian, aktivitas HTI tidak berpengaruh terhadap masyarakat, karena masyarakat sudah mengetahui visi, misi dan tujuan di balik semua kegiatan HTI, terlebih pasca pencabutan badan hukum. Masyarakat mengetahui bahwa HTI sudah dibubarkan. HTI terus mendapat penentangan, dan perlawanan. Dalam pandangan HTI, keadaan ini membuat masyarakat beku untuk dapat menerima keberadaan, kegiatan dan propaganda mereka.
Ruang gerak mereka semakin sempit dan terbatas. Secara legal formal, HTI tidak bisa lagi melakukan kegiatan di ruang-ruang publik. Arus penolakan dari masyarakat terhadap kegiatan HTI semakin deras. Masyarakat menutup pintu bagi HT, sebagai bentuk dukungan terhadap keputusan pemerintah. HTI memandang, masyarakat sipil sudah apatis, dan stagnan. Masyarakat sipil tidak dapat diharapkan untuk mendukung dan menjadi jalan guna meraih kekuasaan.
Di sini titik krusial bagi HTI, ketika masyarakat (sipil) sudah tidak dapat diharapkan menjadi jalan menuju kekuasaan, maka, mereka berharap ke militer guna melindungi, dan menjadi jalan menuju kekuasaan pemerintahan. HTI melakukan aktivitas meminta pertolongan kepada militer, yang dianggap memiliki kekuatan riil berupa prajurit yang terlatih, persenjataan dan peralatan perang (ahlu quwwah) serta sistem organisasi yang berbasis komando. Aktivitas ini disebut dengan thalab an-nushrah (Abu Fuad 2018; an- Nabhani Taqiyuddin 2001a, 2006, 2016; Hizbut Tahrir 1989, n.d.; Radhi Muhsin 2012; Zallum Abdul Qadim 1985).
Menurut HT, thalab an-nushrah adalah metode yang syar’i dalam mendirikan khilafah. Metode yang pernah dilakukan oleh Muhammad saw ketika mendirikan negara di Madinah. Menyimpang, apalagi meninggalkan metode ini, merupakan dosa. Bagi HT, metode ini sudah baku dan tak dapat diubah (thariqah), walaupun sampai saat ini HT belum berhasil mendirikan khilafah dengan metode tersebut (Abdurrahman Hafidz 2017; Ahmad 2011; Hawari Muhammad 2010; Khalid Abdurrahman Muhammad 2015; Qal’ahji Muhammad Rawwas 2020).
Penelitian paling awal tentang HT terkait dengan kekerasan dan terorisme dilakukan oleh Zeyno Baran yang dipublikasi dalam bentuk laporan penelitian dengan judul Hizb ut- Tahrir: Islam’s Political Insurgency (2004).
Zeyno menyimpulkan bahwa Hizbut Tahrir menjadi conveyor belt (karet pengantar) bagi terorisme. Penelitian ini mengambil data dari pergerakan Hizbut Tahrir di Asia Tengah (Baran Zeyno 2004). Hizbut Tahrir Indonesia membuat artikel khusus untuk mengkritik, menyanggah dan membantah hasil dari penelitian Zeyno Baran yang dimuat pada majalah al-Wa’ie edisi Desember 2009 dengan tajuk Hizbut Tahrir Teroris? HTI mengatakan mereka berdakwah tanpa kekerasan, bukan kelompok teroris (HTI 2009). Akan tetapi artikel jurnal yang berjudul Relation Between Hizb ut Tahrir and Terror Group yang ditulis oleh Zopfan Aseanata Bayudhita pada tahun 2020, mengungkap adanya hubungan antara HTI dengan kelompok teror (Bayudhita 2020).
Untuk kasus Indonesia, upaya penggalangan militer yang dilakukan oleh HTI dibahas secara umum pada buku Hizbut Tahrir Indonesia and Political Islam: Identity, Ideology, and Religio-Political Mobilization, karya Mohamed Nawab Mohamed Otsman. (Nawab Mohamed Mohamed Otsman 2018). Sedangkan Fathoni Riza (2022) dari Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) membuat penelitian yang berjudul Model Pemolisian Kebangsaan Terhadap Revivalisasi Transnasionalisme HTI Sebagai Ancaman Keamanan Asimetris (Studi Kasus Kota Bogor, Indonesia – Islamabad, Pakistan).
Artikel ini secara spesifik mengungkap hubungan antara HTI dan TNI dalam perspektif sosiologi. Jenis penelitiannya adalah penelitian kualitatif berdasarkan wawancara, observasi, studi literatur, media daring, media sosial dan dokumen pribadi milik penulis utama. Penulis utama adalah seorang pengurus HTI periode 2004 – 2010. Penelitian kualitatif dianggap dapat mengungkap realitas serta dinamika sosial secara lebih rinci dan holistik dibandingkan penelitian kuantitatif karena realitas sosial sangat kompleks dan dinamis, yang apabila dikuantisir, akan mereduksi fakta dan realitas sosial yang pada akhirnya menghilangkan makna yang ingin diperoleh dari suatu penelitian sosial (Bungin Burhan 2001).
Bagaimana implementasi doktrin HT tentang peralihan kekuasaan melalui jalan militer dijelaskan berdasarkan jejak-jejak interaksi dan relasi yang terjadi antara HTI dan TNI.
Data-data utama dalam penelitian ini diambil dari jejak-jejak digital hubungan HTI dan TNI, yang terdapat pada website resmi TNI, akun-akun media sosial resmi TNI website duplikat dari website duplikat dari website resmi HTI, website-website yang berafiliasi dengan HTI, website media berita utama, dan akun-akun media sosial yang berafiliasi dengan HTI, Penulis menggunakan website duplikat dari website resmi HTI, mengingat website resmi HTI telah diblokir oleh Kementerian Informasi dan Komunikasi pada tahun 2017.
Tinjauan Teori
Hubungan yang dimaksud dalam penelitian ini berdimensi sosiologis yaitu hubungan yang dipandang sebagai fakta sosial menurut perspektif Emile Durkheim (Irawan 2016), yakni hubungan secara terbuka, guna menepis anggapan hubungan konspiratif yang bersifat rahasia dan berkonotasi negatif (jahat dan makar). Hubungan dalam pengertian konspirasi tidak dapat digunakan karena sulit dibuktikan secara empirik, yang memberi peluang bagi berkembangnya opini liar yang berbasis pada isu dan rumor, sehingga tidak bernilai ilmiah. Secara umum, aktivis HTI dan prajurit TNI dipandang sebagai individu anggota masyarakat.
Interaksi yang terjadi antar keduanya yaitu antar individu, antar individu dengan lembaga dan antar lembaga yang pada dasarnya bertujuan untuk membentuk tertib sosial. Prajurit TNI berasal dari rakyat dan setelah pensiun menjadi purnawirawan kembali menjadi rakyat sipil biasa yang telah mengalami demiliterisasi, dalam bentuk pemberhentian dari dinas militer, keluar dari struktur organisasi militer dan penarikan senjata api. Meskipun demikian, purnawirawan TNI masih mempunyai jiwa, ilmupengetahuan, pengalaman, informasi dan jejaring kemiliteran kultural.
Dalam pandangan HT, masyarakat merupakan jalan, jembatan dan media menuju kekuasaan. HT mendefinisikan masyarakat sebagai kumpulan individu yang melakukan interaksi terus menerus dalam satu pemikiran, perasaan dan sistem yang sama. Pemikiran, perasaan dan sistem yang sama merujuk kepada satu ideologi tertentu; Islamisme, kapitalisme dan sosialisme. Jika kumpulan individu melakukan interaksi terus menerus berdasarkan pemikiran, perasaan dan sistem islamisme, maka masyarakat tersebut dinamakan masyarakat islam. Demikian pula halnya dengan masyarakat kapitalisme dan sosialisme (an-Nabhani Taqiyuddin 2016:7-8, Abdurrahman Yahya 2017). HT meyakini mereka adalah kelompok yang mengemban ideologi Islam (an-Nabhani Taqiyuddin 2001b:81).
Eksistensi pemerintah dan negara akibat dari adanya hubungan, keterikatan dan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Oleh karena itu, hubungan, keterikatan dan kepercayaan harus diputus dengan cara diserang terus menerus. Semua anggota masyarakat, apapun profesi dan jabatannya, sipil dan militer, dipandang sama. Hubungan, keterikatan dan kepercayaan mereka dengan pemerintah hendak diputus melalui agitasi dan propaganda berbentuk aksi, kegiatan dan narasi-narasi yang disebarkan melalui media- media yang mereka miliki dan media lain yang bisa mereka masuki (an-Nabhani Taqiyuddin 2016; Hawari Muhammad 2010).
Dengan demikian, HT menjadikan proses sosial sebagai metode guna meraih tujuan politik, yakni meraih kekuasaan pemerintahan di suatu negara. Karena itu, pendekatan ilmu Sosiologi Politik dalam konteks multidisipliner pada kajian terorisme, sangat relevan. Sosiologi Politik merupakan cabang dari ilmu Sosiologi yang membahas interaksi individu, kelompok, dan lembaga politik sebagai realitas dinamis dalam lingkaran kekuasaan, pemerintahan dan negara. (Maurice 2014; Soesillo S Arief 2019).
Temuan dan Analisis
Dari fase-fase pergerakan HT, thalab an-nushrah (mencari pertolongan) bagian terakhir dari fase tafa’ul ma’al ummah (berinteraksi dengan umat/masyarakat). Keberhasilan thalab an- nushrah menjadi penentu bagi HT guna memasuki fase ketiga, istilam al-hukm (penyerahan, penerimaan kekuasaan) yang menjadi tonggak berdirinya khilafah (an-Nabhani Taqiyuddin 2001a, 2016).
Thalab al-nushrah merupakan konsep orisinal yang ditemukan oleh Taqiyuddin an- Nabhani. (M. Imdadun Rahmat 2021). Secara harfiah, thalab an-nushrah terdiri dari dua kata bahasa Arab, thalabun yang berarti menuntut, meminta, mencari dan al-nushratu yang artinya pertolongan. Hizbut Tahrir Inggris menerjemahkan thalab an-nushrah ke dalam bahasa Inggris menjadi seeking the nushrah (Hizbut Tahrir Britain 1999:38). Mirip dengan istilah thalab al-ilmi (menuntut ilmu) yang popular di masyarakat. Secara istilah, thalab an- nushrah adalah aktivitas HT mencari, meminta dan menuntut pertolongan kepada pihak- pihak yang mempunyai kekuatan riil di suatu negara (ahlu quwwah), guna melindungi aktivis dan aktivitas HT dan menjadi jalan bagi HT guna meraih kekuasaan (Hizbut Tahrir 1989; Radhi Muhsin 2012; Zallum Abdul Qadim 1985).
Ahlu quwwah yang dimaksud adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan sebagai pemilik kekuasaan. Dari mereka diharapkan nushrah dalam arti kekuasaan (al- hukm) diterima, langsung dari tangan pertama. Namun apabila tidak mendapat akses langsung ke Kepala Negara dan Pemerintahan, maka, nushrah diupayakan melalui tangan kedua yakni para perwira militer yang punya akses langsung ke Kepala Negara dan Pemerintahan. Para perwira militer mengambil dulu kekuasaan dari tangan Kepala Negara dan Pemerintahan, lalu menyerahkannya kepada HT. Memberi nushrah kepada HT, maknanya memberi kekuasaan pemerintahan kepada HT, dalam hal ini direpresentasikan oleh Amir HT. Ahlu quwwah yang telah melakukan interaksi yang intensif dengan HT, dan bersedia memberikan nushrah, dinamakan ahlu nushrah. (’Atha bin Khalil Abu Rasytah 2014; Hizbut Tahrir 1989; Radhi Muhsin 2012). Puncak dari aktivitas thalab an-nushrah adalah serah terima kekuasaan yang diambil oleh ahlu nushrah dari pemerintah sebelumnya, kepada HT, lalu HT meminta kepada masyarakat agar mem-bai’at Amir HT menjadi khalifah. (Abdurrahman Hafidz 2012). Meminta di sini bermakna menuntut dalam tekanan dari para perwira militer beserta pasukannya yang telah mengikuti ideologi HT.
Aktivitas thalab an-nushrah dilakukan oleh seorang sampai lima orang aktivis senior HT yang memenuhi syarat. Mereka adalah anggota HT yang jarang muncul di publik, bahkan tidak begitu dikenal di kalangan aktivis HT sendiri. Mereka terdiri dari satu grup kecil yang disebut dengan nama Lajnah Thalab an-Nushrah. Mereka dipilih dan diangkat langsung oleh Amir HT. Aktivitas mereka di bawah komando Amir HT (Maktab HTI 2010).
HTI merupakan bagian dari organisasi Hizbut Tahrir internasional. HTI dengan Hizbut Tahrir internasional adalah satu kesatuan entitas, satu pemimpin yaitu Amir Hizbut Tahrir, satu ideologi, yaitu ideologi Hizbut Tahrir yang tertulis di dalam kitab-kitab pembinaan kader (halaqah) dan selebaran-selebaran (nasyrah), satu Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), yaitu Qanun dan Milaf Idari, dan satu tujuan yaitu mendirikan khilafah di bawah kepemimpinan khalifah yang berasal dari kader terbaik Hizbut Tahrir, yakni Amir Hizbut Tahrir sendiri, yang menerapkan konstitusi (dustur) atau Undang-undang Dasar (UUD) yang telah disusun oleh Amir Hizbut Tahrir. Hizbut Tahrir memegang teguh doktrin kullun fikriyun syu’uriyun (semua aktivis dan aktivitas HT adalah satu pemikiran dan perasaan) (Hizbut Tahrir 1995, 2001).
Oleh karena itu, maka, thalab an-nushrah merupakan metode yang diadopsi, direalisasi dan dieksekusi oleh Hizbut Tahrir di wilayah manapun mereka berada. Sejak kelahirannya di Yerusalem yang pada saat itu masuk wilayah Yordania, HT adalah organisasi ilegal. HT pertama kali mengajukan surat permohonan kepada Departemen Dalam Negeri Yordania pada tanggal 17 November 1952. Namun, pemerintah Yordania menolak permohonan tersebut, dan mengeluarkan maklumat yang menyatakan HT adalah organisasi terlarang pada tanggal 22 Maret 1953. (Radhi Muhsin 2012:98-100). HT tidak peduli dengan larangan pemerintah. Mereka tetap dan terus melakukan aktivitas rekrutmen, kaderisasi, menggalang opini dan massa (Radhi Muhsin 2012:123-129).
HT Yordania mulai intensif menjalin hubungan dengan militer dalam rangka thalab an-nushrah tahun 1966-1969, namun gagal. Anggota HT yang berhubungan dengan militer, ditangkap, lalu didakwa melakukan makar mau menggulingkan pemerintahan, mengubah konstitusi dan terlibat dalam organisasi terlarang, yakni Hizbut Tahrir.
Empat belas orang divonis hukuman mati. Selainnya mendapat hukuman 15 tahun penjara. (Radhi Muhsin 2012:130). Peristiwa ini diumumkan secara resmi oleh HT. (Za’rur 2016:210). Pada tahun 1993, HT kembali mengulangi thalab an-nushrah yang berhasil digagalkan oleh pemerintah. Pemerintah Yordania menuduh HT berupaya membunuh Raja Hussein. Peristiwa ini dikenal dengan Problem Universitas Mu’tah. Kemudian pemerintah melakukan penangkapan terhadap aktivis HT (Za’rur 2016:219).
Di Irak, HT dibawa oleh beberapa mahasiswa orang anggota HT pada tahun 1952- 1953. Pada tahun 1954, mereka mengajukan surat izin terdaftar di Departemen Dalam Negeri, akan tetapi ditolak, karena kegiatan HT bertentangan dengan konstitusi negara. Kenyataan ini tidak membuat pergerakan mereka kendur (Radhi Muhsin 2012:133). Pada tahun 1965-1967, HT banyak melakukan hubungan dengan militer Irak. Salah satunya adalah Basyir ath-Thalib, seorang Komandan Garda Republik. Namun, rencana pengambilan kekuasaan HT melalui Basyir ath-Thalib gagal, karena didahului oleh kudeta yang dilakukan oleh Garda Nasional. HT terus menjalin hubungan dengan militer Irak, di antaranya, Ibrahim Dawud dan Sa’dun Ghaidan. Dua orang ini menguasai pasukan tempur Irak. Pasukan Garda Republik berada di pihaknya yang menjadi satu satunya pelaksana operasi militer yang komandonya dari Baghdad. Hubungan dengan HT putus di tengah jalan, karena peristiwa kudeta silih berganti di Irak (Radhi Muhsin 2012:139-142).
Selama tahun 1979 – 1983, HT di Irak menjalin hubungan dengan militer. Beberapa perwira militer menerima ajakan HT untuk mendirikan khilafah, seperti Jenderal Salim Husein dan Brigjen. Hasyim Yunus. Lagi-lagi, upaya HT kembali gagal, setelah seorang dokter purnawirawan melaporkan perihal HT ke Presiden Saddam Husein. Lalu, Presiden Saddam Husein melakukan operasi penangkapan terhadap aktivis HT dan beberapa perwira yang mendukung HT (Radhi Muhsin 2012:143).
Di Tunisia, HT memulai aktivitasnya pada tahun 1983. Ada beberapa perwira militer aktif yang tergabung di dalamnya. Mereka ditangkap dan dipenjara atas tuduhan terlibat organisasi terlarang (Radhi Muhsin 2012:160).
Sedangkan di Pakistan, HT memulai kegiatannya pada pertengahan tahun 1990-an. Pada tahun 2004, pemerintah secara resmi melarang organisasi HT. Pada hari Rabu (7/3/2012) Pakistan Today menurunkan laporan, Brigjen Ali Khan dari Angkatan Darat diseret ke pengadilan militer atas tuduhan merencanakan kudeta untuk mendirikan khilafah di Pakistan. Menurut kesaksian Mayjen Amir Riaz di pengadilan, Brigjen Ali Khan telah bertemu dengan petinggi HT di Palestina. Brigjen Ali Khan telah berhasil mendapat dukungan dari sejumlah perwira Angkatan Udara setelah menjalin hubungan dengan Hizbut Tahrir (Arrahmah 2012). Bersamaan dengan pengadilan Brigjen Ali Khan, juga diadili empat orang perwira menengah berpangkat Mayor (Islamemo 2012).
Setahun sebelum terjadi kudeta militer di Sudan pada hari Senin, 25 Oktober 2021, (Pradita 2021) Abdul Fattah Al-Burhan yang menjabat sebagai Presiden Dewan Keamanan Sudan saat wawancara dengan stasiun televisi Sudan 25 April 2020 mengatakan, ada partai politik yang telah membentuk sel-sel di tubuh militer. Partai tersebut berusaha menjalin komunikasi dengan beberapa prajurit di militer. Menurutnya, ada peran partai politik di semua kudeta yang terjadi. Bukan dilakukan oleh militer sendiri (Hizbut Tahrir Sudan 2020). Ada pihak-pihak yang ingin menabur perselisihan di angkatan bersenjata (Ibrahim Utsman 2021).
Disinyalir Hizbut Tahrir-lah partai politik yang dimaksud. Hal ini tampak dari pernyataan normatif Juru Bicara Hizbut Tahrir Sudan tentang khilafah dan penegakan hukum-hukum Allah swt, guna memalingkan perhatian dan mengaburkan dari persoalan sebenarnya. Seolah-olah mau menghapus jejak Hizbut Tahrir di militer Sudan (Media al- Wa’ie 2020).
Media menilai apa yang dilakukan oleh HT tergolong gerakan pemberontakan, makar dan kudeta mau menggulingkan pemerintah yang sah melalui tangan militer yang mereka pengaruhi, rekrut dan bina. Daftar panjang upaya kudeta HT direkam media berita daring seperti kumparan.com. (Kumparan 2017). Dari data-data kudeta yang dilakukan HT, upaya kudeta dilakukan setelah mereka menjadi organisasi terlarang. Ini yang menjadi indikasi kuat bahwa HT tetap dan terus bergerak meski sudah dilarang oleh pemerintah. Mereka bergerak secara rahasia, senyap, dan klandestein.
Apa yang dilakukan oleh HT di luar negeri, juga dilakukan oleh HTI, sebab, HT merupakan sebuah partai internasional yang diikat berdasarkan kesatuan pemikiran, perasaan dan kepemimpinan yang dikenal dengan ungkapan kullun fikriyun syu’uriyun. (Hizbut Tahrir 2001). Selain itu, HT memegang teguh prinsip taat dan tsiqah kepada pimpinan (qiyadah) (Hizbut Tahrir n.d.). Kepemimpinan HT bersifat tunggal di setiap jenjang kepengurusan (internasional, nasional dan lokal) (Hizbut Tahrir 1995). HT mempunyai konsep tabanni, yaitu mengadopsi suatu ide, pemikiran, hukum, fiqih analisis politik dan aturan administrasi keorganisasian. Setiap aktivis HT di seluruh dunia, wajib mengadopsi (tabanni), apa saja yang di-tabanni oleh HT, tanpa melihat benar atau salah, jelas atau buram, paham atau tidak paham dan sedkit atau banyak (Hizbut Tahrir n.d.). Thalab al-nushrah merupakan pemikiran yang di-tabanni oleh HT. Oleh karena itu, menjalin hubungan dengan militer di Indonesia adalah sebuah keharusan, kewajiban dan keniscayaan bagi HTI.
Rencana HTI ingin menjalin hubungan dengan militer telah tercantum dalam Blue Print Dakwah HTI 2004. Di dalam dokumen tersebut tertera target jumlah rekrutmen perwira tinggi dan menengah TNI-Polri (Maktab HTI 2004). HTI mulai serius menggarap militer dengan dibentuknya Lajnah Thalab an-Nushrah pada bulan Muharram 1431 H/Januari 2010 atas arahan dan perintah langsung Amir HT.
Hubungan HTI dan TNI terjadi selama kurun waktu kedatangan Abdurrahman al- Baghdadi di awal tahun 1980 sampai sekarang dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Keberadaan Abdurrahman al-Baghdadi dan aktivitasnya telah diketahui oleh Kodim Kota Bogor, namun sekedar dimonitor, karena dianggap belum berbahaya (Gus Yasin, 2021).
Dalam hubungan antara HTI dan TNI, HTI yang mengambil inisiatif terlebih dahulu, karena HTI yang berkepentingan atas hubungan tersebut, terkait dengan tujuan politik mereka. Sedangkan TNI bersikap pasif dan normatif, karena TNI tidak punya kepentingan terhadap HTI, selain dari kewajibannya menjaga pertahanan dan keamanan negara, termasuk adanya indikasi ancaman dari dalam negeri. HTI dan TNI sama-sama institusi yang ideologis. Keduanya mempunyai budaya organisasi yang mirip, seperti kepemimpinan bersifat tunggal pada semua level, bersifat komando, menggunakan jalur komunikasi satu arah secara vertikal, bukan horizontal, dan menjunjung tinggi disiplin serta menjaga kerahasiaan organisasi. Jika TNI adalah organisasi militer, maka, organisasi HTI bersifat semi militer.
Kedua belah pihak mempunyai ideologi yang berlawanan, jika tidak dikatakan bermusuhan. HTI mengemban ideologi mereka yang mau diterapkan dalam bentuk negara khilafah di wilayah Indonesia, adapun TNI berideologi Pancasila dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Rekan-rekan HTI di Arab, Asia Tengah dan Asia Selatan punya pengalaman pahit ketika diberangus militer di sana karena terlibat kudeta menggulingkan pemerintah yang sah. Sedangkan TNI, punya pengalaman pahit menghadapi pemberontakan-pemberontakan di tanah air, yang puncaknya ketika G 30/S PKI, yang memakan korban enam jenderal TNI, selain prajurit-prajurit yang terlibat PKI. Kedua belah pihak sudah tahu sama tahu posisi masing-masing. Oleh sebab itu, hubungan dijalin dengan sangat hati-hati dan kewaspadaan tinggi.
Hubungan institusional antara HTI dan TNI, artinya hubungan antar organisasi, dari organisasi oleh organisasi dan kepada organisasi. Individu-individu yang terlibat di dalamnya, dalam kapasitas sebagai anggota dan pengurus organisasi.
HTI secara berkala melakukan kunjungan ke TNI dalam rangka menjalin hubungan baik, menjelaskan tentang HTI, menyampaikan sikap HTI terkait isu-isu tertentu, dan mengundang TNI menghadiri kegiatan HTI. Secara kronologis, kunjungan HTI ke TNI disajikan dalam tabel berikut:
Dari data di atas, semuanya menunjukkan bahwa HTI mengunjungi Angkatan Darat. Angkatan Laut dan Angkatan Udara tidak dikunjungi. Hal ini disebabkan karena pergerakan HTI mengikuti dan berdasarkan teritorial struktur organisasi mereka. Struktur teritorial Angkatan Darat sesuai dengan struktur HTI. Dengan demikian, pergerakan HTI belum sinkron dengan isi dokumen Blue Print Dakwah HTI 2004 yang juga menargetkan rekrutmen perwira Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
TNI menerima kunjungan HTI dengan elegan, formal, dan profesional, yang menunjukkan bahwa sebenarnya TNI sudah mengetahui apa dan bagaimana HTI. Sebagai organisasi kemasyarakatan yang bernuansa keagamaan dan terdaftar di pemerintahan, TNI menyambut kedatangan delegasi HTI sebagai tamu yang dihormati dengan ramah. Beberapa kunjungan dipublikasikan di website TNI, sampai sekarang tidak dihapus. Kunjungan HTI berguna untuk mengkonfirmasi langsung kebenaran informasi yang telah mereka ketahui sebelumnya melalui laporan-laporan intelijen TNI. Jadi, pertemuan HTI dan TNI sesungguhnya pertemuan dua institusi yang sudah saling tahu sama tahu. Yang menarik, TNI tidak pernah melakukan kunjungan balasan ke kantor HTI. Hal ini menunjukkan bahwa TNI tidak berkepentingan dengan HTI.
Meskipun demikian TNI beberapa kali menghadiri undangan kegiatan yang diadakan oleh HTI untuk menjadi narasumber dan atau menjadi tamu undangan (peserta) kegiatan seperti yang tertera dalam tabel berikut:
Hubungan HTI dan TNI pada realitasnya cenderung bersifat formalitas, sekedar “say hello”, yang tidak berlanjut sampai kepada tahap yang lebih serius. Di satu sisi HTI berusaha menyembunyikan jati diri mereka yang sebenarnya dan berusaha menutupi agenda praktis mereka, yang sebenarnya telah diketahui oleh TNI. Setidaknya di dalam draf dokumen nomor 07/2010 yang berjudul Menghidupkan Kembali Kekhalifahan di Nusantara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Strategi Mobilisasi dan Dampaknya Bagi Indonesia, yang bersampul Pusat Pengkajian Strategis Mabes TNI (Pusjianstra), disimpulkan bahwa HTI adalah organisasi radikal yang berbahaya, layak untuk dibubarkan. (Pusjianstra Mabes TNI 2010).
Dokumen tersebut beredar di internet, terlihat masih berbentuk draf yang belum ditandatangani oleh penulisnya a.n Kepala Pusat Pengkajian Strategis, Sekretaris Dr. A. Yani Antariksa, SH, SE, MM, Kolonel Laut (P) NRP 7981/P. Brigjen Benny Octaviar Kepala Pusjiantra Mabes TNI (2017), mengatakan, bahwa draf itu untuk internal TNI, tapi terlanjur keluar. Belum menjadi kajian resmi TNI. Menurut mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) Mabes TNI, Laksamana Muda (Purn) Soleman B Pontoh, memang benar TNI pernah ada kajian Pusjianstra tentang HTI (Coki 2017). Draf dokumen ini juga sampai ke kalanganHTI, menjadi bahan diskusi, kritik dan dibuat kontra narasinya (Sulaiman Naim 2012).
Dengan asumsi bahwa, inti dari isi draf tersebut tidak akan jauh berbeda dengan naskah resmi yang tidak beredar di publik, maka, dapat diperkirakan bahwa TNI berpendapat HTI organisasi berbahaya yang mengancam eksistensi NKRI dan ideologi Pancasila. HTI pun, menyadari apabila TNI beranggapan demikian. Ini yang melatarbelakangi HTI melakukan kunjungan intensif ke TNI, mengundang TNI menjadi narasumber dan atau mengundang pada kegiatan-kegiatan HTI lainnya, guna menjelaskan dan menunjukkan apa, siapa dan bagaimana HTI secara langsung, yaitu damai, santun, dan anti kekerasan.
Namun, HTI tidak pernah membantah tujuan mereka ingin mendirikan khilafah dihadapan TNI. Justru sebaliknya, HTI berulang kali mengajak dan menyeru TNI untuk mendukung pendirian khilafah. Hal ini memperkuat kebenaran isi kajian tentang HTI yang dibuat oleh Pusjianstra Mabes TNI pada tahun 2010. Waktu Danramil 04/Warureja memberikan materi tentang perkembangan radikalisme di Indonesia di Aula Makodim 0712/Tegal, tanggal 04/12/2015, dikatakan anggota Hizbut Tahrir dan disebut ingin cepat- cepat mendirikan negara Islam.
Singgih Saptadi Ketua HTI Kabupaten Semarang yang hadir mewakili HTI, pada sesi diskusi membantah pernyataan Danramil 04/Warureja (Penerangan Kodam IV Diponegoro 2015). Demikian juga saat kegiatan penyuluhan dan pembinaan ormas Se-Kabupaten Semarang oleh Dandim 0714/Salatiga di Kec Tuntang Kab Semarang, di Aula Rumah Makan Cikai Gading Tuntang, tanggal 28/02/2017, HTI disebut radikal (Penerangan Kodam IV Diponegoro, 2017).
Pandangan TNI terhadap HTI sudah jelas sejak 2010, akan tetapi TNI bersikap profesional, mengikuti kebijakan politik pemerintah yang melegalkan keberadaan dan kegiatan HTI, dengan mengeluarkan surat izin terdaftar (2006 -2017), sampai surat izin tersebut dicabut (2017).
Terkait relasi HTI dan TNI, maka, konsep hubungan sipil-militer yang disampaikan oleh Huntington dan Amos Perlmutter sangat relevan untuk dikemukakan. Menurut Huntington, harus ada batas kewenangan yang berdasarkan keahlian, antara sipil dan militer yang berimplikasi kepada munculnya ketegangan dan konflik alami yang akan melahirkan isu kontrol sipil terhadap militer. Kontrol sipil terlihat dari ketundukan militer terhadap otoritas sipil yang menjadi syarat utama negara demokratis.
Ada dua model kontrol sipil atas militer, yaitu kontrol sipil subjektif dan kontrol sipil objektif. Kontrol sipil subjektif mendudukan sipil dan militer pada posisi sejajar, tanpa batas dan kewenangan yang jelas. Hal ini memberi celah kepada militer untuk melakukan sesuatu di luar kewenangannya, terutama ke ranah politik. Sebagai respon atas keterlibatan militer di ranah politik, sipil akan memaksimalkan peran dan fungsinya yang berakibat kepada terjadi fragmentasi kekuatan sipil sampai terbentuk satu kekuatan sipil dominan. Kekuatan sipil dominan ini akan memanfaatkan militer bagi kepentingannya (kepentingan subjektif sipil). (Ringgi Y Hipolitus n.d.; Samuel P 1959).
Sebaliknya, kontrol sipil objektif menghendaki pembagian wewenang yang jelas dan tegas, antara sipil dan militer yang berdasarkan keahlian, sehingga tidak terjadi konflik di pemerintahan. Militer sepenuhnya menjadi militer yang profesional karena tidak terlibat ke dalam politik praktis. Negara-negara yang demokrasinya sudah maju, menerapkan kontrol sipil objektif sebagai instrumen penjaga keseimbangan antara sipil dan militer, di mana supremasi sipil dilakukan melalui otoritas sipil yang dipilih secara demokratis menempatkan militer sebagai penjaga keamanan dan ketahanan negara yang mengelola kekerasaan, bukan pelaku kekerasan. (Ringgi Y Hipolitus n.d.; Samuel P 1959).
Adapun Amor Perlmutter membahas tentang tipologi prajurit militer berdasarkan jenis-jenis orientasinya, yaitu:
- Prajurit profesional. Ciri-cirinya, mempunyai keahlian dalam manajemen kekerasan; Memiliki pertautan (pertanggungjawaban) kepada klien, masyarakat dan negara; Punya kesadaran kelompok dan birokrasi (korporatisme); Dan memegang teguh ideologi yang menjadi sumber semangat militer.
- Prajurit pretorian. Adalah prajurit yang turut serta ke dalam kegiatan politik. Semakin tinggi pangkat seorang prajurit, maka, semakin bernilai politis karena memungkinkannya untuk menggerakkan organisasi militer. Mereka prajurit petualang politik yang muncul di negara-negara konflik yang masih dari aspek ideologi dan ekonomi, serta dalam proses transisi.
- Prajurit revolusioner. Mereka alat revolusi yang digerakkan oleh partai politik ideologis, setelah sebelumnya mereka menjalani indoktrinasi politik yang diselenggarakan oleh partai. Mereka menghantarkan partai kepada kekuasaan tertinggi dan mengamankan kekuasaan partai sampai proses revolusi tuntas dengan sempurna (Cyr 2019; Perlmutter Amos 2000:14-24).
Interaksi antara aktivis HTI dengan prajurit TNI berpotensi mentransformasi prajurit TNI secara bertahap dari prajurit professional menjadi prajurit pretorian dan akhirnya menjadi prajurit revolusioner yang siap melakukan terorisme insurgensi sesuai arahan HTI. Dalam hubungan ini HTI berperan sebagai conveyor belt (penghantar terjadinya terorisme insurgensi) seperti yang diperankan oleh HT di negara-negara Arab dan Asia Tengah (Baran Zeyno 2004; Hasan 2017; Jung, Sinclair, and Denmark 2020).
Seorang prajurit pra dan pasca dinas militer adalah orang sipil. Oleh karena itu relasi HTI dengan purnawirawan TNI tidak dimasukkan dalam kajian ini karena, mereka sipil, yang apabila dimasukkan akan membentuk hubungan sipil dengan sipil, bukan sipil dengan militer.
Kesimpulan
Berdasarkan periodesasinya, hubungan institusional antara HTI dan TNI dibagi menjadi tiga periode:
Pertama, Pra legal (1985 – 2006), yaitu periode HTI belum terdaftar sebagai organisasi resmi di pemerintahan. Karena statusnya belum resmi, sulit bagi HTI untuk menjalin hubungan dengan TNI yang merupakan organisasi militer dengan disiplin tinggi yang menuntut hubungan yang bersifat legal formal. Meskipun demikian, pada tahun 2005 HTI pernah melakukan kegiatan membagi-bagikan selebaran kepada semua Bintara Pembina Desa (Babinsa), Komando Rayon Militer (Koramil), Komando Daerah Militer (Kodam), Komando Resor Militer (Korem) dan Komando Daerah Militer (Kodam) seluruh Indonesia. Selebaran tersebut berjudul Seruan Hizbut Tahrir Khususnya Kalangan Militer. Kegiatan ini adalah agenda HT internasional yang juga dilakukan di negara-negara lain (Radhi Muhsin 2012).
Kedua, Periode legal (2006 – 2017), yaitu periode HTI terdaftar di pemerintahan. Dengan status tersebut HTI dapat berhubungan dengan TNI secara legal formal, dalam bentuk audiensi atau kunjungan ke markas-markas TNI, mengundang TNI menjadi narasumber diskusi dan mengundang TNI menghadiri kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan HTI.
Ketiga, Periode ilegal (2017 – sekarang), yaitu periode pasca pencabutan badan hukum HTI oleh pemerintah. Pada periode ini secara legal formal HTI sudah dibubarkan, dan dianggap sudah tidak ada, oleh karena itu HTI tidak dapat menjalin hubungan dengan TNI. Akan tetapi, ada beberapa organisasi filantropi yang bergerak di bidang pendidikan dan sosial yang berafilisasi dengan HTI menjalin hubungan dengan TNI.
Bagi HTI menjalin hubungan dengan TNI adalah keharusan, kewajiban dan keniscayaan, karena TNI pemilik kekuatan riil (ahlu quwwah) yang memenuhi syarat-syarat untuk dimintai pertolongan (nushrah). HTI tidak akan berhenti, tidak mengenal lelah dan tidak akan menyerah dalam melakukan thalab an-nushrah sampai meraih kekuasaan, yang dengan kekuasaan itu mereka mendirikan khilafah. (Imam 2017). Tanpa berhubungan dan minta tolong kepada militer, bagi HTI tidak mungkin khilafah tegak.
Untuk maksud tersebut, HTI menggunakan semua cara dan pendekatan yang dapat mereka lakukan; Pendekatan keluarga, pertemanan dan institusional melalui lembaga dan komunitas sosial yang berafiliasi dengan HTI. Hubungan-hubungan ini tidak menuntut terjadikan kontak langsung secara fisik, sebab, hal tersebut agak sulit dilakukan karena kesibukan kedua belah pihak, tingkat sensitivitas yang tinggi dan bukan cara yang efektif dan efisien untuk zaman sekarang. Hubungan melalui media sosial dan media pesan yang paling masuk akal, aman dan efektif. Yang penting terjadi komunikasi, berbagi informasi, ide dan opini antara aktivis HTI dengan prajurit TNI.
Hubungan-hubungan tersebut sedikit banyak akan berpengaruh kepada kedua belah pihak. Tergantung siapa yang lebih kuat pengaruhnya. Jika HTI yang lebih kuat pengaruhnya, maka, hubungan tersebut akan menggiring sedikit demi sedikit, secara perlahan-lahan seorang prajurit TNI dari prajurit profesional menjadi prajurit pretorian dan puncaknya menjadi prajurit revolusioner di bawah kontrol HTI (sipil). Proses ini yang akan mengantarkan prajurit TNI atas arahan HTI menggunakan senjata dan peralatan tempur yang dikuasai untuk menegakkan khilafah. Dengan kata lain, puncak atau klimaks dari hubungan tersebut adalah terjadi aksi terorisme insurgensi. Potensi ancaman terorisme insurgensi telah menjadi perhatian dari TNI AD dalam Kajian Triwulanan IV tentang Kesiapan TNI AD dalam Menghadapi Ancaman Perang Asimetris. (Seskoad 2010).
Namun apabila yang terjadi sebaliknya, di mana pengaruh TNI lebih kuat, maka aktivis HTI secara perlahan sedikit demi sedikit akan melunak, melumer dan menghilangkan ideologi khilafah yang ada dalam diri mereka, lalu diganti dengan ideologi Pancasila.
Penulis: Ayik Heriansyah, Muhammad Syaroni Rofi’i, Muhammad Imdadun
Artikel dengan judul “Relasi Sosial Hizbut Tahrir dan Militer di Indonesia” telah publis di Jurnal Pemikiran Sosiologi UGM, Volume 9 Nomor 1 Tahun 2022 ISSN: 2252-570X (P) / 2502-2059 (O).