“Jalan ngisot sebagai bentuk perbudakan dalam pesantren.” (Trans7)
BONDOWOSO | LIPUTAN9NEWS
Selama belasan tahun saya nyantri di al-Utsmani budaya jalan jongkok tidak ada. Justru malah almarhum KH. Abdul Hamid Utsman pengasuh kedua pondok pesantren al-Utsmani marah besar manakala melihat santri santrinya jalan jongkok, karena beliau low profile sosok kyai yang tidak gila hormat.
Suatu ketika, saya diajak beliau belanja kebutuhan rumah tangga di pasar Pagungan Pujer menggunakan sepeda jadul warna merah tua. Sebagai seorang santri, saya jalan jongkok pelan sekali, tiba tiba beliau berkata:
“Saeful, jalan yang tegap tidak usah jalan jongkok, ini pasar bukan pesantren. Kamu harus bersikap sopan kepada siapapun termasuk gurumu, tapi yang wajar tidak berlebihan.” Dawuhnya seperti agak marah melihat saya jalan jongkok.
Sejak itu, saya tidak lagi jalan jongkok kepada siapapun termasuk ulama besar sekalipun karena didikan almarhum KH. Abdul Hamid Utsman. Tidak jarang, saya dialog dengan ulama al-Azhar Mesir, Sudan, Libya, Suriah, Maroko, Saudi Arabia, Yaman, Iran, dan ulama timur tengah lainnya baik di Pascasarjana UNIB Sukorejo maupun Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, karena didikan beliau.
Tradisi sopan santun jalan jongkok memiliki makna mendalam sejak zaman Raden Dewi Sartika. Dalam video lawas tahun 1912, aktivitas di Sakola Kautamaan Istri Bandung memperlihatkan para siswi berjalan jongkok di hadapan guru sebagai bentuk penghormatan dan adab. Tradisi ini menunjukkan bahwa pendidikan karakter dan etika sudah diajarkan kepada perempuan Indonesia jauh sebelum kemerdekaan.
Pada masa itu, Sakola Kautamaan Istri menjadi sekolah perempuan pertama yang mendidik murid agar cerdas, terampil, sekaligus beradab. Mereka tidak hanya belajar menjahit, mencuci, dan memasak, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kesopanan yang menjadi dasar pembentukan kepribadian luhur.
Raden Dewi Sartika menanamkan prinsip bahwa ilmu tanpa adab tidak akan membawa manfaat. Karena itu, jalan jongkok di hadapan guru bukan sekadar gerakan fisik, tetapi simbol penghormatan terhadap sumber ilmu.
Makna Filosofis Sopan Santun Jalan Jongkok. Sikap jalan jongkok mencerminkan rasa rendah hati, tawadhu’, dan kesadaran akan posisi diri di hadapan orang berilmu bukan budak seperti yang dituduhkan Trans7 beberapa waktu yang lalu.
Gerakan itu melatih kesabaran dan ketulusan dalam menghormati guru. Dalam budaya Sunda maupun tradisi pesantren, sopan santun seperti ini menunjukkan keseimbangan antara ilmu dan adab. Jalan jongkok juga menegaskan bahwa kesopanan bukan sekadar formalitas, melainkan cermin jiwa yang terdidik.
Seseorang yang mampu merendahkan diri di hadapan gurunya akan mudah menerima ilmu dengan hati yang bersih. Nilai inilah yang kemudian menjadi warisan budaya yang masih dijaga hingga kini. Pesantren
Tradisi jalan jongkok tidak hilang meski zaman terus berubah. Di banyak pesantren, santri masih menerapkan sikap serupa sebagai bentuk tawadhu’ kepada kyai.
Saat melintas di depan guru, santri menundukkan tubuh atau berjalan dengan langkah pelan sambil menunduk. Semua dilakukan dengan niat menghormati sang pengajar. Dalam pandangan kiai, adab lebih utama daripada kecerdasan. Karena itu, pesantren menekankan pentingnya sopan santun dalam setiap interaksi.
Jalan jongkok menjadi bagian kecil dari pelatihan jiwa santri agar selalu rendah hati, menghormati ilmu, dan menempatkan guru pada posisi mulia. Kebiasaan ini bukan paksaan, melainkan wujud cinta dan penghargaan. Santri memahami bahwa guru bukan hanya penyampai ilmu, tetapi juga pembimbing spiritual.
Maka, tradisi sopan santun jalan jongkok menjadi simbol ketundukan hati yang tulus menjadi simbol ketundukan hati yang tulus.
Belakangan, sebuah tayangan televisi nasional Trans7 sempat viral karena menampilkan adegan yang menyinggung sopan santun dalam pendidikan.
Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa nilai adab tetap penting untuk ditanamkan sejak dini. Tradisi jalan jongkok di Sakola Kautamaan Istri maupun pesantren menjadi contoh nyata bagaimana kesopanan dapat diwariskan dan relevan dalam konteks modern.
Sekolah modern dan keluarga dapat meneladani cara Raden Dewi Sartika membangun karakter muridnya. Ia memadukan ilmu praktis dengan adab.
Begitu juga dengan pesantren yang menjaga nilai sopan santun sebagai ruh pendidikan Islam. Meneladani tradisi ini berarti menjaga warisan luhur bangsa. Jalan jongkok bukan sekadar simbol masa lalu, melainkan cermin nilai-nilai luhur yang tetap relevan hingga kini.
Kautamaan Istri pada tahun 1912 maupun di pesantren masa kini, makna sopan santun jalan jongkok tetap sama: menghormati guru dan menjunjung tinggi adab. Tradisi ini menegaskan bahwa karakter mulia lahir dari kebiasaan sederhana yang dilakukan dengan hati tulus.
Ketika generasi muda memahami makna di balik sopan santun, mereka tidak hanya menjadi cerdas, tetapi juga beradab. Itulah pesan abadi yang diwariskan Raden Dewi Sartika dan para kiai di pesantren hingga kini.
Menurut kitab Ta’lim Muta’allim karya Syekh Az-Zarnuji, jalan jongkok tidak disebutkan secara eksplisit sebagai sebuah adab. Namun, praktik ini adalah manifestasi dari prinsip dasar dalam kitab tersebut, yaitu ta’dzim (memuliakan) ilmu dan ahli ilmu (guru).
Intinya, jalan jongkok adalah bentuk konkret dari upaya para santri dan penuntut ilmu untuk mengimplementasikan ajaran ta’dzim yang mendalam, bukan sekadar gerakan fisik.
Kitab Ta’lim Muta’allim menekankan pentingnya menghormati guru sebagai salah satu kunci utama keberkahan ilmu. Beberapa adab yang dianjurkan antara lain:
Tidak berjalan di depan guru. Kecuali atas perintahnya, murid tidak boleh berjalan mendahului gurunya.
Tidak duduk di tempat duduknya. Seorang murid harus menghindari duduk di kursi atau tempat khusus guru.
Merendahkan diri di hadapan guru. Ini mencerminkan sikap tawadhu’ (rendah hati) yang diwajibkan bagi seorang penuntut ilmu.
Berbicara dengan sopan. Murid hendaknya tidak banyak berbicara atau meninggikan suara di depan guru. Jalan jongkok sebagai wujud nyata ta’dzim
Dalam konteks pesantren, jalan jongkok adalah praktik yang dikembangkan dari adab-adab yang diajarkan dalam kitab
Gerakan membungkuk atau merendahkan diri saat melintasi guru adalah cara untuk menunjukkan penghormatan dan rasa rendah hati. Dengan jalan jongkok, seorang murid memastikan posisinya lebih rendah daripada guru, sehingga tidak melanggar adab untuk tidak berjalan di depan atau lebih tinggi dari guru.
Sikap ini menegaskan bahwa guru adalah sosok yang sangat dihormati dan memiliki kedudukan yang tinggi dalam pandangan muridnya.
Jadi, meskipun tidak disebut secara langsung, jalan jongkok adalah perwujudan dari nilai-nilai ta’dzim dan penghormatan kepada guru yang diajarkan dalam kitab Ta’lim Muta’allim.
Salam akal sehat, Bondowoso, 19 Oktober 2025
Dr. KHM. Saeful Kurniawan, MA, Penulis
























