Jakarta, LIPUTAN 9
Kesadaran nasional atau kesadaraan kebangsaan Indonesia pada mulanya disemai melalui wacana dan tulisan oleh kaum pribumi terdidik semisal oleh Ki Hajar Dewantara dengan tulisannya yang bertajuk ‘Misalkan Aku Seorang Belanda’ atau oleh Mas Marco Kartodikromo dengan artikelnya yang bertajuk ‘Sama Rata Sama Rasa’, hingga tokoh Sarekat Islam yang dicap kiri itu pun dipenjara dan dibuang Belanda ke Digul. Mas Marco memang tak secemerlang Multatuli di mata Pram hingga si penulis tetralogi (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) Pulau Buru itu menulis esai pujian atas Max Havelaar, yang disiarkan New York Times Edisi 18 April 1999, sebagai buku yang membunuh kolonialisme di Indonesia dan yang dianggapnya sebagai ‘penyulut’ kebangkitan dan kesadaran nasional Indonesia. Namun, sikap tak kenal kompromi Mas Marco Kartodikromo yang ia tuangkan lewat karya sastranya, seperti lewat novelnya berjudul Student Hidjo, selain lewat sikap dan pilihan politiknya itu terhadap praktik penindasan Belanda di Indonesia boleh dibilang sebagai contoh bahwa kesadaran nasional atau kesadaran kebangsaan Indonesia pertama-tama disebarkan, diwacanakan dan ‘dipropagandakan’ melalui karya sastra dan tulisan.
Di masa-masa akhir abad kesembilan-belas atau awal abad kedua-puluh di Hindia Belanda itu, kaum pribumi terdidik, misalnya berkat kebijakan politik etis yang dicanangkan setelah jangka waktu 10 tahun terbitnya Max Havelaar (yang ditulis dan diterbitkan di Eropa), ‘mewacanakan’ dan ‘menyebarkan’ kesadaran kebangsaan dan kesadaran nasional Indonesia tak semata-mata melalui kumpul-kumpul dan rapat-rapat di organisasi dan perhimpunan yang mereka bentuk, tapi juga terlebih-lebih melalui tulisan secara massif, tak sedikit melalui karya sastra semisal yang dilakukan Mas Marco Kartodikromo. Bahkan kelahiran kesadaran seperti itu turut juga membidani gerakan-gerakan sastra yang kontra terhadap Balai Pustaka yang dinilai sebagai perpanjangan kepentingan Belanda yang memang dimaksudkan untuk membungkam sikap kritis dan perlawanan para penulis pribumi terhadap praktik kolonialisme Belanda. Didirikannya Balai Pustaka, demikian menurut para penulis yang kontra BP, tak lebih sebagai cermin ketakutan kolonialis Belanda akan lahirnya perlawanan melalui tulisan dan bacaan yang tersebar luas, hingga membuat “Sang Kolonial” merasa perlu menertibkan bacaan rakyat dengan menciptakan Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur atau Komisi Bacaan Rakyat yang kemudian sampai hari ini dikenal sebagai Balai Pustaka (BP).
Dalam esainya yang bertajuk Max Havelaar: Buku yang Membunuh Kolonialisme itu, Pram menyatakan: “Publikasi Max Havelaar pada tahun 1859 mengguncang. Sama seperti Uncle’s Tom Cabin memberi amunisi untuk gerakan abolisionis Amerika, Max Havelaar menjadi senjata untuk gerakan liberal yang berkembang di Belanda, yang berjuang untuk mewujudkan reformasi di Indonesia. Dibantu oleh Max Havelaar, gerakan liberal mampu membuat malu dan mendesak Pemerintah Belanda menciptakan kebijakan baru yang dikenal sebagai kebijakan etis, dengan tujuan utama mempromosikan irigasi, migrasi antar pulau, dan pendidikan di Hindia Belanda.
Dampak dari reformasi adalah sederhana pada awalnya. Namun pada awal abad ke-20, sejumlah kecil orang Indonesia, terutama anak-anak dari penguasa tradisional, mulai merasakan pengaruhnya. Salah satunya adalah Agus Salim, laki-laki dengan rokok kretek, yang membaca Max Havelaar di sekolah terbukti terbangkitkan kesadarannya. Ia, bersama dengan orang-orang Indonesia lainnya yang mengenyam pendidikan Belanda, memupuk gerakan emansipasi dan kebebasan, yang akhirnya menyebabkan revolusi sepenuhnya di tahun 1940an.
Revolusi Indonesia tidak hanya melahirkan negara baru, tapi juga memicu panggilan untuk revolusi di Afrika, kemudian juga membangunkan lebih banyak bangsa terjajah di dunia, dan menandai akhir dari dominasi kolonial Eropa. Mungkin, bisa jadi, memang tak ada cara lain. Bagaimanapun, bukankah dunia dijajah Eropa karena Kepulauan Rempah Indonesia? Orang bisa mengatakan bahwa adalah takdir Indonesia untuk memulai proses dekolonisasi. Untuk Multatuli — Eduard Douwes Dekker, yang memicu proses ini, dunia ini berhutang besar.”
Bagi Pramoedya Ananta Toer sendiri, memang, Max Havelaar-nya Multatuli adalah inspirator besar kerja kepengarangannya sebagai penulis prosa terbesar Indonesia, selain terinspirasi penulis-penulis dari negara lainnya, semisal Maxim Gorky dari Rusia. Begitu pun tidak mengherankan, rasa dan semangat perlawanan pada karya-karya Pram begitu kental dan banyak orang menyebut Pram sebagai sastrawan perlawanan dan karya-karya sastranya dibaptis sebagai sastra perlawanan. Tidaklah mengherankan bila dalam esainya itu, Pram sangat menyanjung Max Havelaar. Tapi yang menarik adalah Pram pernah bekerja di Balai Pustaka (BP) sebuah lembaga yang menurut mereka yang kontra BP sebagai lembaga perpanjangan tangan kepentingan ‘kolonial Belanda’, meski ia akhirnya keluar dari lembaga tersebut. Dan setelah ia keluar dari Balai Pustaka, ia mendirikan Lembar Penyiaran Duta -sebuah agen pertama bagi penulis Indonesia di bidang seni, budaya, dan sastra, sebuah buletin yang meski memuat tulisan sejumlah penulis lain, tapi lebih sering mempublikasi tulisan-tulisan Pram sendiri.
Adapun perjumpaan Pram dengan karya-karya Maxim Gorky memang perjumpaan dalam kepahitan dan kepedihan Pram yang dilanda kemiskinan di mana ketika itu ia bercerai dengan istrinya yang pertama sebelum menikah dengan istrinya yang kedua. Perjumpaan itu pertama, adalah saat seorang kawannya menyarankannya untuk membaca karya Maxim Gorky yang berkisah tentang keluarga Artamonov dan yang kedua, adalah ketika Sekjen Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) A.S. Dharta pada 1958 memberinya pekerjaan (dalam rangka menolong kondisi ekonominya yang parah) untuk menerjemahkan karya Maxim Gorky yang lain berjudul Ibunda. Tentang Maxim Gorky ini pujian Pram bahkan lebih fantastis ketimbang pujiannya pada Max Havelaar: “Gorky ini benar-benar seorang dewa”.
Sebagai anak bangsa bernama Indonesia dan sebagai seorang penulis yang sangat produktif, Pram adalah contoh warga negara sekaligus seorang patriot yang kritis. Nasionalismenya adalah nasionalisme yang didasarkan pada pemahaman mendalam tentang posisi seorang warga negara yang sadar hak-haknya sekaligus membuktikan patriotismenya melalui karya sastra agar bangsanya menjadi lebih baik di masa depan. Novel-novelnya merupakan potret dan gambaran tentang Indonesia yang mencerahkan dan menyadarkan pembaca tentang arti penting kebebasan dan kemerdekaan warga negara dari upaya pengerangkengan dan penindasan dalam bentuk apa pun, termasuk penindasan dan pembungkaman yang dilakukan rezim politik. Menurutnya, sebagaimana dinyatakan langsung dalam sebuah wawancara: “Para penulis seharusnya punya tanggung jawab moral yang tinggi untuk bangsanya.” Ia seperti hendak menegaskan alasan dan posisinya sendiri sebagai pengarang ketika novel-novelnya memotret secara historis Indonesia dari zaman ke zaman, dari abad ke abad. Mulai dari abad ketiga-belas (Arok Dedes), abad keenam-belas (Arus Balik) hingga abad kesembilan-belas (Tetralogi Pulau Buru) sebagai cermin bagi pembaca di Indonesia untuk merenungi dan memahami dengan baik sejarah dan identitas bangsa mereka sendiri.
Bersamaan dengan itu, novel-novelnya, tepatnya melalui tokoh-tokoh dalam novelnya, Pram menyuarakan perlawanan terhadap kebodohan dan feodalisme yang terjadi dan dilakukan bangsanya sendiri, hingga menyuarakan kemerdekaan dan kesetaraan bagi perempuan, mengkritik laku ketidakadilan yang kerap dipraktikkan budaya patriarkhi yang feodal dan rezim yang menindas yang ia suarakan lewat novel-novelnya yang lain seperti Larasati, Gadis Pantai, Cerita Calon Arang, Panggil Aku Kartini Saja, dan Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer. Sejumlah novelnya itu menarasikan dan mengisahkan tentang perempuan dengan berbagai peran, karakter, serta posisinya di masyarakat dengan kondisi budaya dan situasi politiknya. Yang juga seringkali digambarkan novel-novelnya adalah benturan ragam budaya, kelas, dan ketidaksetaraan. Muatan tema dan isu serta cara Pram menggambarkan masyarakat dan tokoh-tokoh dalam sejumlah novelnya itu sesungguhnya mencerminkan pula pandangan khazanah dan kepercayaan filosofis dan ilmiah Pram yang marxist ketika melihat masyarakat dalam perspektif pertentangan atau konflik kelas, sebagaimana ia pun memandang bahwa pertentangan kelas dalam masyarakat itu tercermin jelas dalam laku feodalisme selama masa kolonialisme Belanda (seperti digambarkan dalam Tetralogi Buru: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) hingga setelahnya, yang bahkan feodalisme itu menurutnya sudah dipraktikkan sebelum hadirnya kolonialisme Belanda di Indonesia, terutama sekali Pram mengkritik feodalisme dalam tatatanan sosial budaya Jawa (seperti ia gambarkan dalam Arok Dedes dan Arus Balik).
Pertanyaannya adalah kenapa Pram mengkritik feodalisme? Jelas sekali bagi Pram bahwa feodalisme kerap melakukan ‘penindasan’ dan hukum besi hirarki feodalisme menurut Pram membuat manusia tidak bisa hidup dalam keterbukaan: membuat orang tidak bisa berpikir dan berbicara secara terbuka karena hukum besi hirarkinya yang menghilangkan kesetaraan manusia, bahkan orang harus mengamini hal yang tidak baik dari atasan atas-nama ketaatan dan kepatuhan. Perlawanan dalam karya-karya sastra prosa Pram adalah kritisisme dan perlawanan terhadap praktik politik dan budaya yang menurutnya menghambat kemajuan bangsa dan negara Indonesia, contohnya. Dalam kadar ini, karya-karya Pram sesungguhnya berusaha ‘mengimajinasikan Indonesia’ dengan sudut pandang dan pemahaman yang baru dan segar agar bangsanya menjadi lebih baik di masa depan, bukan malah sebaliknya. Dalam salah-satu Tetralogi Buru-nya, yaitu novel Bumi Manusia, contohnya, Pram mengkritik sekat-sekat yang akan menghalangi manusia menuju kebebasannya menentukan nasibnya dan masa depannya sendiri. Sebuah metafora yang dimaksudkan untuk menggambarkan ‘nasib Indonesia’ itu sendiri dalam sejarah.
Sebagaimana dapat kita baca dengan jelas, dalam Bumi Manusia itu, Minke (konon perwujudan tokoh nyata Tirto Adi Suryo) diperkenalkan sebagai anak Bupati yang cerdas yang bersekolah di HBS bersama anak-anak keturunan Eropa. Minke jatuh cinta pada seorang gadis yang juga cerdas bernama Annelies, putri dari Nyai Ontosoroh, seorang simpanan Belanda yang melawan stigma masyarakat lewat kecerdasan dan ketegarannya. Dan tentu saja, Cinta Minke dan Annelies harus berhadapan dengan kolonialisme ketika itu. Pribumi, yang dalam hal ini termasuk gundik Belanda (Nyai Ontosoroh), terasing di tanahnya sendiri, di negeri kelahirannya. Minke dan Nyai Ontosoroh memang melawan keadaan demikian, namun mereka akhirnya tetap kalah dengan hukum kolonial (feodalisme) yang berlaku kala itu, yang sayangnya terwarisi dan meninggalkan warisan. Belajar dari karya-karya prosa (novel-novelnya) Pramoedya Ananta Toer, kita bisa memahami bahwa perlawanan adalah kritisisme itu sendiri yang memungkinkan orang ‘berpikir maju’ dan menawarkan pemahaman serta jawaban yang lebih baik bagi kondisi dan keadaan kemanusiaan. Dan hal demikian adalah wujud kemerdekaan dan kesadaran.
Sulaiman Djaya, lahir di Serang, Banten. Menulis esai dan fiksi. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di Koran Tempo, Majalah Sastra Horison, Indo Pos, Pikiran Rakyat, Media Indonesia, Majalah TRUST, Majalah AND, Majalah Sastra Kandaga Kantor Bahasa Banten, Rakyat Sumbar, Majalah Sastra Pusat, Jurnal Sajak, Tabloid Kaibon, Radar Banten, Kabar Banten, Banten Raya, Tangsel Pos, Majalah Banten Muda, Tabloid Cikal, Tabloid Ruang Rekonstruksi, Harian Siantar, Change Magazine, Banten Pos, Banten News, basabasi.co, biem.co, buruan.co, Dakwah NU, Satelit News, Banten News, Tabloid Kaibon, simalaba, dan lain-lain. Buku puisi tunggalnya Mazmur Musim Sunyi diterbitkan oleh Kubah Budaya pada tahun 2013. Esai dan puisinya tergabung dalam beberapa Antologi, yakni Memasak Nasi Goreng Tanpa Nasi (Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013), Antologi Puisi Indonesia-Malaysia, Berjalan ke Utara (Antologi Puisi Mengenang Wan Anwar), Tuah Tara No Ate (Antologi Cerpen dan Puisi Temu Sastra IV di Ternate, Maluku Utara Tahun 2011), Sauk Seloko (Bunga Rampai Puisi Pertemuan Penyair Nusantara VI di Jambi Tahun 2012)), Kota, Kata, Kita: 44 Karya Para Pemenang Lomba Cipta Cerpen dan Puisi 2019, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta dan Yayasan Hari Puisi, Antologi Puisi ‘NUN’ Yayasan Hari Puisi Indonesia 2015, dan lain-lain.