Setiap kenyataan dan peristiwa tentulah akan senantiasa bersifat subjektif bagi setiap orang atau pengamat yang berbeda, bagi subjek yang berlainan saat mengalaminya. Begitu pula suatu “realitas alam” atau wajah semesta, tak selamanya memberikan dan menghadirkan keintiman dan suasana yang seragam ketika ia hadir dan datang kepada kita untuk yang pertama-kalinya atau untuk yang kesekian-kalinya.
Sebagai contoh, ketika saya berada di sebuah sore, ada capung-capung selepas hujan, juga riap sejumlah kupu-kupu yang adakalanya terbang dan adakalanya singgah di kelopak bunga. Getaran-getaran sayap mereka yang hampir tak terlihat seakan-akan mengajarkan kita tentang kegembiraan. Mereka membentuk gerakan-gerakan yang mirip gelombang-gelombang kecil, gelombang-gelombang yang meliuk di atas semak belukar, rumput-rumput, dan ilalang, di saat buih-buih masih berjatuhan dan beterbangan. Seakan-akan mereka asik bercanda dengan hembus angin dan lembab cuaca.
Sementara itu, di barisan pohon-pohon, masih terdengar kicau burung-burung yang merasa kedinginan, dingin yang meresap pada bulu-bulu mereka. Tentulah di saat-saat seperti itu matahari sudah enggan menampakkan diri. Di saat-saat seperti itu, sudut-sudut langit dan pematang-pematang sawah lebih mirip figur-figur bisu. Dalam cuaca seperti itu sebenarnya kita tak hanya dapat memandangi capung-capung yang yang dapatlah kita umpamakan sebagai para peri mungil, sesekali juga kupu-kupu atau belalang-belalang yang meloncat-loncat dan yang terbang.
Dan ketika saya menulis diari ini, saya tergoda untuk membayangkan getaran-getaran sayap-sayap mereka yang tipis itu adalah kiasan dari kematian yang menyamar sebagai keindahan dan kelembutan. Saya tergoda untuk mengandaikan mereka adalah maut yang bermain-main itu sendiri. Saya akan menyebut capung-capung itu sebagai peri-peri kecil yang tengah mencandai kematian, sosok kematian yang memang tidak terlihat oleh mata telanjang dan hanya bisa dipahami oleh keintiman bathin kita.
Ada dua dunia, atau orang kadang bilang realitas, yang saya akrabi: alam keseharian dan dunia teks (buku, jurnal, majalah, koran, atau tulisan-tulisan di media-media daring). Dari alam saya belajar bahasa dan metafora, dan dari dunia teks (tulisan) saya belajar menyusun narasinya dari ragam penulis melalui karya-karya mereka yang saya baca.
Keakraban saya dengan alam keseharian tentu sudah sejak saya kanak-kanak, karena saya lahir dan besar di pedesaan. Akrab dengan permainan di pematang-pematang sawah, seperti berburu belalang dengan teman-teman saya ketika masih bersekolah di Sekolah Dasar (SD). Kehidupan keseharian saya sebagai orang desa itulah yang kemudian membuat saya sesekali memandangi keindahan langit senja dari sebuah gubuk di mana saya berada, ketika saya ditugaskan untuk menunggui padi-padi yang mulai menua dan mengunig agar tidak dimakan para burung.
Saya sedang bicara tentang alam keseharian saya di masa saya masih kanak-kanak dan remaja, ketika industri belum hadir di dekat gugusan pematang-pematang sawah di belakang rumah. Ketika listrik dan internet belum hadir. Ketika keheningan malam begitu agung, dan kami hanya mampu menerangi rumah-rumah kami dengan lampu minyak yang disebut damar.
Kenapa saya katakan alam adalah metafora dan bahasa? Tak lain karena ia pada saat bersamaan adalah sekian gambaran kehidupan sekaligus kematian, hidup dan maut. Bagaimana udara yang tak terlihat memainkan ilalang dan dedaunan, kadangkala saya anggap sebagai wujud kematian yang sedang memberi pelajaran kepada saya bahwa usia tak dapat kita duga. Bagaimana air yang memantulkan citra langit saya anggap sebagai sumber keberkahan dan kehidupan sekaligus teka-teki takdir.
Terkadang saya berusaha menebak-nebak keberadaan Tuhan ketika saya merenungi alam keseharian itu. Tapi memang Tuhan yang saya bayangkan adalah Tuhan yang tanpa wujud, sesuatu yang ketika saya membayangkan dan mengangankannya justru pada saat itu saya seperti terbentur batas imajinasi saya, mungkin karena kekhawatiran saya pada kutuk jika saya terlampau ‘kurang ajar’ dengan ‘menggambarkanNya’ dalam citra-citra.
Tapi dalam ketakmampuan saya untuk menggambarkanNya dalam citra-citra itu, saya justru telah menghindari diri saya untuk melakukan upaya personifikasi dan materialisasi atas dan tentang-Nya. Sehingga bagi saya lebih baik mengakrabi dan mengintimi keindahan dan keagungan ciptaan-Nya, dari metafora kosmik ke dalam metafora naratif.
Ketika kita membaca karya-karya para penulis lain, kita tidak sedang belajar metafora dan bahasa dari mereka, melainkan ‘belajar’ bagaimana bertutur dan bagaimana menuliskannya. Bahasa dan metafora diungkapkan dari kapasitas aktus intelek dan ketajaman batin kita untuk menggambarkan dan menghadirkan pandangan dan persepsi kita atas alam dan kehidupan menjadi seni kepada para pembaca.
Sebagai ilustrasi lain, ada suatu fragmen menarik dari seorang filsuf Jerman, Heidegger. Suatu ketika Heidegger terkagum-kagum ketika membaca puisi-puisinya Friedrich Holderlin, yang kala itu, sebagaimana dalam bahasa Heidegger sendiri yang bila saya bikin longgar, telah menyadarkan kita tentang “seni melihat” yang selama ini dilupakan para pemikir dan filsuf yang telah terjebak oleh paradigma cartesianisme. “Seni melihat”, yang menurut saya, cukup berdekatan dalam artian yang diperkenalkan Louis Massignon yang adalah juga mahagurunya Ali Syari’ati dan seorang peneliti-pengulas sang sufi kontroversial yang legendaris, Mansoor al Hallaj.
Bisa jadi Heidegger memang agak berlebihan, mungkin karena terlampau antusias, tetapi setidak-tidaknya sebagaimana didaku Heidegger, seni dan sastra lah, dan utamanya puisi, yang justru mengafirmasi dan mampu melihat kehadiran dan keberadaan “Ada” di saat para pemikir yang terjebak paradigma saintisme atau pun cartesianisme sibuk memikirkannya, tetapi malah melupakan kehadiran “Ada” itu sendiri.
Sebenarnya, selain karena peristiwa kebetulan perjumpaannya dengan sajak-sajaknya Friedrich Holderlin, Heidegger juga mendapatkan pencerahan filsafatnya dari tulisan-tulisannya Nietzsche yang berhasil menyingkapkan basis hasrat manusiawi (orphan) yang sebelum Nietzsche mewartakan pandangannya tidak diakui sebagai entitas yang juga menjadi pemain utama gerak dan gairah hidup manusia.
Sementara itu, sastra, utamanya puisi, yang bagi Heidegger didaku sebagai “berpikir dengan cara lain” itu, bisa juga kita andaikan sebagai sebuah ikhtiar untuk membuka sejumlah cakrawala dan horison baru bagi pemikiran, yang karena itu merupakan antitesis terhadap dogma dan dogmatisme. Bila demikian, puisi lebih merupakan sebuah upaya untuk “menolak betah”, justru karena ia senantiasa bersikap kritis dan terbuka pada setiap pengecualian dan kebetulan.
Hal itu tentu saja berbeda dengan ilmu yang akan dipertanyakan bila ia tidak mampu memberikan objektivitas dan validitas. Tetapi, tidak demikian dengan sastra, dan utamanya puisi, yang senantiasa bergelut dengan pencarian akan yang sublim dan yang mitis.
Hasrat puisi, bila kita mengafirmasi wawasannya Hildegard Von Bingen, Nietzsche, dan Heidegger, selalu berkait dengan pencarian memori dan hasrat purba manusiawi yang terlupakan.
Puisi, karena ia bukan ilmu atau pun metodologi yang hendak mencapai objektivitas, hanya berkepentingan untuk selalu membuka kemungkinan. Sebuah makna puisi tercipta bukan karena sebuah puisi menghadirkan dirinya sebagai sains eksplanasi, tetapi karena ia mampu dan sanggup memberikan wawasan dan cakrawala alternatif yang diabaikan ilmu.
Selain itu semua, puisi juga bisa dikatakan sebagai pancaran dari “kosmologi bathin” yang diserap dari pengalaman akan yang fana sekaligus penyelaman perasaan akan sesuatu yang tak terpahami (tak dapat dikonsepsi), yang senantiasa mencari dan tak pernah puas dalam pengembaraannya.
Sebutlah sebagai contohnya, ketika sebuah puisi berbicara tentang hasrat (keinginan), penderitaan, atau harapan. Atau ketika ia hanya menggambarkan wawasan mitis tentang kerinduan manusiawi akan makna hidup dan hasrat keindahan.
Keindahan puisi itu, tentu juga, dapat dijelmakan sebagai sebuah meditasi atau pun permainan. Hanya saja, kategori yang kedua, yaitu permainan, kadangkala gagal memberikan keindahan dan aura dari yang sublim ketika ia meremehkan nada dan wawasan yang mampu memunculkan kuriositas yang baru. Hingga suatu ketika seorang filsuf dan penyair Renaissance, Francesco Patrizi, pernah berujar: “Seorang penyair yang berhasil adalah ia yang mampu menciptakan keajaiban dalam puisinya”.
Apa yang dimaksud Patrizi itu, tak lain adalah ketika sebuah puisi menjelma dan mewujud sebuah realitas dan dunia tersendiri bagi puisi itu sendiri.
Dan bila kita karikaturkan, Heidegger adalah seorang filsuf yang menawarkan sebuah prasaran berpikir dengan modus puitis, berpikir puitis, dan berpikir bersama puisi. Wawasan puitis adalah sebuah wawasan yang terus ragu dan mencari, senantiasa mendulang kefanaan, justru karena ia selalu bergairah dalam ikhtiar untuk menemukan bentuk-bentuk ungkapan dan penggambaran keindahan itu sendiri.
Sementara itu, wawasannya Francesco Patrizi, sang filsuf Renaissance itu, hendak memandang sebuah puisi yang bisa kita bilang tak ubahnya sebuah nomos (cakrawala mitis atau pun semesta makna) dan kosmologi dunia puitis itu sendiri.
Meski demikian, keindahan dan nomos sebuah puisi tak mesti terlampau mendaku kerumitan. Sebab, seringkali ketajaman dan keindahan di satu sisi, dan kemampuan sebuah puisi untuk mencipta semesta dan nomos, lebih sering karena diolah dan dikemukakan lewat kejujuran, kepadatan, dan kesahajaan diksi, parafrase dan keseluruhan simbolisasinya yang utuh yang sekaligus mampu menciptakan bahasa bersama.
Sulaiman Djaya, Pengurus Majelis Kebudayaan Banten