Jakarta, LIPUTAN 9 NEWS
Kecenderungan ideologis dalam isu “climate change” dan gender ini sudah menampakkan pengaruhnya ke Indonesia. Makin ke mari, makin kita rasakan gelombangnya. Saya mengatakan bahwa gelombang ideologisasi ini sangat “toxic”, beracun. Saya berpandangan: ini semua harus dilawan dan ditangkal. (Gus Ulil)
Dalam bahasa Arab modern, istilah iqtishad biasa diterjemahkan sebagai “ekonomi”. Iqtishadiyah kira-kira bermakna “economics” (ilmu ekonomi) atau “bersifat ekonomis”. Tetapi istilah itu memiliki pengertian lain yang jauh lebih pas dengan makna asalnya (al-qashdu: tengah-tengah). Iqtishadiyah berarti “tengah-tengah”, sepadan dengan istilah lain seperti “tawassut” atau moderasi. Istilah iqtishadiyah ini memang jarang dipakai. Yang lebih populer adalah tawassut atau wasathiyyah.
Saya sengaja mau menghidupkan istilah itu, sebab inilah istilah yang dipakai oleh Imam al-Ghazali dalam kitabnya yang berjudul “al-Iqtishad fi-l-I’tiqad” (Jalan Tengah Dalam Akidah). Kitab tentang akidah Asy’ariyah ini (akidah yang diikuti oleh mayoritas muslim Sunni dari dulu hingga sekarang di seluruh dunia), saya baca sejak setahun lebih yang lalu, dan masih berlangsung hingga sekarang. Ini adalah bagian dari kitab yang saya kaji dalam ngaji online mingguan selain Ihya’.
Selama membaca dan “ngaji” kitab ini, saya mengalami “perkembangan pemikiran” yang cukup signifikan. Tanpa harus menceritakan secara detil perkembangan pemikiran itu, cukup saya katakan bahwa saya merasa cocok secara umum dengan gaya dan pendekatan pemikiran al-Ghazali. Inti dari gaya pemikiran al-Ghazali adalah tergambar dalam judul kitab di atas: al-Iqtishad, jalan tengah. Meskipun kitab ini khusus bicara tentang akidah/kalam (teologi), tetapi gaya dan pendekatan al-Ghazali bisa dipakai dalam konteks yang lebih luas. Inilah tujuan dari catatan pendek saya kali ini.
Lawan-lawan debat (opponents) al-Ghazali dalam kitab ini adalah dua “kubu teologis”, yaitu Mu’tazilah/Falasifah (filsuf muslim seperti Al-Farabi dan Ibn Sina) di satu pihak, dan kelompok Hasyawiyah/Mujassimah/Karramiyah di pihak lain. Kelompok pertama mewakili titik ekstrim yang disebut “ifrath”, sementara kelompok kedua mewakili titik ekstrim “tafrith”. Dua istilah ini tidak bisa diterjemahkan dengan mudah dalam bahasa Indonesia. Untuk mempermudah, saya ingin menggunakan contoh makan. Ifrath adalah makan terlalu sedikit sekali, sementara tafrith adalah makan terlalu banyak.
Apa yang disebut al-Ghazali sebagai “iqtishad” adalah titik tengah antara dua titik ekstrim ifrath dan tafrith. Akidah yang benar menurut al-Ghazali adalah akidah Asy’ariyyah, karena dalam akidah ini kita memiliki rumusan doktrinal yang berada di tengah-tengah. Dalam semua isu akidah (misalnya mengenai dzat dan sifat-sifat Tuhan), al-Ghazali berusaha menunjukkan posisi iqtishad atau tengah-tengah dari akidah Asy’ariyah.
Seperti saya katakan, pendekatan “islqtishad” ala al-Ghazali ini bisa diterapkan dalam konteks yang lebih luas. Saat ini kita hidup di tengah-tengah gempuran pertarungan ide yang telah berubah menjadi “ideologi”. Ini terjadi terutama di negeri-negeri Barat, dan pertarungan ini mulai menebarkan cipratannya ke seluruh dunia. Ada banyak ideologi yang menjadi sumber polarisasi besar di Barat saat ini: yang pertama mengenai lingkungan dalam bentuk ide besar tentang “climate change” dan kedua ide tentang “gender” yang tergambar dalam debat terakhir tentang “transgenderisme” dan “queer”.
Bagi saya, dua ide besar itu telah mengalami transformasi besar menjadi “ideologi” yang sangat “divisive” dan menimbulkan perpecahan di dunia Barat. Ideologi bukan sekedar gagasan untuk menjelaskan sesuatu, atau pendapat mengenai suatu masalah. Jika suatu gagasan masih berhenti sebatas pendapat mengenai suatu masalah, saya hendak menyebutnya sebagai “fikih”. Ideologi adalah tahap yang lebih lanjut dari gagasan atau pendapat, sebab ideologi memiliki fungsi untuk “menjelaskan dunia” (“the medium in which conscious social actors make sense of their world”; ini kutipan dari sejumlah pengertian tentang ideologi dalam bukunya Terry Eagleton, “Ideology: an introduction” [1991]). Ideologi juga punya kedenderungan kepada “semiotic closure”, yaitu membatasi pengertian yang beragam kepada satu pengertian saja.
Kita bisa mengatakan bahwa “ideologi” adalah agama dalam bentuknya yang sekular. Karena agama mengalami kemerosotan di Barat secara drastis, maka terciptalah “semiotic void”, kekosongan semiotis di sana. Keadaan kosong ini tampaknya menimbulkan kebingungan. Manusia, pada akhirnya, toh membutuhkan semacam “semiotic mooring” atau jangkar makna yang memberinya arah yang jelas dalam gebalau hidup yang sesak dengan peristiwa yang kacau balau. Karena agama sudah atau nyaris mati di Barat (terutama di Eropa Barat), muncullah kebutuhan akan “semiotic mooring” yang bisa menggantikan agama. Ideologi memenuhi fungsi itu.
Gagasan-gagasan tentang “climate change” atau “gender” tampaknya sudah berubah tidak lagi sekedar sebatas ide saja, melainkan sudah meningkat menjadi ideologi. Sebagai sebuah ideologi, dua gagasan itu mengalami “semiotic closure”. Pertengkaran dan polarisasi yang dipicu oleh ideologi memiliki ciri-ciri serupa dengan pertengkaran karena isu agama atau akidah. Contoh terbaik adalah kontroversi yang hebat soal sosok JK Rowling, penulis serial Harry Potter, gara-gara isu transgender dan definisi seks (is sex [not gender] biological or “socially” constructed?).
Mirip dengan perdebatan soal akidah yang biasanya berujung pada “pengkafiran” pihak lain yang berseberangan, begitu juga perdebatan karena ideologi ini. Bentuk pengkafiran mengalami mutasi di era modern ini dalam bentuk yang “secularized”, yaitu apa yang disebut dengan “cancel culture”. Budaya cancel artinya membungkam (cancel) orang-orang yang berbeda pendapat dengan berbagai cara: dilarang ceramah di forum tertentu, tidak mendapatkan dana riset, tidak menikmati promosi jabatan, hingga ke tingkat yang lebih serius: dipecat dari pekerjaan (ingat kasus Maya Forstater di Inggris pada 2021).
Perseteruan tentang “climate change” di Barat juga sudah meningkat ke level ideologi ini. Perdebatan mengenai isu ini bukan sekedar perdebatan biasa, melainkan sudah menjadi pertengkaran yang memiliki aura “keagamaan”. Mereka yang tidak setuju dengan wacana dominan tentang “climate change” diperlakukan dengan cara yang mirip dengan cara-cara “ortodoksi agama” memperlakukan lawan-lawannya: yaitu membikin sebutan yang “menyeramkan” seperti “kafir” dan “murtad”. Dalam isu lingkungan, mereka yang mempertanyakan ortodoksi soal “climate change” akan diberikan label menyeramkan: “climate denialist”, penentang perubahan iklim. Sebutan ini membuat orang-orang teringat pada istilah lain: “holocaust denialist”, penentang holocaust. Secara implisit, isu lingkungan dan perubahan iklim sudah dinaikkan tarafnya sehingga mirip dengan horor holocaust.
Kecenderungan ideologis dalam isu “climate change” dan gender ini sudah menampakkan pengaruhnya ke Indonesia. Makin ke mari, makin kita rasakan gelombangnya. Saya mengatakan bahwa gelombang ideologisasi ini sangat “toxic”, beracun. Saya berpandangan: ini semua harus dilawan dan ditangkal.
Menurut saya, senjata untuk melawannya adalah dengan mendayagunakan fikih. Ada ciri dasar pada fikih: yaitu “semiotic openness”, keterbukaan tafsir, berlawanan dengan ideologi yang cenderung pada “semiotic closure”. Ciri fikih adalah: dalam semua masalah, kita lazim mengahapi perbedaan pendapat yang diungkapkan dengan istilah “fihi aqwal” (dalam masalah ini terdapat banyak pendapat). Perbedaan pendapat dalam soal fikih tidak harus berujung pada “pengkafiran” atau “canceling”. Di sisi lain, amat relevan pendekatan yang dipakai oleh al-Ghazali, yaitu “iqtishad” atau jalan tengah. Fikih yang dipadukan dengan metode berpikir iqtishad ini, bagi saya, bisa menjadi panduan bagi seorang muslim (saya tidak bicara mengenai umat lain) untuk menghadapi abad ideologi dan ideologisasi saat ini.
Saya sepakat dengan analisa dan observasi filsuf Inggris Terry Eagleton yang bukunya saya kutip di atas: bahwa keliru jika kita mengira saat ini sedang terjadi gejala “the end of ideology” atau berakhirnya ideologi; keliru juga bahwa kita saat ini sedang mengalami era yang oleh Francis Fukuyama disebut “the end of history”, berakhirnya sejarah. Saat ini, kata Eagleton, kita justru mengalami proliferasi atau pertumbuhan yang begitu subur dari ideologi dengan pelbagai bentuknya. Statemen tentang “the end of ideology” yang pernah dikemukakan oleh Daniel Bell pada 1960 adalah semacam statemen ideologis dari pihak “kanan” di Barat di tengah-tengah merosotnya pengaruh komunisme.
Jika “the ene of ideology” dimaknai sebagai berakhir dan ambruknya komunisme, bisa dibenarkan. Tetapi ideologi tidak saja diwakili oleh komunisme, melainkan ada pelbagai bentuk ideologi yang lain. Manusia, kata filsuf Jerman kelahiran Polandia Ernst Cassirer (1874-1945), adalah “symbolic animal” (homo simbolicum), binatang yang menciptakan simbol. Fungsi simbol, antara lain, adalah untuk “making sense of the world”, membuat dunia yang ditinggali manusia memiliki makna dan bisa dipahami. Ideologi sebetulnya berawal dari hasrat untuk “sense making” ini. Meskipun tindakan “sense making” itu sendiri belum tentu akan melahirkan ideologi, tetapi sebagai sebuah “cara pandang dunia”, ideologi bermula dari sana. Dengan demikian, ideologi tidak akan bernah berakhir seperti dikleim oleh Daniel Bell itu.
Sebagaimana pertarungan akidah dalam sejarah masyarakat beragama, pertarungan ideologi juga membawa dampak-dampaknya yang destruktif. Penawar bagi “racun” ideologi ini adalah berpikir dengan akal sehat, bersikap tengah-tengah. Dalam isu lingkungan dan “climate change”, misalnya, sikap yang menurut saya masuk akal dan tengah-tengah adalah “sensible/reasonable environmentalism”, peduli lingkungan secara “reasonable”. Kebalikan dari sikap ini ialah apa yang disebut dengan “alarmism”, menanggapi isu “climate change” dengan menakut-nakuti, seolah-olah kiamat akan terjadi pada esok hari.
Reaksi yang keras atas keputusan PBNU untuk menerima konsesi tambang, dalam pandangan saya, tidak semata-mata dilatari oleh kepedulian atas dampak-dampak industri pertambangan yang merusak lingkungan. Reaksi ini jelas ada kaitannya dengan kampanye global yang sebagian cenderung “alarmis” dan ideologis untuk menentang segala bentuk energi fosil. Alarmisme ini menimbulkan kesan seolah-olah batubara adalah barang najis. Sikap ini jelas sudah ideologis, bukan sekedar pendapat “fikih” biasa. Di balik pandangan ini ada semacam “metafisika” yang melatarinya, salah satunya berasal dari gagasan “deep ecology” yang pernah dilontarkan oleh Arne Næss (1912-2009), seorang filsuf dari Norwegia. Ini akan menjadi pembahasan dalam seri ketiga tulisan saya. Dalam seri kita nanti, saya akan mengemukakan kritik atas gagasan Næss ini.
Contoh paling baik dari sikap “alarmism” tersebut bisa kita lihat dalam kampanye ala Greta Thunberg, aktivis lingkungan dari Swedia. Thunberg menarik perhatian dunia melalui aksi-aksinya yang berlangsung bertahun-tahun untuk mendesak para pemimpin dunia segera mengambil langkah-langkah kongkret untuk mencegah terjadinya pemanasan global. Puncaknya adalah pidato Thunberg di U. N. Climate Action Summit pada 2019 melalui kata-katanya yang masyhur: “How dare you! You have stolen my dreams and my childhood with your empty words.”
Pidato Thundberg ini, menurut saya, gambaran yang gamblang sekali dari kampanye lingkungan yang sudah berubah jadi ideologi. Thunberg mengira mimpi anak-anak di dunia itu bisa diwakili oleh satu anak dari negeri super-kaya seperti Swedia. Seolah anak-anak dari desa Kulon Progo atau Bantul tidak memiliki mimpi sendiri yang berbeda. Dia, misalnya, tidak membayangkan bahwa ada milyaran anak-anak di kawasan dunia lain yang mimpinya tergantung pada adanya penerangan listrik yang ditenagai oleh batubara atau energi fosil lainnya.
Seri kedua ini adalah jembatan untuk seri ketiga, seri terakhir, yang akan membahas kaitan antara soal debat tambang di dalam negeri saat ini dengan isu besar “ideologisasi” lingkungan di dunia Barat yang menjadi fokus tulisan kali ini. Sekian.
KH. Ulil Abshar Abdalla, Ketua Lakpesdam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode Pengurus 2022-2027.