LIPUTAN9.ID – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) telah mengambil langkah luas, dengan mengeluarkan SK Nomor 285/PB.01/A.II.01.08/99/01/2024, yang menonaktifkan setidaknya 63 nama fungsionaris dari jajaran PBNU.
Ada begitu banyak nama yang dinonaktifkan. Dari kalangan Timnas AMIN, ada Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru, KH. Ma’shum Faqih, dan Ketua Umum Jam’iyyatul Qurra’ wa Huffadz Kiai Saifullah Ma’shum.
Berikutnya dari kalangan TKN Prabowo-Gibran, ada Dewan Pertimbangan Presiden Habib Luthfi bin Yahya, Khofifah Indar Parawansa, dan Ketua Umum Persatuan Guru NU KH. Asep Saifuddin Halim.
Terakhir dari kalangan TPN Ganjar-Mahfud, ada sahabat Savic Ali salah satu ketua PBNU, kemudian KH. Mustofa Aqil Siradj, Ketua Lembaga Takmir Masjid NU Nasyirul Falah Amru dan Ketua Badan Pengembangan Inovasi Strategis Yenny Wahid.
Walaupun cukup terlambat mengambil keputusan, setelah terjadi kontroversi dan kegelisahan di internal warga Nahdliyyin yang berlarut-larut, apa yang telah dilakukan PBNU tetap perlu diapresiasi. Hanya dengan cara ini, PBNU bisa dinilai telah menjalankan amanah organisasi.
Ketika keluar surat PBNU terkait penonaktifan tersebut, banyak nahdliyin bertanya, kenapa Menteri BUMN Erick Thohir dan Saifullah Yusuf (Gus Ipul) tidak terkena “khithab” dari SK Penonaktifan tersebut Jawabannya jelas, kerena secara tersurat, Erick dan Gus Ipul berbeda dari nama-nama yang telah dinonaktifkan. Erick dan Gus Ipul bukan bagian dari Timses paslon manapun.
Erick Thohir sendiri adalah Ketua Lakpesdam PBNU, yang baru dikukuhkan oleh Ketum PBNU Gus Yahya beberapa bulan yang lalu. Dengan dikeluarkannya SK Penonaktifan pengurus PBNU yang terlibat politik praktis, ternyata Erick Thohir selamat dari penonaktifan.
Hal tersebut menimbulkan pertanyaan di hati publik. Sebab, dua hari yang lalu, sore hari, tanggal 21 Januari 2024, Menteri BUMN tersebut tiba-tiba mendatangi rumah Capres nomor urut 2 Prabowo Subianto di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan.
Kepada para awak media, Erick mengaku “Ya (gabung) ke 02. Saya milih beliau gimana? Beliau datang ke rumah saya kan waktu itu ingat?” Pada saat yang sama, Erick mengaku bahwa dirinya bukan bagian dari TKN Prabowo-Gibran. Namun, sebatas pendukung sejati.
Pendukung sejati dan bagian dari tim kampanye adalah dua hal yang berbeda. Dalam kaidah Fikih ada pernyataan “al-hukmu yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman.” Hukum tergantung dari alasannya.
Maksudnya, jika kita mengandaikan bahwa SK 285/2024 PBNU tentang penonaktifan pengurus yang terjun ke politik praktis, maka alasan di balik penonaktifan tersebut sudah jelas, yaitu keterlibatan secara langsung sebagai Timses yang dikukuhkan oleh SK. Jika alasan ini sudah tidak ada lagi, maka hukum penonaktifan tidak berlaku.
Begitu pula dengan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBNU, Gus Ipul, yang tidak terlibat dalam politik praktis secara langsung. Walaupun berulang kali media massa memberitakan gerakan Gus Ipul dalam memenangkan Paslon 02, tetapi dengan alasan formal-legalistis dia tidak bisa disebut berpolitik praktis secara langsung, karena bukan bagian dari tim resmi Paslon manapun.
Alasan mempertahankan beliau berdua untuk terus aktif dengan taming legal-formal itu akhirnya tak bisa lama, karena publik terus mempertanyakan. Akhirnya keluar juga surat penonaktifkan Erick dari jabatan Ketua Lakpesdam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia) PBNU pada Rabu (24/1) dengan surat bernomor 285.a/PB.01/A.II.01.08/99/01/2024, sebagai pembaruan dari surat penonaktifan yang sebelumnya diterbitkan oleh PBNU pada 21 Januari 2024.
Mungkin kali ini struktural menggunakan pendekatan yang berbeda dari sebelumnya, yaitu dengan kaedah, “lisanul hal afshohu min lisanil maqol,” bahwa bahasa tindakan lebih akurat ketimbang bahasa ucapan (legalitas-formal, hitam-putih). Tetapi, jika demikian yang digunakan untuk menonaktifkan Erick, pertanyaan selanjutnya kemudian muncul, kenapa Gus Ipul tidak? Padahal jejak-digital beliau lebih masif dari pada Erick?
Mempertaruhkan Masa Depan NU
Tindakan PBNU tidak menonaktifkan Gus Ipul mungkin bisa dicarikan pembenaran secara fikih maupun aturan AD/ART NU. Di kalangan ulama pesantren, tradisi menyiasati hukum sudah lazim. Karena mereka berpegang pada dalil fikih “al-hukum yaduru ma’a ‘illatihi” tersebut.
Namun, Nahdliyin sudah semakin cerdas, khususnya para santri. Permainan “manipulatif” semacam itu tidak mampu menutupi substansi persoalan. Katakanlah Gus Ipul memang tidak melanggar AD/ART NU, tetapi kenyataannya, sulit dipungkiri beliau merupakan bagian dari kunci kemengangan Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran.
Maka hal tersebut akan menjadi preseden buruk bagi generasi hari ini, bahwa berpolitik praktis oleh struktural NU, meskipun itu jelas melanggar Khittah, jika dilakukan secara “diam-diam”, dan menjadi bagian dari tim kampanye, dapat dibenarkan. Dengan kata lain, para pengurus NU bisa berpolitik praktis selama tidak terdaftar secara resmi menjadi bagian dari tim kampanye.
Padahal sekali lagi, keputusan Muktamar NU 28 di Situbondo, terakait dengan khittah adalah bagian dari AD/ART dan mengamanahkan bagi strukturul yang masuk timses Paslon tertentu harus nonaktif. Menurut almagfurllah Kiai Sahal Mahfudh, politik kekuasaan yang lazim disebut politik tingkat rendah (siayasah safilah) adalah porsi partai politik bagi warga negara, termasuk warga NU secara perseorangan. Sedangkan NU sebagai lembaga atau organisasi, harus steril dari politik semacam itu. Kepedulian NU terhadap politik diwujudkan dalam peran politik tingkat tinggi (siyasah ‘aliyah samiyah), yakni politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan etika berpolitik.
Jadi sebenarnya apa yang dilakukan oleh PBNU dengan membiarkan Gus Ipul, tanpa penonaktifan, sama dengan mempertaruhkan masa depan NU. Sebab, secara tersirat, perilaku PBNU semacam itu seperti melegitimasi seluruh pengurus NU boleh berpolitik praktis selama tidak menjadi bagian dari tim kampanye.
PBNU Menjadi Invisible Hand
Perilaku PBNU dengan tidak menonaktifkan Gus Ipul telah mengubah NU menjadi organisasi “invisible hand”, yaitu kekuatan tidak terlihat yang menggerakkan pasar bebas kepentingan politik praktis. Memang benar NU dan kekuasaan mengambil jarak, tetapi ada tangan tidak terlihat yang dimainkan oleh Gus Ipul.
Gus Ipul secara personal adalah politikus senior, wali kota aktif, sekaligus sekjend di PBNU. Jarak yang memisahkan antara kekuasaan dan NU setipis kulit bawang. Maka, sebagai “invisible hand”, Gus Ipul bermain “cantik”, meski dengan argumen buruk, saat menyanggah Gus Nadirsyah Hosen di hadapan publik (Metro TV)
Persoalan “invisible hand” ini memang bukan ranah hukum fikih, dalam sudut pandang Nahdliyyin. Karena kita Nahdliyyin memiliki tradisi “Nahkumu bi zhawahir wallayu yatawallas sarair”. (Kami hanya memutuskan hal-hal lahiriah. Hal rahasia urusan Tuhan). Wallahu a’lam bis shawab.
Dr. KH. Aguk Irawan MN, Lc, MA, Pengasuh Pesantren Baitul Kilmah Yogyakarta, Santri Alumni Darul Ulum, Langitan. Pernah kuliah jurusan Aqidah-Filsafat di Al-Azhar University Cairo dan Sekolah Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga. Pengajar Antropologi-budaya di STIPRAM Yogyakarta, serta di Ma’had Aly KH. Ali Maksum Krapyak dan STAI Pandanaran Yogyakarta. Buku terbarunya terbit di penerbit Mizan Group; Genealogi Etika Pesantren, Kajian Intertekstual (2018) dan Sosrokartono, Sebuah Biografi Novel (2018).