LIPUTAN9.ID – Perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari, tidak terlepas dari dua hal, yaitu ketaatan kepada Allah s.w.t. dan pembangkangan atau kemasiatan kepada-Nya. Masing-masing perilaku itu memiliki sumber yang jelas. Sumber dari ketaatan adalah kesadaran yang tinggi yang dimiliki seseorang untuk menghindari nafsu syahwat, serta memantapkan diri untuk tidak terjebak dalam keinginan hawa nafsu. Sedangkan sumber pembangkangan atau kemaksiatan adalah sikap lalai, sehingga melupakan Allah s.w.t. dan terbelenggu oleh hawa nafsunya sendiri. Apabila manusia berpaling dari Allah, dan memperturutkan hawa nafsunya, akan menjerumuskan dirinya pada kehancuran duniawi dan ukhrawi.
Sesungguhnya apabila manusia mau menggunakan pikiran dan akalnya, niscaya ia akan menyadari bahwa nafsu yang menyesatkan dan tidak terkendali itu akan menyeret manusia pada kubangan kehinaan dan kehancuran. Sungguhpun nafsu yang ada pada diri seseorang harus terus diwaspadai, namun demikian tidaklah mungkin nafsu itu dihilangkan sama sekali. Itulah letak perbedaan manusia dengan malaikat. Manusia memiliki nafsu dan akal pikiran, sedangkan malaikat memiliki akal pikiran dan tidak memiliki nafsu. Nafsu yang dikelola secara positif akan menggerakkan manusia menuju kemajuan dan kesuksesan. Tanpa nafsu, manusia tidak akan berusaha untuk meraih kemajuan demi kemajuan dan kesuksesan demi kesuksesan.
Nafsu yang ada pada diri manusia dapat diketegorikan menjadi tiga macam, yaitu (1) Nafsul Ammarah disebut juga Nafsul Ammarah Bissu’, suatu kecenderungan yang mendorong umat manusia untuk berbuat keburukan, kejahatan, pembangkangan dan perbuatan tercela lainnya.
۞وَمَآ أُبَرِّئُ نَفۡسِيٓۚ إِنَّ ٱلنَّفۡسَ لَأَمَّارَةُۢ بِٱلسُّوٓءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّيٓۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٞ رَّحِيمٞ
Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang. (QS. Yusuf, 12:53).
Nafsu jenis ini menjadi sumber segala macam keburukan dan kemaksiatan, baik lahir maupun batin. Nafsu yang ke (2) Nafsu Lawwamah, yaitu potensi yang ada pada diri manusia yang bersifat gamang, belum bisa memastikan, mana yang diikuti. Orang seperti ini sudah bisa membedakan baik dan buruk. Dia sudah mengakui bahwa perbuatan baik itu akan mengantarkan dirinya pada keluhuran dan perbuatan tercela itu akan mengantarkan dirinya pada kegagalan demi kegagalan. Namun demikian, ia belum bisa melaksanakan pemahamannya tersebut, sehingga tetap terjebak dalam perbuatan yang tercela.
Nafsu berikutnya (3) adalah Nafsu Muthmainnah, yaitu kecenderungan pada diri manusia yang menimbulkan ketenangan dan ketentraman, serta dapat dikendalikan dengan baik. Nafsu seperti ini tidak menimbulkan kecenderungan untuk berbuat keburukan, kejahatan, kemaksiatan, atau perbuatan tercela lainnya.
يَٰٓأَيَّتُهَا ٱلنَّفۡسُ ٱلۡمُطۡمَئِنَّةُ ٱرۡجِعِيٓ إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةٗ مَّرۡضِيَّةٗ
Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. (QS. Al-Fajr, 89:27-28).
Nafsu Amarah terdiri dari enam bagian, yaitu (1) nafsu syahwat, yaitu suatu kecenderungan yang mengarah pada tiga hal, (a) kecenderungan yang terletak pada perut, sehingga menjadi budak dari perutnya sendiri, makan dan minum secara berlebihan. (b) terletak pada libido seksual, sehingga ia menyalurkan libidonya dengan cara yang salah dan terkutuk, sehingga menimbulkan kerusakan bagi dirinya dan orang lain. Bahkan dari nafsu ini, bisa menimbulkan berbagai macam kejahatan kriminal yang sangat mengerikan. (c) hawa nafsu yang menyesatkan. Apabila orang terjebak dalam hawa nafsu ini, dengan cepat akan terjerumus pada kehancuran lahir dan batin.
Nafsu Amarah yang ke (2) adalah ghadab atau kemarahan yang sangat keras. Nafsu ini sangat berbahaya, sehingga Nabi pernah dimintai seorang anak muda suatu nasehat yang akan mengantarkannya pada kesuksesan yang maksimal. Nabi memberikan jawaban kepada anak muda itu dengan kalimat yang singkat: Laa Taghdab, kamu jangan marah dan jangan bersikap emosional. Anak muda itu, tampaknya kurang puas dengan jawaban itu. Maka ia memohon lagi nasehat dari Nabi. Beliau mengulang nasehat itu sebanyak tiga kali. Baru ia sadar bahwa kalimat yang singkat itu merupakan kunci sukses bagi seseorang, apabila ia dapat mengendalikan amarah dan emosinya.
Nafsu Amarah yang ke (3) adalah rakus atau merasa kurang dalam segala hal dan tidak pernah merasa puas. Nafsu Amarah yang ke (4) adalah takabbur atau sombong. Nafsu Amarah yang ke (5) adalah riya’, yaitu kecenderungan untuk memamerkan kebaikannya kepada orang banyak. Nafsu Amarah yang ke (6) adalah hasad atau dengki. Cara mengatasi enam macam nafsu amarah itu, (1) banyak mengerjakan ibadah dan amal shaleh untuk mendekatkan diri kepada Allah. (2) Amarah harus diatasi dengan sifat sabar, (3) rakus diatasi dengan sikap qana’ah atau merasa cukup dengan apa yang ada. (4) sikap takabbur atau sombong harus diatasi dengan sikap tawadu atau rendah hati, (5) sikap riya harus diatasi dengan sikap ikhlas dalam berbagai amal dan perbuatan. (6) sikap dengki harus diatasi dengan sikap pasrah dan menerima apa yang sudah ditakdirkan Allah s.w.t. bagi dirinya.
Dr. KH. Zakky Mubarok Syakrakh, MA., Dewan Pakar Lajnah Dakwah Islam Nusantara (LADISNU) dan Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)