Banten, Liputan9 – Kita hidup tidak melulu diatur oleh ajaran agama karena takdirnya kita tercipta berbeda-beda, baik suku, bahasa, adat istiadat, budaya dan bahkan perbedaan agama. Keragaman ini harus ada aturan yang mengikatnya, yaitu negara. Agar tidak terjadi pertikaian atau konflik yang dipicu perbedaan. Manusia manapun akan selalu berkeinginan hidup damai, aman dan tentram. Karena tujuannya adalah bahagia.
Agama diprinsipi ajaran ilahiyat, sedangkan negara diprinsipi konsepsi bersama berdasarkan kesepakatan. Sementara budaya berkembang seiring kehidupan manusia relasinya dengan alam, relasinya dengan lingkungan, relasinya dengan kebiasaan. Bahkan budaya itu pasti ada dalam tarikan nafas hidup di dunia. Ini perlu dijelaskan agar bisa membedakan mana yang bukan urusan agama dan mana pula yang bukan urusan budaya. Dua mata kita ini harus melihatnya dengan benar, apa itu agama ? apa itu budaya.
Soal merayakan tahun baru jelas tidak ada perintah agama, yang ada adalah anjuran berdoa di awal tahun dan di akhir tahun. Tapi kemudian orang mau merayakan tahun baru tidak perlu anjuran agama, tidak perlu menunggu dalil atau dicarikan dalilnya. Naif sekali jika kita disempitkan oleh hanya dugaan tidak ada dalil dalam agama. Padahal meski ayat Qur’an pun tidak semuanya muthlaq tertuju pada kehalalan atau keharamannya, sebab ada yang muqoyyad. Bisa jadi itu dihukum haram tetapi qoyidnya menjelaskan itu tidak tetap karena ada ayat lainnya yang menjelaskan itu hanya pada status hukum makruh saja.
Begitu pula ketika ada ayat yang seoalah itu menunjukkan ijabah ( ketetapan wajib ) karena sighatnya al-Amr, tetapi ada ayat yang berikutnya justru menjelaskan itu sekedar al-irsyad ( petunjuk ). Ini harus dipahami oleh penceramah Wahabi, untuk tidak serampangan memutuskan hukum sesuai seleranya. Jika mau memahami ayat maka dalami tafsirnya, sedangkan jika mau memahami hadits maka pahami musthalahul haditsnya. Biar terarah dan ada petunjuknya. Dalam konteks ini agama Islam pun dijelaskan melalui ilmunya, karena itu ada ilmu agama. Tidak bisa jika ingin memahami agama, atau menghukumi sesuatu dari mencomot ayat yang ternyata belum tentu itu maksudnya, sebab ada yang nash ( jelas lafadz dan jelas maksudnya ) ada pula yang dhonn ( lafadnya jelas tetapi belum jelas maksudnya ). Kita beragama perlu bermadzhab, dengan madzhab sudah dengan sendirinya beragama.
Kenapa saudara kita ulama Wahabi berani mengatakan merayakan tahun baru hijriah itu haram karena tidak dianjurkan oleh Rasulullah S.a.w. Padahal merayakan tahun baru itu sekedar ungkapan perasaan bersama, muhasabah bersama, mengoreksi diri, mencari pola yang benar ketika mau memasuki tahun ke depan, apa dan bagaimana agar hidup lebih berkualitas, lebih bermakna. Obor hanya simbol budaya, adat orang kita Nusantara jika mau memasuki jalan gelap pasti alat terangnya adalah obor. Pawai juga adalah simbol kebersamaan menuju satu arah perjalanan.
Saya ingin mengetengahkan pandangan ulama terkait bid’ah, dengan maksud agar mengenali jelas apa itu bid’ah dan penerapannya pada yang bagaimana?.
Pertama, pandangan Syaikh Izzuddin Abdul Aziz bin Abdussalam, ulama madzhab Syafi’i abad 7 H yang bisa dilihat di kitabnya Qowaidul Ahkam fi Masholihil Anam, beliau secara detail menjelaskan perihal bid‘ah.
الْبِدْعَةُ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِي عَصْرِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –
. وَهِيَ مُنْقَسِمَةٌ إلَى: بِدْعَةٍ وَاجِبَةٍ، وَبِدْعَةٍ مُحَرَّمَةٍ، وَبِدْعَةٍ مَنْدُوبَةٍ، وَبِدْعَةٍ مَكْرُوهَةٍ، وَبِدْعَةٍ مُبَاحَةٍ، وَالطَّرِيقُ فِي مَعْرِفَةِ ذَلِكَ أَنْ تُعْرَضَ الْبِدْعَةُ عَلَى قَوَاعِدِ الشَّرِيعَةِ: فَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْإِيجَابِ فَهِيَ وَاجِبَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ التَّحْرِيمِ فَهِيَ مُحَرَّمَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْمَنْدُوبِ فَهِيَ مَنْدُوبَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْمَكْرُوهِ فَهِيَ مَكْرُوهَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْمُبَاحِ فَهِيَ مُبَاحَةٌ، وَلِلْبِدَعِ الْوَاجِبَةِ أَمْثِلَةٌ.
Artinya : Bid‘ah adalah suatu perbuatan yang tidak dijumpai di masa Rasulullah SAW. Bid‘ah itu sendiri terbagi atas bid‘ah wajib, bid‘ah haram, bid‘ah sunah, bid‘ah makruh, dan bid‘ah mubah. Metode untuk mengenalinya adalah dengan cara menghadapkan perbuatan bid‘ah yang hendak diidentifikasi pada kaidah hukum syariah. Kalau masuk dalam kaidah yang menuntut kewajiban, maka bid‘ah itu masuk kategori bid‘ah wajib. Kalau masuk dalam kaidah yang menuntut keharaman, maka bid‘ah itu masuk kategori bid‘ah haram. Kalau masuk dalam kaidah yang menuntut kesunahan, maka bid‘ah itu masuk kategori bid‘ah sunah. Kalau masuk dalam kaidah yang menuntut kemakruhan, maka bid‘ah itu masuk kategori bid‘ah makruh. Kalau masuk dalam kaidah yang menuntut kebolehan, maka bid‘ah itu masuk kategori bid‘ah mubah. Bid‘ah wajib memiliki sejumlah contoh ( Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam, Juz II, Halaman 133-134 ).
Yang kedua pandangan Imam al-Baihaqi dalam meluruskan persoalan bid’ah.
وقوله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “وكل بدعة ضلالة” وهو من العام الذي أريد به الخاص بدليل قوله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المخرج في “الصحيح”: “من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد”. وقد ثبت عن الإمام الشافعي قوله: المحدثات من الأمور ضربان أحدهما: ما أحدث يخالف كتاباً أو سنة أو أثراً أو إجماعاً، فهذه البدعة الضلالة. وما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا، فهذه محدثة غير مذمومة.
Artinya : Ucapan Rasulullah SAW ” Setiap bid‘ah itu sesat ” secara bahasa berbentuk umum, tapi maksudnya khusus seperti keterangan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, ” Siapa saja yang mengada-ada di dalam urusan kami yang bukan bersumber darinya, maka tertolak “. Riwayat kuat menyebutkan Imam Syafi’i berkata, ” Perkara yang diada-adakan terbagi dua. Pertama, perkara baru yang bertentangan dengan Al-Quran, Sunah Rasul, pandangan sahabat, atau kesepakatan ulama, ini yang dimaksud bid‘ah sesat. Kedua, perkara baru yang baik-baik tetapi tidak bertentangan dengan sumber-sumber hukum tersebut, adalah bid‘ah yang tidak tercela “(Lihat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal, hal. 206 ).
Posisi kita yang muslim awam bukan ulama, tidak perlu repot mencari-cari dalil pembenaran sekaligus dalil penyalahan pada satu perkara atau satu persoalan. Kita dianjurkan taslim ( patuh untuk mengikuti ) dan taat kepada ulama, karena taat pada ulama juga sudah diperintahkan oleh Allah S.w.t.
Mari lihat tafsir ayat ini yang secara dhohir atau shorih ( jelas ) ada perintah taat pada ulama seperti yang kita lihat pada kitab tafsir al-Baghawi.
قَوْلُهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ، اختلفوا في وَأُولِي الْأَمْرِ، قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَجَابِرٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ: هُمُ الْفُقَهَاءُ وَالْعُلَمَاءُ الَّذِينَ يُعَلِّمُونَ النَّاسَ مَعَالِمَ دِينِهِمْ، وَهُوَ قَوْلُ الْحَسَنِ وَالضَّحَّاكِ وَمُجَاهِدٍ، وَدَلِيلُهُ قَوْلِهِ تَعَالَى: وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ
Dalam surat an-nisa ayat 59 ada kalimat اولى الأمر منكم , menurut Syaikh Abu Muhammad al-Baghawi mengatakan bahwa sahabat Rosulullah S.a.w Ibnu Abbas dan Jabir menerangkan bahwa kalimat yang dimaksud adalah fuqoha dan ulama.
Dengan beberapa pandangan ini tentunya kita muslim awam tetap harus ikut ulama sebagai pewaris Nabi. Maka salah satu sikap itu adalah kita harus ikut madzhab. Akan keliru dan tesesat jika ikutan kita bukan ulama, karena ulama memiliki ilmu yang mendalam untuk memahami ayat-ayat suci al-Qur’an dan hadits Rosulullah S.a.w.
Selama ini soal merayakan tahun baru hijriah adalah soal budaya yang tumbuh berkembang di dalam umat Islam Nusantara, karena pawai obor tidak bisa kita temukan di negeri manapun. Kalaupun merayakan itu ada illat yang mengarah pada madarat, maka bandingkan pada seberapa maslahatnya.
Inti dalam tulisan di akhir ini ingin mengatakan bahwa jangan sekali-kali mengajarkan agama tanpa didasari ilmu. Jangan sekali-kali memfatwakan sesuatu haram atau memvonis itu bid’ah jika hanya kemampuannya terbatas pada hafal beberapa ayat dan hadits itupun berbasis terjemah. Bahkan jika masih ada rasa malu lebih baik tidak gegabah mengatakan itu bid’ah dlolalah, atau vonis haram terhadap sesuatu hal. TITIK.
Oleh: KHM. Hamdan Suhaemi, Wakil Ketua PW GP Ansor Banten dan Ketua PW Rijalul Ansor Banten