إن الإنسان خلق بطبعه معلّما، بمعنى أن في طبيعته حبّ إيصال معلوماته إلى غيره
Sesungguhnya manusia secara alami diciptakan menjadi pengajar karena karakter manusia suka menyampaikan hal yang diketahuinya kepada orang lain. (Ibn ‘Ashur)
Sistem pendidikan yang baik dalam sebuah masyarakat atau bangsa merupakan tanda kemajuan peradaban bangsa tersebut. Karena melalui pendidikan yang baik, bangsa akan melahirkan para pemimpin besar, cendekiawan saleh, dan masyarakat cerdas dengan kesadaran intelektual tinggi. Namun sebaliknya, jangan pernah berharap muncul tokoh-tokoh besar dari bangsa ini jika sistem pendidikannya tidak dalam kondisi baik-baik saja.
Hal inilah yang menjadi perhatian serius bagi seorang tokoh reformasi pendidikan Islam berasal dari Tunisia, yaitu Muhamed Al Tahir Ibn ‘Ashur. Beliau lahir sekitar tahun 1879, masa kecilnya dihabiskan untuk belajar di bawah pengawasan kakeknya seorang menteri, yaitu Shaykh Muhamed Al Aziz Bouatour. Pada usia enam tahun, beliau sudah hafal Al-Qur’an di bawah bimbingan seorang qari dan imam besar masjid jami, yaitu Shaykh Muhamed Al Khiari.
Kecerdasan beliau semakin tampak saat mengenyam pendidikan di Universitas Al Zitouna Tunisia, sejak tahun 1892 hingga menduduki jabatan tertinggi di lembaga pendidikan yang sama dan meninggal dunia sekitar tahun 1973. Banyak karya yang diwariskan, antara lain Tafsir al Tahrir wa al Tanwir, yang menempatkan namanya menjadi tokoh masyhur dalam bidang tafsir dan tokoh bidang maqasid al shari’ah dengan karyanya Maqasid al Shari’ah al Islamiyyah. Namun, jarang diketahui kepakaran lain beliau dalam bidang pendidikan dari karyanya, yaitu kitab Alaisa Assubhu Biqarib?
Kitab أليس الصبح بقريب؟, Bukankah Waktu Subuh Sudah Dekat?
Jika kita baca judul, sekilas seperti peribahasa jauh panggang dari api, lantaran isinya sangat jauh berbeda. Sebagai pimpinan tertinggi di Universitas Al Zitouna Tunisia, Ibn ‘Ashur sangat prihatin dan merasakan betul kegelisahan yang bergejolak dalam jiwanya sehingga ia harus sesegera mungkin untuk melakukan tindakan nyata atas carut-marutnya permasalahan dunia pendidikan Islam sebelum waktu Subuh tiba.
Kitab yang ditulis sekitar tahun 1903, tergolong referensi utama dalam dunia pendidikan Islam. Setidaknya memiliki dua hal penting: pertama, sebagai dokumen sejarah yang sangat berharga dalam pembaharuan dunia pendidikan. Kedua, sekalipun isinya lebih banyak berbicara sejarah pendidikan sebagai jantung peradaban Islam, termasuk beberapa perbedaan metode pendidikan, baik di wilayah Islam bagian Timur dan Barat, banyak kita temukan gagasan-gagasan pemikiran Ibn ‘Ashur sangat relevan pada zaman sekarang ini.
Baca juga: Seni Memecahkan Kode Rahasia dalam Khazanah Literasi Islam
Selanjutnya, Ibn ‘Ashur melakukan kritik perihal kondisi pendidikan yang berlaku pada masanya serta menyebutkan penyebab melemahnya kualitas pendidikan secara umum. Beliau menilai, sesungguhnya kerusakan pendidikan muncul dari beberapa faktor, yaitu kualitas para pendidik, peserta didik, bahan ajar, dan proses pembelajaran.
Di antara penyebab umum melemahnya pendidikan menurut beliau adalah:
- (انعدام المراقبة) Kurang mengevaluasi diri, perlu melakukan pengawasan dengan melihat kekurangan dan kelemahan pada keseluruh komponen (tenaga pendidik, peserta didik, bahan ajar, dan proses pembelajaran) yang ada pada lembaga pendidikan, sekaligus mencari jalan keluar untuk mencari kesempurnaan demi menjamin mutu pendidikan.
- (عدم الضبط) Tidak disiplin, pendidikan harus dijalankan dengan penuh kesadaran, baik oleh peserta didik maupun tenaga pendidik dengan menaati peraturan-peraturan yang sudah ditetapkan bersama.
- (ضعف الّداب والأخلاق) Lemah dalam budi pekerti dan akhlak, disebabkan kurangnya pendidikan tentang mata pelajaran akhlak dan penjelasan manfaat dari berbudi pekerti.
- (انعدام حريّة النقد) Kurang terbuka terhadap kritik, ini merupakan aib dalam sistem pembelajaran kita dan tidak selaras dengan tujuan utama pendidikan. Seharusnya kita mampu mengantarkan para peserta didik kepada tingkat kreativitas dan inovatif.
Kemudian, beliau menyebutkan penyebab khusus atas melemahnya pendidikan:
- (الغفلة عن إعطاء أسلوب التعليم اللائقة) Lalai dalam penerapan metode pembelajaran yang sesuai dengan tingkatan pembelajaran peserta didik. Oleh karena itu, sangat disayangkan metode pembelajaran dalam pendidikan kita hampir terbatas pada satu metode, yaitu metode ceramah untuk seluruh tingkatan pembelajaran.
- (اهمال التمرين والعمل بالمعلومات) Abai terhadap pentingnya kegiatan latihan dan penerapan terhadap pengetahuan.
- (استعجال التلامذة على تحصيل الشهادة) Orientasi peserta didik sejak awal dalam menjalankan pendidikan hanya untuk mendapatkan ijazah. Hal itu disebabkan lemahnya kesadaran akan pentingnya hakikat pendidikan, yaitu untuk meningkatkan kualitas kesempurnaan diri.
- (ضعف الملكات اللسانية والقصور في اللغة) Lemah dalam penguasaan bahasa.
- (عروّ التعليم عما يفيد التلامذة اطلاعا على التاريخ ونشأة العلوم) Lemah dalam pembelajaran mata pelajaran sejarah. Oleh karena itu, perlu diperkenalkan apa yang bermanfaat bagi peserat didik, terutama wawasan peradaban bangsa-bangsa dan sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, maka peserta didik akan mampu berpikir kreatif, inovatif, dan kaya akan gagasan, serta terlepas dari cara berpikir yang sempit.
Taksonomi Ibn ‘Ashur
Dalam dunia pendidikan modern, kita sering mendengar struktur hierarki yang mengidentifikasi keterampilan berpikir, mulai dari jenjang yang rendah hingga jenjang yang tinggi. Teori tujuan pendidikan dan penyusunan pembelajaran ini dikenal dengan Taksonomi Bloom. Pertama kali diterbitkan pada tahun 1956 oleh seorang psikolog pendidikan, yaitu Benjamin Samuel Bloom.
Baca juga: Ilmu Gizi dalam Puisi Arab
Taksonomi Bloom dibagi menjadi tiga ranah, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Tiga domain ini merupakan hal penting dalam proses pembelajaran, tetapi domain kognitif lebih banyak digunakan. Dalam domain kognitif memiliki beberapa tingkatan berpikir dari yang paling sederhana sampai tingkatan paling tinggi. Tingkatan yang paling sederhana dimulai dari pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi.
Akan tetapi sebelum Benjamin S Bloom, sekitar lima puluh tiga tahun, Muhamed Al Tahir Ibn ‘Ashur dalam kitab Alaisa Assubhu Biqarib? sudah membuatkan struktur hierarki pengidentifikasian keterampilan berpikir sesuai dengan perkembangan nalar peserta didik dalam tiga level, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Hal ini berbeda dengan Bloom, hanya membagi dalam dua level, yaitu terendah (lower order thinking skills) dan tertinggi (higher order thinking skills).
(مستويات التفكيرعند ابن عاشور) Hierarki keterampilan berpikir menurut Ibn ‘Ashur:
a. (المرتبة الإبتدائية) Level terendah terdiri dari:
- (الحفظ) Hafalan, yaitu mengingat kembali suatu kaidah, konsep, prinsip, atau gagasan, seperti kaidah dasar bahasa, ilmu hitung, atau ilmu yang lainnya.
- (الفهم) Pemahaman, yaitu mampu menerjemahkan suatu kaidah, konsep, prinsip, atau gagasan.
- (العمل بما علمه) Penerapan, yaitu mampu memecahkan masalah, dengan menerapkan pengetahuan yang sudah diketahui, seperti penerapan kaidah bahasa yang benar pada sebuah teks, baik berupa bacaan maupun tulisan.
b. (المرتبة المتوسطة) Level sedang terdiri dari:
- (قوة التفكير) Kekuatan nalar, yaitu mampu mengeksplorasi kekuatan nalar berpikir dalam mengembangkan wawasan pengetahuan.
- (الجمع) Koleksi, yaitu memperbanyak referensi bacaan pengetahuan untuk memperkaya wawasan.
- (التحليل) Analisis, yaitu mampu mengenali, menguraikan, serta mengkritisi suatu struktur, bagian atau hubungan.
c. (المرتبة العالية) Level tertinggi terdiri dari:
- (الاستنتاج) Produksi, yaitu mampu menyusun tulisan atau karya.
- (النقد) Kritik, yaitu mampu memberikan tanggapan, pendapat atau pemikiran yang disertai dengan sanggahan yang masuk akal berdasarkan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan.
- (التقويم) Evaluasi, yaitu mampu menilai mutu suatu tulisan atau hasil karya berdasarkan norma-norma akademik.
- (الابتكار) Mencipta, yaitu mampu melakukan kreativitas inovasi dalam menyiapkan pemikiran dengan menghasilkan teori baru, klasifikasi, atau karya ilmiah untuk memperluas pengetahuan, seperti yang sudah dilakukan oleh para penemu terdahulu.
Menurut Ibn ‘Ashur, level tertinggi dalam hierarki keterampilan berpikir adalah al Ibtikar, yaitu mencipta. Beliau juga mengingatkan, dalam setiap tahapan hierarki keterampilan berpikir hendaknya memberikan perhatian penuh pada lubbul ‘ilm ‘inti ilmu pengetahuan’, bukan pada al Alfaadz wa al Qusyur ‘teks atau kulit semata’.
Taksonomi S Bloom pada akhirnya mengalami revisi dan penyempurnaan yang dilakukan oleh generasi berikutnya, yaitu Anderson dan Krathwohl pada tahun 2001 dengan menyamai model taksonomi Ibn ‘Ashur, yaitu menempatkan mencipta sebagai level tertinggi dalam hierarki keterampilan berpikir.
Dengan demikian, saya kira model taksonomi Ibn ‘Ashur lebih luas dan detail dibandingkan Bloom dan perevisinya, yaitu Anderson dan Krathwohl. Meskipun semuanya sama-sama diawali dengan hafalan (mengingat: revisi Bloom) dan pemahaman, Ibn ‘Ashur menambahi pentingnya tathbiq penerapan pengetahuan pada level terendah ini.
Baca juga: Pesona Kuda dalam Puisi Arab
Hal yang paling menonjol dari perbedaan ini, Bloom tidak membuat level sedang di antara terendah dan tertinggi. Sementara Ibn ‘Ashur mengatakan, harus ada level sedang, yaitu kekuatan nalar, koreksi, dan analisis. Karena jika seorang peserta didik melompat dari level terendah langsung ke level tertinggi, akan ada kekurangan dalam keterampilan berpikir pada peserta didik. Sedangkan level tertinggi menurut Ibn ‘Ashur meliputi produksi, kritik, evaluasi, dan mencipta. Sementara Bloom meliputi penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Kemudian direvisi oleh generasi berikutnya dengan menggabungkan sintesis ke dalam analisis dan berakhir pada puncaknya, yaitu mencipta.