CIREBON | LIPUTAN9NEWS
Jam’iyah Nadhlatul Ulama menerbitkan Surat Penghentian atau Penangguhan Pelaksanaan AKN NU dan Nota Kesepahaman PBNU dengan CSCV bernomor 4368/PB.23/A.II.08.07/99/08/2025. Dengan itu, kecenderungan PBNU pada pragmatisme politik semakin kental.
Center for Shared Civilizational Values (CSCV) yang digawangi KH. A. Mustofa Bisri, KH. Yahya Cholil Staquf, C. Holland Tylor, Yaqut Cholil Qoumas, dan Dr. Timothy Samuel Shah, cukup memberikan dampak riskan bagi citra NU. CSCV pada gilirannya menjadi pintu masuk ideologi Zionisme.
CSCV memasukkan paham zionis ke tubuh NU, melalui penyelenggaraan kegiatan Akademi Kepemimpinan Nasional Nahdlatul Ulama (AKN NU), sangat halus. Jika bukan karena kehadiran Dr. Peter Berkowitz, dkk., sebagai pemateri di AKN NU, mata publik mungkin akan lebih terkecoh.
Aktor utama kemelut ini terletak pada peran ganda KH. Yahya Cholil Staquf. Di satu sisi, ia sebagai Ketua Umum PBNU, dan di sisi lain, sebagai Presiden CSCV. Membuat nota kesepahaman apapun dan menyelenggaraan kegiatan apapun antara PBNU dan CSCV semudah membalikkan telapak tangan.
Rangkap jabatan dalam politik yang pragmatis bukan masalah. Masalah sesungguhnya yang paling signifikan adalah pembiaran oleh Rais Aam KH. Miftachul Akhyar. Penghentian atau penangguhan baru diputuskan setelah kritik pedas dilayangkan oleh publik.
Praktik politik Rais Aam bukan lagi pragmatis, tetapi telah condong pada oportunis. Sekiranya publik tidak peduli pada citra NU, boleh jadi restu Rais Aam akan berkelanjutan. PBNU akan terus dicemarkan oleh CSCV yang menjadi corong zionisme.
Oportunisme bukan gaya politik yang selayaknya diperankan oleh Rais Aam. Bagaimana pun NU adalah organisasi yang memiliki pijakan-pijak moral dan idealisme kokoh yang telah dicontohkan para muassis. Salah satunya adalah pembelaan terhadap kepentingan Palestina.
Politik oportunis hanya kontra produktif dengan perjuangan membela Palestina. Dengan dikeluarkannya surat penghentian dan penangguhan AKNU dan kerjasama PBNU dengan CSCV, solusi jangka pendek menyelamatkan citra NU mungkin berhasil. Tetapi, itu bukan solusi jangka panjang.
Solusi jangka panjang yang mungkin bisa ditempuh adalah pertama dengan memutus mata rantai pengaruh zionisme ke dalam tubuh NU. Hal itu bisa dilakukan dengan cara menutup pintu kerjasama PBNU dengan CSCV sampai batas waktu yang tidak ditentukan. CSCV bagai parasit di tubuh NU. Lebih-lebih elite CSCV, Yaqut Cholil Qoumas, masih berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Langkah selanjutnya adalah KH. Yahya Cholil Staquf sebagai representasi CSCV dan zionisme maupun KH. Rais Aam sebagai simbol politik oportunis harus merelahkan tahta kepemimpinannya. Selama dua figur besar ini masih memiliki simpul kuasa, citra NU sulit dipulihkan. Potensi lain masuknya zionisme di tubuh NU sulit dibendung.
Satu periode pasca Muktamar NU di Lampung, warga Nahdliyyin terlalu lelah menjaga nama baik organisasi, hanya karena manuver-manuver politik para pengurusnya yang liar dan tak terkendali. Terlalu banyak, mulai dari masalah konsesi tambang, pemecatan sepihak terhadap pengurus yang tidak sehaluan, hingga pengaruh zionisme.
Semua berakar dari satu penyakit yang sama, yaitu oportunisme politik, pragmatis, transaksional. Nilai-nilai ideal menjadi barang langka yang sulit ditemukan lagi di lingkungan NU. Mungkin itu biasa-biasa saja bagi pengurus yang dekat dengan kekuasaan, tetapi menjadi problem fatal bagi warga NU yang masih ideal dengan nilai-nilai tradisional NU, Khitthah Jam’iyah, dan jejak perjuangan muassis.
Rais Aam terkesan membiarkan terhadap polarisasi yang tercipta di akar rumput. Tidak ada contoh kepemimpinan yang berhasil menyatukan warga Nahdliyyin yang semakin terbelah. Juga tidak ada langkah konkrit untuk menjaga apa yang disebut Ukhuwah Nahdliyyih yang semakin keropos dari waktu ke waktu.
Singkat kata Rais Aam, KH. Miftachul Akhyar, belum memiliki kapasitas leadership yang ideal. Padahal, jamaah NU semakin besar dari waktu ke waktu, tentu dengan segala macam aspirasi dan golongan. Tidak semua warga cocok dengan pilihan politik transaksional, pragmatis, dan politis. Juga tidak semua warga suka dengan kondisi perpecahan di akar rumput yang menajam.
Tentu warga tidak bisa menerima pembiaran semacam ini berlanjut hingga datang masa Muktamar berikutnya. Bukan mustahil juga KH. Yahya Cholil Staquf dan KH. Miftachul Akhyar akan kembali berkuasa di Muktamar selanjutnya. Mengingat betapa intimnya mereka dengan kekuasaan, termasuk zionisme.
Mengundurkan diri bagi Rais Aam memang pilihan paling ideal. Tentu ada harga yang harus dibayar, yaitu: tidak ada sejarah NU dimana Rais Aam mengundurkan diri. Tetapi, jika tidak mengundurkan diri, korban juga lebih besar. Tidak ada sejarah NU dimana pemimpin-pemimpinya menjadi corong kepentingan zionisme.
Dalam situasi ini, kita perlu kembali ke kaidah fikih “idza ijtama’a mafsadatani fa ‘alaikum bi akhaffihima.” Jika ada dua pilihan buruk, maka pilihkan yang paling ringan mudharatnya. Oleh karenanya, dari pada memiliki pemimpin yang menjadi kaki tangan zionis, lebih baik memiliki pemimpin yang mengundurkan diri. Wallahu a’lam bis shawab.
KH. Imam Jazuli, Lc. MA, Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.