Banten, LIPUTAN 9 NEWS
Orang baru masuk Islam tentu wajar bertanya tentang apa dalil sholat, apa dalil puasa dan dalil-dalil lainya yang terkait ibadah. Tetapi ini ada yang menanyakan dalil dari orang yang sudah lama muslim menanyakan dalil tentang agamanya, sekaligus terang-terangan meragukan suatu dalil karena dianggap dlaif padahal belum paham ilmu hadits.
Kalau dalil hadits dengan standar sahih dipastikan semua umat Islam di Indonesia ini masih dalam keadaan sesat, karena beberapa amaliah tanpa dalil hadits sahih, bahkan itu dianggap bid’ah dan setiap bid’ah adalah dlolalah (sesat). Bagi mereka (salafi Wahabi) beragama itu harus berdasarkan dalil, dan praktik agamanya sesuai zaman Nabi, jika tidak sesuai apa yang diajarkan maka tertolak (raddun).
Kalau beragama hanya cukup pada hadits Nabi, lalu tahu itu hadits Nabi dari siapa ? bukankah itu berasal dari sahabat Nabi, dan dari sahabat Nabi kemudian disampaikan kepada para tabi’in, dari tabi’in terus disampaikan ke tabi tabi’in. Mereka ini yang menyambungkan ilmu dan ajaran Islam hingga tetap berjalan di atas jalan kebenaran hingga sampai kepada kita sekarang.
Bukankah Nabi Muhammad S.a.w telah menjelaskan untuk berketetapan mengikuti sahabat-sahabatnya, maka lihat dan perhatikan hadits berikut ini.
عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي, عضوا عليها بالنواجذ, وإياكم ومحدثات الأمور, فإن كل محدثة بدعة, وكل بدعة ضلالة, وكل ضلالة في النار
Artinya: hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunahku dan sunnah para khulafau ar-rasyidin yang diberi petunjuk sesudahku, gigitlah dengan gigi geraham kalian, dan hati-hatilah dari setiap perkara yang baru, karena sesungguhnya perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan adalah di neraka. (HR. At-Tirmidzi IV:149 dan Ibnu Majah II:1025).
Merujuk hadits riwayat Imam At-Tirmidzi dan Ibnu Majah ini tentu apa yang disebut sunnah sahabat ( khulafaur rasyidin) bukanlah sunnah Nabi, jelasnya antara Nabi dan sahabatnya berbeda istilah, ucapan, perbuatan dan sikap Nabi dinamakan sunnah, sedangkan ucapan, dan perbuatan sahabat Nabi adalah atsar sahabat atau disebut istishab.
Jika demikian adanya ketika memakai istishab sebagai dalil tapi ditolak karena itu tidak bersumber langsung dari Nabi dan dianggap perbuatan bid’ah, berarti dengan sendirinya bertentangan dengan hadits di atas.
Imam Ibnu Hajar al-Asqolani dalam kitabnya Fathu al-Bari, Syarah Shahih Bukhori telah menjelaskan soal sabda Nabi terkait bid’ah dlolalah seperti hadits di atas.
والمراد بقوله كل بدعة ضلالة مااحدث ولا دليل له من الشرع بطريق خاص ولا عام
Artinya: yang dimaksud sabda Nabi ” semua bid’ah sesat ” adalah sesuatu yang perbarui namun tidak punya dalil secara Syar’i, baik secara khusus maupun secara umum.
Mari kita mengarah pada tashkhish ( pengkhususan) atas dalil adzan, baik adzan itu sebagai cara memanggil orang untuk sholat maupun adzan juga dimaknai sebagai diizinkannya untuk sholat maktubah ( yang difardlukan ), dan pula dalil adzan yang diucapkan di telinga bayi yang baru lahir.
Sayyidina Umar bin Khatab telah menyampaikan hadits Nabi S.a.w terkait adzan dan sunnah untuk menjawabi setiap kalimat adzan yang dikumandangkan muadzin.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا قال المؤذن الله أكبر الله أكبر فقال أحدكم الله أكبر الله أكبر ثم قال أشهد أن لا إله إلا الله قال أشهد أن لا إله إلا الله ثم قال أشهد أن محمدا رسول الله قال أشهد أن محمدا رسول الله ثم قال حي على الصلاة قال لا حول ولا قوة إلا بالله ثم قال حي على الفلاح قال لا حول ولا قوة إلا بالله ثم قال الله أكبر الله أكبر قال الله أكبر الله أكبر ثم قال لا إله إلا الله قال لا إله إلا الله من قلبه دخل الجنة
Adapun dalil membacakan adzan ke telinga bayi yang baru lahir kala itu berdasarkan hadits riwayat Abu Rafi’, menurut Imam at-Tarmidzi seorang ulama hadits menilai hadits riwayat dari Abu Rafi’ ini adalah sahih.
عَنْ أَبِي رَافِعٍ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِى أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِىٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلاَةِ.
Artinya : dari Abi Rafi, ia berkata ” aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengadzani telinga Al-Hasan bin Ali ketika dilahirkan oleh Fatimah, dengan adzan shalat ” (HR. Abu Daud, At-Tirmizy dan Al-Hakim).
Imam Nawawi pun telah memperkuat dalil adzan pada bayi yang baru lahir tersebut ada dalam kitabnya al-Majmu’ dan menghukuminya sunnah.
السُّنَّةُ أَنْ يُؤَذِّنَ فِي أُذُنِ الْمَوْلُوْدِ عِنْدَ وِلَادَتِهِ ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثَى، وَيَكُوْنَ الأَذَانُ بِلَفْظِ أَذَانِ الصَّلَاةِ. قَالَ جَمَاعَةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا: يُسْتَحَبُّ أَنْ يُؤَذِّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَيُقِيْمَ الصَّلَاةَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى.
Artinya: Disunnahkan mengumandangkan adzan pada telinga bayi saat ia baru lahir, baik bayi laki-laki maupun perempuan, dan adzan itu menggunakan lafadz adzan shalat. Sekelompok sahabat kita berkata: Disunnahkan mengadzani telinga bayi sebelah kanan dan mengiqamati telinganya sebelah kiri, sebagaimana iqamat untuk shalat (Al-Majmu’, juz 8, h. 442).
Kesimpulannya bahwa beragama didasarkan pada sunah Nabi dan sunahnya para sahabat adalah sikap mengikuti keduanya seperti yang Nabi sabdakan di atas, dan adalah anjuran yang ditekankan. Lalu masihkah meragukan hadits sahih di atas, tentunya keraguan itu berlaku bagi yang berwatak jahat, yaitu klaim paling sunnah, paling merasa ikut salaf tetapi kedok belaka, isinya mujassimah yang jelas sesat dan menyesatkan.
KHM. Hamdan Suhaemi, Pengajar Pesantren Ashhabul Maimanah Sampang Susukan Tirtayasa Serang, Wakil Ketua PW GP Ansor Banten, Ketua PW Rijalul Ansor Banten, Sekretaris komisi Haub MUI Banten, Sekretaris Tsani Idaroh wustho Jam’iyah Ahlith Thoriqah Mu’tabaroh An-Nahdliyah Jatman Banten, Ketua FKUB Kab Serang, dan Anggota Dewan Pakar ICMI Provinsi Banten.