Kiai Pejuang VS Kiai Naif
Baru saja kita semua dipertontonkan suatu kenaifan yang membikin miris seluruh warga bangsa Nusantara. Yaitu perdebatan ‘beda level’ dan ‘beda kemasan’ antara 2 sosok Kyai dalam lingkungan Nahdhatul Ulama. Manakala seorang Kyai muda dengan karyanya puluhan kitab yang sudah dicetak di manca negara, artinya seorang alim kelas dunia, yaitu KHR. Imaduddin Usman Al Bantani. Seorang mujaddid Nusantara, singa podium dan orator ulung. Beliau juga pejuang yang rendah hati dan insan yang teguh serta konsekuen dalam berpikir, bertutur dan bersikap. Pengabdiannya di lingkungan NU.
Selain menjadi pengasuh Ponpes NU (Nahdhatul Ulum) di Kresek Tangerang Banten, beliau juga aktif di RMI-NU Banten (asosiasi ponpes NU, Robithoh Ma’ahid Islamiyah), dan anggota Lembaga Bahtsul Masail PBNU. Adapun Lembaga Bahtsul Masail NU tugasnya adalah membahas masalah-masalah maudhu’iyyah (tematik) dan waqi’iyyah (aktual) yang akan menjadi keputusan Pengurus NU di tiap tingkatan. Selengkapnya bisa dipelajari pada https://www.nu.or.id/amp/pustaka/panduan-dan-tata-cara-melaksanakan-bahtsul-masail-x9QCT.
Tak lupa perlu dijelaskan, bahwa beliau juga pernah menempuh pendidikan formal kampus selain pendidikan tradisional ala pesantren yang mendarah-daging dalam lingkungan keluarganya. Maklumlah dari kawasan Kresek inilah lahir seorang ulama kelas dunia pula, yaitu Syekh Nawawi Al Bantani. Mufti Mekkah di jamannya, karyanya juga melegenda dipakai di banyak negara hingga saat ini. Serta tentu saja beliau bermental pejuang, pernah dengan tegas menolak dan mengabaikan tawaran Mufti Batavia jongos Belanda, Usman bin Yahya. Untuk ikut bersama dirinya menjadi kaki-tangan Penjajah Belanda. Antara Kyai Imad dan Syekh Nawawi, adalah kesamaan satu kawasan, satu trah (Sunan Gunung Jati Al Husaini), satu produktifitas (sesama penulis kitab) dan satu sikap anti penjajahan dan penindasan. Bisa jadi Kyai Imaduddin adalah Syekh Nawawi Reborn !!!
Dan konsistensi Kiai Imad, begitu khayalak memanggilnya, dibuktikan dengan kecintaannya kepada Ahlil Bait Nabi secara total. Tidak saja beliau mencintai keluarga Walisongo yang ajarannya dilestarikan NU, juga beliau mencintai Habaib Imigran Yaman (Klan Ba’alwi) ketika masih belum faham kejanggalan nasabnya kepada Nabi SAW. Bahkan beliau pernah tergabung di dalam FPI (Front Pembela Islam) di Banten karena diharapkan mampu menegakkan kebajikan ajaran ala Rosulullah SAW, yang diakui sebagai datuknya dari banyak Habaib yang menjadi tulang punggung organisasi ini. Namun ketika dianggap organisasi ini melenceng dari ideologi bangsa, mengancam NKRI dan ke-Bhinnekaan, maka Kiai Imad langsung memutuskan keluar. Dan ternyata keputusan ini sangatlah benar. Manakala pada akhirnya organisasi ini dinyatakan sebagai organisasi terlarang oleh Negara.
Apalagi ketika beliau mendapatkan banyak data baik dari Kajian Kitab Nasab, Sejarah, maupun hasil tes DNA para Klan BA’ALWI yang ‘jauh panggang dari api’ atas pengakuannya sebagai Cucu Nabi. Seketika beliau semakin yakin, seolah melengkapi dugaan kejanggalan lainnya dari Klan Ba’alwi dari sikap, tutur bahasa, arogansi dan sikap rasisnya selama ini. Baik kepada pribumi Nusantara maupun golongan lainnya, termasuk kepada sesama Imigran Yaman lainnya (baca: Kaum Masyaikh Non Ba’alwi/Al Irsyad). Dan historiografi singkat ini perlu disampaikan agar menjadi jelas tentang sosok beliau, agar segala framing jahat dan pelecehan rendahan kepadanya dapat ditepis dengan bermartabat.
Kembali kepada perdebatan itu sendiri, yang mana dilakukan di sebuah channel Youtube yang cukup aktif dalam membedah pelurusan Nasab Nabi di Nusantara. Lalu siapakah sosok yang menjadi mitra debatnya Kyai Imaduddin tersebut? Penulis menganggap tidak terlalu penting mengulasnya. Karena sangat naif apa yang dipertontonkannya. Dimana selain jabatan mentereng sebagai salah seorang pimpinan PBNU dan gelar akademiknya, ternyata keduanya tidak berarti apa-apa baginya. Yang ada malah menampakkan kesia-siaan bahkan membikin malu kedua anugerah yang seharusnya beliau syukuri tersebut.
Mengapa bisa demikian?
Jabatan mulia harusnya diikuti dengan sikap dan adab yang mulia pula. Sementara gelar keilmuan yang tinggi, mampu diaplikasikan dengan sikap yang ilmiah dan cinta kepada ilmu itu sendiri.
Namun apa yang terjadi?
- Tidak memiliki attitude yang baik. Selain tidak mampu menjawab atas hujjah Kiai Imad, malah yang ada sikap cengengesan (ketawa-ketiwi tidak jelas) untuk menutupi ketidakmampuannya dalam berdebat.
- Tidak bersikap ilmiah. Selain tidak masuk di dalam inti persoalan kajian ilmiah, malah melantur bersikap menggurui dan menyerang secara personal. Kemungkinan, itu untuk menutupi rasa nervous dan ketidakberdayaannya.
- Bersikap premanisme. Seorang Kyai itu harus mampu: Mendengar dengan toleran, melihat dengan belas kasih dan berbicara dengan bahasa cinta (Jalaluddin Rumi). Itulah Kyai yang layak disebut Al Ulama Warosatul Anbiya’ (Ulama adalah pewaris para Nabi). Yang ada malah membanggakan jabatannya dan mengancam akan memecat Kiai Imad. Ini sikap yang jahil dan jahat.
- Bersikap khianat kepada organisasinya yaitu NU. Semua elemen bangsa ini faham, NU adalah ormas Islam terbesar di dunia dari Umat Islam yang juga mayoritas di Indonesia. Besyukurnya, NU bersikap moderat dan toleran, bahkan selalu berpikiran maju. Itu terbukti dengan keberpihakannya kepada kebajikan dan kemajuan, hingga akhirnya memiliki Fiqih Peradaban. Suatu kajian fiqih yang adaptif dan mampu menjawab kemajuan peradaban dunia. Namun celakanya, melalui sosok Sang Kiai Naif tersebut, seolah segala kebesaran NU itu menjadi hampa dan slogan kosong belaka. NU ingin merawat jagad, yang ada malah mengotori jagad. Fiqih Peradaban yang cinta ilmu pengetahuan, seolah mau dibungkam dengan doktrin anti keilmuan.
- Bersikap Arogan dan Meremehkan Lawan Bicara. Di dalam sudut kajian manapun tentang Nabi Muhammad SAW, beliau adalah pribadi yang agung, penyempurna akhlaq yang mulia serta selalu dalam tuntunan Allah untuk memuliakan lawan bicaranya. Sebagai ulama harusnya menjadi yang terdepan dalam ketauladanan ini. Namun yang dipertotntonkan adalah sikap arogan dan meremehkan orang, rasanya penulis sepakat dengan sabda Sayyidina Ali. Pabila engkau ingin melihat bagaimana seseorang, maka lihatlah siapa teman-temannya. Sebagaimana kita ketahui, lingkaran Habaib Ba’alwi Yaman ini begitu banyak sebagai tukang dongeng cerita khurofat dan mengembangkan arogansi rasnya. Mereka membangun doktrin sesat dengan rasisme Nasab Palsunya. Rupanya Sang Kiai Naif ini terdapat virus tersebut sehingga memperlihatkan tabiat yang sama pula. Dan lucunya lagi, mengaku bagian dari Sunan Giri yang bermarga Azmat Khan Ba’alawi. Kasihan sekali, karena bagi Ba’alwi Nasab Walisongo ke Azmat Khan juga sudah ada penolakannya, serta nasab Azmat Khan di India juga tidak ada. (Mengklaim bagian dari kepalsuan, untuk ditolak oleh yang palsu, tentu saja lelucon yang sangat menggelikan)
Poin positifnya, Sang Kiai Naif dengan penuh kesombongan meyakinkan mudah baginya untuk berdebat lagi dengan pembuktian ilmiah. Layak kita tunggu apakah ‘aumannya’ itu terbukti, atau justru hanya sekedar ‘mengeong’ belaka! Karena baik singa atau kucing memang sama-sama berkumis, namun beda level dan beda kemasan.
Rekomendasi Bagi NU
Setelah mencermati dinamika pelurusan Nasab Nabi dan pembelokan sejarah di Bumi Nusantara ini, maka sudah sangat urgen bagi semua pihak untuk bersikap. Baik itu pemangku kebijakan Negara atau pemerintah, dan tentu saja bagi ummat Islam terutama PBNU. Mengapa? Karena ormas Islam yang relatif paling terdoktrin dalam memuliakan dan sekaligus menjadi korban dalam klaim sebagai Cucu Nabi ini adalah Nahdlyyin !!!
Maka perlu kiranya penulis rekomendasikan:
- Segera dikaji terkait kaidah yang benar menentukan nasab kepada Nabi SAW, baik dalam forum Bahtsul Masail atau membentuk Tim Khusus.
- Kajian itu harus komprehensif. Tidak saja dari sudut Kajian Pustaka atau Kitab Nasab, melainkan juga Sejarah dan Ilmu Genetika. Dan ini sejalan dengan komitmen Fiqih Peradaban itu sendiri.
- Dalam rangka “Merawat Jagad Membangun Peradaban” dari NU dalam usia 1 Abad-nya. Maka perlu dibangun kerjasama lintas negara. Terutama dengan Naqobah pencatat nasab Nabi agar tidak terjadi penyesatan terus-menerus di Nusantara dengan menjual nasab untuk nasib.
- Perlu difilter siapa yang menjadi pengurus NU, apalagi sekelas Pengurus Besar. Baik kapasitas keilmuan, ketauladananya dan tentu saja keberpihakannya. Contohnya Sang Kyai Naif. Posisinya mentereng tapi justru mencoreng dan menjatuhkan marwah NU itu sendiri.
- Perlu disanksi bahkan dipecat pengurus yang aorgan dan mengkhianati visi dan misi besar organisasi. Karena upaya intimidasi dari sosok yang lebih tinggi jabatannya kepada yang di bawahnya itu adalah mengancam keharnonisan organisasi. Yang ada ketersinggungan kolektif dari pengurus di level bawahnya karena merasa direndahkan dan dilecehkan. Apabila tidak segera ditertibkan, bagi mereka yang cinta dengan kajian ilmiah merasa diintimidasi, ditindas dan dibungkam. Bisa jadi malah terjadi kekecewaan massal dan melemahkan spirit organisasi.
- Non aktifkan pengurus dari marga Ba’alwi sebagai pihak yang sedang dikaji nasabnya. Toh, dalam kesejarahan mereka juga bukan muassis NU dan telah memiliki wadah organisasi sendiri yaitu RA. Biarkan saja mereka aktif di organisasi rasisnya, daripada terjadi dualisme mainstream. Dimana sikap NU adalah pro-kesetaraan sementara mereka menolak kesetaraan.
Dan NU juga tidak pernah secara resmi mengakui mereka sebagai ahlil bait Nabi. Malah gelar resmi dzurriyah Nabi yang diakui NU adalah sejalan dengan kaidah Naqobah Dunia, Sayyid-Syarif, bukan Habib. (baca dokumen tentang 25 Ulama NU Djawi Wetan yang dimotori Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari tentang Titel Sajid, di Cover Artikel). - Agar lebih terjamin independensinya dan derajad keilmiahannya, libatkan para akademis dan lembaga-lembaga penelitian yang kredibel. Seperti BRIN (Badan Riset Inovasi Nasional) dan para pakar ternama dari kampus-kampus berkelas. Kalangan Filolog, Sejarawan maupun pakar Genetika. Sehingga kajian ilmiah akan dapat dipertanggungjawabkan dengan kaidah : the right man, on the right place, at the right time. Karena para Pembela Nasab Rungkad Ba’alawi hanyalah kelas blantik-blantik sapi yang modal nyerocos tanpa keilmuan yang memadai. Yang ada, jongos-jongos model Londo Ireng ini hanya ndawir sana-sini ngamen dengan framing-framing palsu belaka. Yang lebih parah lagi tentu saja Sang Kyai Naif yang tidak pantas dalam posisinya sebagai petinggi PBNU dan gelar akademiknya yang anti Kajian Ilmiah bahkan ingin mematikannya.
Sungguh sialnya bagi Kepengurusan PBNU pabila diisi manusia-manusia anti ilmu dan penikmat buta doktrin sesat…naudzubillah !!! Wassalamu’alaikum wr.wb, Salam Sejahtera dan Rahayu Nusantaraku !!!
Penulis: Faqih Wirahadiningrat
Sumber: RMINUBanten