Banten, LIPUTAN 9 NEWS
“Setiap cetakan kitab baru tentang nasab Ba’alwi setelah tahun 2023/2024 yang manuskripnya dari abad 5,6,7,8 sudah pasti palsu. Ini wajib diingat oleh setiap muslim yang hidup di hari ini. Jika suatu masa nanti, ada kitab sebelum abad ke-9 tentang nasab Ba’alwi yang dicetak, maka sudah pasti itu kitab palsu. Bagaimana jika tahun pencetakannya di mudakan, misalnya ditulis dicetak tahun 2020? tetap akan terdeteksi. Bagaimana caranya? Dengan melihat kajian penulis, jika kitab itu tidak tercover dalam kajian penulis maka dapat dipastikan kitab itu sebenarnya dicetak setelah tahun 2023/2024. Karena, jika kitab itu memang sudah dicetak, maka tentu pembela Ba’alwi sudah menjadikannya sebagai dalil dan akan diletakan dalam meja diskursus ini.” ( KH. Imaduddin Utsman)
Isu nasab batalnya silsilah klan Ba’alwi terus bergulir memasuki sudut-sudut kepulauan Indonesia dan Asia Tenggara. Ulama Malaysia-pun kini ramai membahas di Youtube tentang batalnya nasab Ba’alwi. Bahkan, ulama Malaysia itu telah membeli dan membaca kitab-kitab penulis tentang batalnya nasab klan Ba’alwi.
Kini, setelah kalangan pesantren tersadar bahwa Ba’alwi bukanlah keturunan Nabi Muhammad SAW, kebenaran itu akan merambat dikonsumsi oleh kalangan elit negeri ini dengan dimuatnya isu ini dalam majalah nasional sekelas TEMPO.
Dalam edisi 8-14 April 2024, Majalah TEMPO Liputan Khusus idul fitri, mengambil judul Cover “Obral Gelar Habib”. Dalam halaman OPINI, TEMPO mengambil judul opini “Perbudakan Spiritual Masa Kini”. Dalam opini itu, TEMPO mengulas tentang otokritik Mochtar Lubis terkait karakter masyarakat kita yang memiliki ciri-ciri diantaranya BERJIWA FEODAL dan BERWATAK LEMAH.
Hal itu bisa dilihat dari pemujaan mereka kepada yang dianggap sebagai habib “keturunan” Rasulullah. Majalah TEMPO telah menggunakan dua tanda kutip untuk kalimat keturunan. Menurut penulis dua tanda kutip itu mengandung arti yang menandakan bahwa redaktur itu sudah TIDAK PERCAYA, minimal RAGU, terhadap definisi yang selama ini diyakini untuk seorang habib.
Di halaman 54, TEMPO mengulas penelitian penulis tentang nasab habib Ba’alwi dengan judul “Penelitian Imaduddin Utsman Mengungkap Dugaan Terputusnya Nasab Habib di Indonesia. Beradu Kitab Rujukan.” Dalam laporan itu, TEMPO mengungkapkan kesimpulan penulis bahwa para habib ini bukan keturunan Nabi Muhammad SAW, karena nama Ubaidillah tidak tercatat sebagai nama anak Ahmad bin Isa dalam kitab-kitab nasab primer atau yang paling mendekati seperti kitab Tahdzibul Ansab (437H), Al-Syajarah al-Mubarokah (597H) dan Al-Fakhri (614H). Nama itu baru dimunculkan dalam kitab kalangan Ba’alwi sendiri yaitu Al-Burqat al-Musyiqah (895H).
Dalam laporan itu juga, TEMPO memuat pendapat Rumail Abbas, sang pembela setia Ba’alwi. Rumail kembali membuat FRAMING-FRAMING dan KEDUSTAAN. Framing yang dimaksud diantaranya tentang bahwa penulis merujuk kitab versi modern saja yang ada campur tangan editor. Dia pikir pentahqiq kitab-kitab nasab itu tidak jujur seperti pentahqiq Ba’alwi?. Rumail tidak menunjukan satupun bukti mana kitab versi cetak dari kitab-kitab rujukan penulis yang tidak sesuai dengan manuskrip aslinya.
Kalau kitab-kitab yang ditahqiq kaum Ba’alwi, penulis sudah beberkan bukti banyaknya INTERPOLASI dan PERUBAHAN DISANA SINI. Itu menunjukan bahwa ulama Ba’alwi tidak dapat dipercaya ketika mentahqiq kitab atau meriwayatkan tentang nasab dan sejarah mereka. Tetapi kitab-kitab rujukan penulis seperti kitab Tahdzibul Ansab, Al-Majdi, Al-Muntaqilah Al-Talibiyah, Al-Syajarah al-Mubarokah, Al-Fakhri, Al-Ashili, Al-Tsabat al-Mushan, dan Umdat al-Talib, adalah kitab-kitab MUKTABAR yang menjadi pegangan para ahli nasab dunia saat ini. Jadi, sangat sulit untuk menuduh kitab-kitab itu dicetak tidak sesuai dengan aslinya.
Rumail tidak tahu jika seluruh tulisan penulis yang telah penulis cetak sudah penulis serahkan kepada wartawan TEMPO, artinya seluruh narasi berkelit apapun ala Rumail Abbas, sebenarnya TEMPO sudah punya jawabannya, tetapi sebagai media professional, tentunya TEMPO harus memberikan keseimbangan informasi untuk pertama kali ini. Termasuk tentang klaim tercatatnya nama Ubaidillah dalam naskah kitab “Arba’un” dan “Al-Mawahib” yang dinisbatkan kepada Ali bin Jadid (w. 620H) yang diklaim Rumail ditulis tahun 611 dan 636H.
Dua naskah itu sampai hari ini tidak berani dikeluarkan Rumail, kenapa? Karena jika dikeluarkan akan langsung terlihat publik bahwa naskah itu baru ditulis sekitar 55 tahun yang lalu. Angka tahun yang ditulis memang 611 dan 636 Hijriah, tetapi angka itu sekedar dicantumkan oleh penulis naskahnya. Jika-pun itu karya asli Ali bin Jadid, maka ia tidak akan menulis nama Abdullah sebagai anak Ahmad bin Isa, apalagi Ubaidillah, kenapa? Karena, leluhur Ali bin Jadid namanya Jadid bukan Abdullah, nama Abdullah itu nama tambahan tahun 877H dalam manuskrip kitab Al-Suluk Versi Mesir, sedangkan manuskrip versi Paris tahun 820H nama Abdullah ini tidak ada.
Jadi, jika ada nama Abdullah atau Ubaidillah yang disebut Nazil al-Yaman dalam kitab “Arba’un” atau “Al-Mawahib” dengan asumsi itu kitab asli tulisan Ali bin Jadid, maka nama itu tidak merujuk seseorang yang disebut leluhur Ali bin Jadid apalagi leluhur habib Ba’alwi, tidak mungkin. Kecuali dusta. Makanya Rumail tidak berani menunjukan manuskrip itu. Mungkin akan langsung dicetak lalu manuskripnya di hilangkan. Sepertinya kitab Tarikh Syanbal itu demikian. Dulu mungkin bisa begitu. Tapi sekarang tidak bisa, BOS. Kita sudah antisipasi itu.
Setiap cetakan kitab baru tentang nasab Ba’alwi setelah tahun 2023/2024 yang manuskripnya dari abad 5,6,7,8 sudah pasti palsu. Ini wajib diingat oleh setiap muslim yang hidup di hari ini. Jika suatu masa nanti, ada kitab sebelum abad ke-9 tentang nasab Ba’alwi yang dicetak, maka sudah pasti itu kitab palsu. Bagaimana jika tahun pencetakannya di mudakan, misalnya ditulis dicetak tahun 2020? tetap akan terdeteksi. Bagaimana caranya? Dengan melihat kajian penulis, jika kitab itu tidak tercover dalam kajian penulis maka dapat dipastikan kitab itu sebenarnya dicetak setelah tahun 2023/2024. Karena, jika kitab itu memang sudah dicetak, maka tentu pembela Ba’alwi sudah menjadikannya sebagai dalil dan akan diletakan dalam meja diskursus ini.
Dusta kedua Rumail di majalah TEMPO adalah tentang bahwa nama Ubaidillah telah ditulis dalam naskah kitab karya Abul Qasim an-Naffat dan Hasan al-Allal, yang diklaim ditulis tahun 490 Hijriah. Kedua kitab itu tidak ada. Dan apa yang Rumail sampaikan di TEMPO itu kedustaan belaka. Jika pembaca penasaran, tantang Rumail untuk mengeluarkan kitab itu. Tidak akan bisa. Nasab Ba’alwi dari dulu dibela dari referensi yang dusta.
Seperti Ali al-Sakran yang menyebut bahwa nasab Ba’alwi dicatat Ibnu Samrah (w. c. 586H), ternyata setelah dilihat di kitab karya Ibnu Samrah tidak ada; Murtada Al-Zabidi ( w.1205H) menyebut katanya Al-Ubaidili (w. 437H) menyebut hijrahnya Ahmad bin Isa ke Hadramaut, setelah dilihat kitabnya Al-Ubaidili tidak ada.
Alwi bin Tahir dalam Uqudul Almas, yang kata Salim bin Jindan ia seorang perawi hadits, nyatanya berdusta tentang bahwa Al-Ubaidili dan Al-Umari tidak menyebut gelar Al-Abah dan Al-Naffat. Rumail Abbas-pun demikian. Jika nasab Ba’alwi terus dibela dengan kedustaan seperti ini, artinya apa? Artinya nasab ini adalah bukan hanya nasab palsu, tetapi sudah masuk nasab palsu banget.
Dan kepalsuan itu telah terbukti dengan hasil tes DNA, haplogroup mereka yang bukan J1. J1 adalah kode Haplogroup keturunan Nabi Muhammad SAW. sementara para habib Ba’alwi ini dari 180 orang yang telah melakukan tes DNA kebanyakan mereka berhaplogroup G.
KH. Imaduddin Utsman Al Bantani, Pengasuh dan Pendiri Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum Kampung Cempaka, Desa Kresek, Kecamatan Kresek, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten.