Bandung, LIPUTAN 9 NEWS
Isu yang sedang hangat dibicarakan saat ini dijagat publik tentang konsesi wilayah izin usaha pertambangan (WIUP), yang salah satunya akan diberikan kepada organisasi masyarakat merupakan topik yang menarik untuk dianalisis dari sudut pandang teori.
Salah satu yang bisa dipakai untuk menjadi alat analisis berkaitan dengan Konsesi Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) kepada organisasi masyarakat adalah teori-teori yang beerkaitan dnegan pemberdayaan komunitas. Teori-teori ini fokus pada cara-cara di mana individu atau kelompok-kelompok sivil yang kurang berdaya dapat meningkatkan kekuatan, kontrol, dan keputusan dalam kehidupan mereka. Julian Rappaport, dalam “Studies in empowerment: Introduction to the issue (1987)”, Teori Pemberdayaan ini berfokus kepada upaya untuk memberdayakan komunitas dalam mengatasi masalah sosial, ekonomi, dan politik yang mereka hadapi.
Dalam konteks izin pengelolaan tambang oleh organisasi msayarakat, termasuk berbasis keagamaan, teori pemberdayaan Jullian Rappaport ini bisa digunakan untuk menyoroti pentingnya memberdayakan organisasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam di negaranya sendiri, termasuk pengelolaan tambang dengan memperhatikan keadilan sosial dan lingkungan. Pemberdayaan dalam konteks ini berarti memberikan kemerdekaan atau kesempatan secara luas kepada ormas sebagai bagian komunitas keagamaan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sumber daya yang diperlukan agar dapat berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan tambang, serta memastikan bahwa keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan menjadi perhatian utama.
Sepakat dengan teori pemberdayaan komunitas dari Julian Rappaport, jika dikaitkan dengan izin pengelolaan tambang oleh ormas, termasuk berbasis keagamaan ini harus menekankan pentingnya kolaborasi antara komunitas lokal, organisasi non-profit, pemerintah, dan sektor swasta untuk menciptakan perubahan sosial yang berkelanjutan dan inklusif. Sisi lain, dalam proses pengelolaan tambangnya juga harus memperhatikan keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan.
Tokoh yang relevan dalam konteks Teori Pemberdayaan Masyarakat jika dikaitkan dengan peran Ormas, terbasuk berbasis keagamaan adalah Paulo Freire. Dalam karyanya “Pedagogy of the Oppressed” (1968), walaupun Freire, seorang pendidik dan filsuf tetapi terkenal juga dengan konsep pendidikan pembebasan (education for liberation) yang menekankan pentingnya pendidikan partisipatif dan pemberdayaan masyarakat dalam mengatasi ketidakadilan sosial dan ekonomi. Meskipun tidak secara khusus memfokuskan pada pengelolaan sumber daya alam, konsep-konsep yang dikembangkan oleh Freire sangat relevan dalam konteks memberdayakan komunitas untuk mengelola sumber daya alam mereka sendiri. Misalnya organisasi keagamaan, dengan pendekatannya yang holistik terhadap kehidupan dan keadilan sosial, dapat menerapkan prinsip-prinsip Freire dalam memberikan pendidikan, pelatihan, dan dukungan institusional kepada ormas untuk menguatkan kapasitas kemandirian mereka dalam bidang ekonomi dengan diberikan ruang dalam mengelola sumber daya alam termasuk pengelolaan tambang secara berkelanjutan.
Alat analisa lain yang penting juga dijadikan sebagai rujukan dalam membedah Konsesi Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) kepada organisasi masyarakat, termasuk berbasis keagamaan adalah teori pemberdayaan berbasis hak (Rights-Based Empowerment Theory). Diantaranya yang dicetuskan oleh Frances Stewart (2008) dan Martha Nussbaum (1997), walaupun sebagai ekonom dan filsuf tetapi gagasan-gagasannya berkaitan dengan teori pemberdayaan berbasis hak bidang keadilan sosial, hak asasi manusia, dan pemberdayaan individu dan komunitas melalui pemenuhan hak-hak dasar.
Sepakat dengan Stewart dan Nussbaum bahwa hak-hak itu bukan hanya sebagai jaminan formal, tetapi juga sebagai kemampuan aktual yang memungkinkan individu untuk meraih tujuan hidup yang berarti dan bermakna. Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat dalam konteks ini tidak hanya tentang memberikan akses terhadap sumber daya atau kesempatan, tetapi juga tentang memastikan bahwa setiap individu dan komunitas memiliki kemampuan untuk menggunakan hak-hak mereka dengan efektif, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam.
Gagasan Stewart dan Nussbaum ini dapat dijadikan sebagai alat analisa dan bahkan dapat berkontribusi secara signifikan dalam memahami hubungan antara hak asasi manusia, pemberdayaan masyarakat, dan keadilan sosial. Termasuk mengenai posisi ormas keagamaan hubungannya dengan hak-hak dasar yang dapat mempengaruhi berbagai bidang, termasuk dalam bidang pengelolaan tambang dengan mempertimbangan pada pembangunan manusia yang berkelanjutan dan juga memperhatikan aspek keamanan, hak asasi manusia, serta pemberdayaan masyarakat.
Catatan sederhana ini tidak hendak mengomentari pro-kontra tentang adanya kebijakan Konsesi Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) kepada Organisasi Masyarakat, termasuk komentar-komentar yang ditujukan kepada dua organisasi besar keagamaan di Indonesia. NU yang diposisikan sebagai organisasi keagamaan yang menerima WIUP dan Muhammadiyah yang diposisikan sebagai organisasi keagamaan yang menolak WIUP. Walupun sebetulnya kalau menyimak pernyataan ketua Muhammadiyah, Prof Haedar Nasir, belum ada pernyataan menolak secara langsung terhadap WIUP bagi ormas. Justru yang ada dalam jejak media, pernyataan akan dikaji dulu. Entah kenapa sebagian komentar-komentar yang muncul malah cenderung lebih bernuansa sinisme, penuh kecurigaan dan kritik tak mendasar karena belum didalami langsung atau bahkan belum dikonfirmasi secara langsung kepada tokoh-tokoh utama di NU dan Muhammadiyah.
Catatan sederhana ini tidak dalam kapasitas untuk masuk pada ranah pro-kontra yang terjadi, tetapi hendak menegaskan bahwa pengelolaan sumber daya alam termasuk tambang itu merupakan hak siapapun termasuk organisasi keagamaan kalau dalam pendekatan teori pemberdayaan. Oleh karena itu, hal yang mesti dikedepankan bisa jadi berkaitan dengan Izin Usaha Pertambangan untuk ormas, termasuk berbasis keagamaan adalah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan :
- Bagaimana organisasi keagamaan dapat memberdayakan institusi, warga institusinya dan bahkan komunitas lokal untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan terkait konsesi tambang, memastikan keadilan distribusi manfaat, dan mengelola dampak lingkungan;
- Bagaimana peran organisasi keagamaan dalam menyediakan pelatihan teknis, hukum, dan administrasi kepada anggotanya dan atau kepada masyarakat lokal untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam mengelola sumber daya alam termsuk tambang secara berkelanjutan;
- Bagaimana organisasi keagamaan dapat mempromosikan praktik pengelolaan tambang yang transparan dan akuntabel, melalui mekanisme pengawasan dan pertanggungjawaban kepada masyarakat secara luas;
- Bagaimana organisasi keagamaan mampu meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan tambang, seperti pemantauan lingkungan dan penegakan hak-hak mereka, dan
- Bagaimana kemampuan organisasi keagamaan untuk melakukan pengelolaan model Kolaboratif dengan cara bekerja sama dengan pemerintah, perusahaan tambang, dan masyarakat untuk menciptakan model pengelolaan tambang yang inklusif dan berkelanjutan.
Pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan hal yang didasarkan kepada teori-teori pemberdayaan. Paling tidak, sebelum seseorang menolak, apatis dan bahkan berkomentar sinis kepada penerima konsesi wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) bisa sedikit membuka pikiran untuk mencoba dulu memahami lebih dalam tentang peran dan potensi organisasi keagamaan dalam mempromosikan pengelolaan tambang yang aman, memandirikan, memberdayakan institusinya dan masyarakat lokal dengan memperhatikan keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan.
Sehingga diskusi yang dikembangkan adalah bagaimana organisasi masyarakat berbasis keagamaan ketika diberi izin mengelola usaha tambang dapat tetap memperhatikan keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan secara transparan dan bermartabat. Lebih produktif menawarkan gagasan dalam konteks pengelolaan tambang yang beradilan sosial dan keberlanjutan lingkungan oleh organisasi masyarakat berbasis keagamaan, tinimang mengeluarkan cecaran dengan stigma-stigma kasar.
Dr. H. Dudy Imanuddin Effendi, M.Ag, Wakil Dekan 1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung.